IJTIHAD DAN FIQH PADA MASA BANI UMAYYAH DAN BANI ABBASIYAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istinbat. Dengan kata lain ijtihad merupakan sebuah media yang sangat besar peranannya dalam hukum-hukum Islam (Fiqh). Tanpa ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini serta ajaran Islam tidak akan bertahan dan tidak akan mampu menjawab tantangan zaman saat ini. Yang dapat melakukan ijtihad hanyalah seorang mujtahid. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telahberpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam.Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-masalah yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun masalah-masalah yang baru terjadi di masa ini.
Ijtihad tersebut dibutuhkan di setiap zaman, terlebih pada zama setelah peninggalan Rasulalla. Karena adanya perubahan yang terjadi dalam kehidupan dan perkembangan sosial yang amat pesat. Maka dari itu, pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang ijtihad pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.


B.  Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari Ijtihad?
2.      Apa pengertian Fiqh?
3.      Bagaimana Ijtihad dan Fiqh pada Masa Bani Umayyah?
4.      Bagaimana Ijtihad dan Fiqh pada Masa Bani Abbasiya?


BAB II
PEMBAHSAN
A.  Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari akar kata jahada yang berarti ‚mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Karena itu, ijtihad menurut ahlibahasa ialah usaha yang optimal dan menanggung beban berat.
Dalam Lisan al-Arab disebut bahwa perkataan إجتهاد , diambil dari kata جَهد dan جُهد yang secara etimologi berarti al-Musyaqqah dan al-Taqah, sementara إجتهاد dan تجاهد berarti penumpahan segala kemampuan dan tenaga. Bentuk kata إجتهد yang mengikuti wazan إفتعال menunjukkan arti berlebih (Mubalaghah) dalam perbuatan. Karena itu kata إجتهد mempunyai arti lebih dari kata جهد.[1]
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk mewujudkan sesuatu. Maka, jika disederhanakan perumusannya, ijtihad bermakna kerja keras dan bersungguh-sungguh, Dengan demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan maksimal serta mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan pelakunya dinamai mujtahid.[2]
Ijtihad secara maknawi adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan.
الاِجْتِهَادُ مَعْنَاهُ بَذْلَ غَايَةِ الجُهْدِ فِى الْوُصُوْلِ إلَى أَمَرٍ مِنَ الْعُمُوْرِ, أَو فِعْلٍ مِنَ الأَفْعَالِ
Di samping itu,Ijtihad menurut ulama Ushul adalah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.[3]
بَذْلُ الْفَقِيْهُ وَسْعُهُ فِى اِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الْعَلَمِيَّةِ مِنْ أَدِلّتِهَا التَّفْصِيْلِيَةِ
Jadi dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah kerja keras yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam mengerahkan segala daya kemampuannya untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum dari dalil yang masih bersifat dzonni, kemudian mengahsulkan ketentuan hukum yang bersifat tafsili (rinci).[4]
Adapun ijtihad pada zaman Nabi ialah:
وَمِثْلُ مُعَا ذِبْنِ جَبَلٍ الَّذِي بَعَثَهُ الرَّسُوْلُ اِلَى اليَمَنْ وَقَالَ لَهُ: بِمَ تَقْضِى اِذَا عُرِضَ لَكَ قَصَاءٌ وَلَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللَّهِ وَلَا فِى سُنَّةِ رَسُوْلِهِ مَا تَقْضِى بِهِ,  فَقَالَ مُعَاذُ : اَجْتَهِدُ رَأْيِ, فَقَالَ الرَّسُوْلُ : اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللَّهِ لِمَا يَرْ ضَى اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ.
Mu’ad bin Jabal yang ditugaskan Rasulallah saw ke Yaman dan ditanya:
“Dengan cara apa kamu memutuskan suatu kasus yang diadukan kepadamu, sedangkan engkau tidak menemukan hukumnya di dalam Kita Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Bagaimana cara engkau memutuskannya? “Mu’adz berkata: “aku akan berijtihad dengan kemampuan berpikirku. Lalu Rasulallah saw bersabda: “segala puji untuk  Allah yang telah memberi petunjuk dan merestui utusan Rasulallah karena sikapnya yang menyenangkan Allah dan Rasul-Nya”.[5]
B.  Pengertian Fiqh
Kata fiqih secara bahasa punya dua makna. Makna pertama adalah al-fahmu al-mujarrad ( الفھم المجرّد ), yang artinya adalah mengerti secara langsung atau sekedar mengerti saja.[6]
Makna yang kedua adalah al-fahmu ad-daqiq (الفھم الدقیق ) yang artinya adalah mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas.
Sedangkan secara istilah, kata fiqih didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai definisi yang berbeda-beda. Sebagiannya lebih merupakan ungkapan sepotong-sepotong, tapi ada juga yang memang sudah mencakup semua batasan ilmu fiqih itu sendiri.
Secara istilah (terminologi), fiqh didefinisikan secara eksklusif yang terbatas pada hukum-kuhum yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili). Definisi tersebut bisa dilihat berikit ini:
Imam Abu Zahrah mengatakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم  بالأحكام  الشرعية  العملية  من  أدلتها التفصيلية
Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.
Abdul Wahab Khalaf mengemukakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم  بالأحكام  الشرعية  العملية  المكتسبة   من  أدلتها التفصيلية
 “Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.[7]

Lebih jelas lagi imam Abu Hamid al-Ghazali (wafat tahun 5O5 H) mendefinisikan al-Fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang ditetapkan secara khusus bagi perbuatan-perbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, perikatan yang sahih (sah), perikatan yang fasid (rusak) dan yang batal, serta menerangkan tentang ibadah yang dilaksanakan secara qada’ (pelaksanaannya di luar ketentuan waktunya) dan hal-hal lain semacamnya.
Jadi, hukum-hukum syara’ yang praktis yang lahir sebagai hasil dari dalil-dalil yang terperinci itu dinamakan al-Fiqh, baik ia dihasilkan dengan melalui ijtihad ataupun secara langsung hasil pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Jelaslah bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam pembahasan ilmu fiqih.

C.  Ijtihad dan Fiqh pada Masa Bani Umayyah
Kondisi hukum Islam dan perkembangannya pada masa tabi’in / dinasti Umayyah Klasifikasi perkembangan hukum islam (fiqh) pada era tabi’in sebenarnya masih membingungkan banyak pengamat. Kebingungan itu dapat dipahami dengan munculnya pergolakan-pergolakan yang muncul berasal pada masa kekhalifahan Utsman dan Ali dan akhirnya memuncak pada pemerintahan daulah Umayyah yang melahirkan agitasi teologis cukup tajam. Pergolakan- pergolakan tersebut justru membawa pengaruh besar terhadap perkembangan hukum Islam sendiri, sehingga mengantarkan pada era kodifikasi dan munculnya para imam madzhab.[8]
Khalifah pada masa Bani Umayyah ini tidak terlalu tahu banyak tentang hukum dan syari‟at Islam dan cara-cara berijtihad kecuali Umar bin Abdul Aziz. Ini disebabkan para khalifah Bani Umayyah lebih terfokus kepada urusan politik agar kekuasaan tidak berpindah ke tangan yang lain. Tidak seperti pada masa Khulafa’urrasyidin pada masa ini urusan agama di serahkan pada Ulama dan penguasa hanya bertanggung jawab pada urusan politik saja.[9]
Secara umum para tabi’in / dinasti Umayyah pada masa ini mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk pada al Qur’an dan al Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka sendiri berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.[10]
Selain itu, aktivitas ijtihad yang dilakukan oleh para tabi’in / dinasti Umayyah ada dua cara. Pertama, mereka tidak takut untuk mengutamakan pendapat seorang sahabat daripada sahabat yang lainnya, bahkan pendapat seorang tabi’in atas pendapat seorang sahabat. Kedua, mereka sendiri melakukan pemikiran asli, bahkan pada masa inilah pembentukan hukum yang sesungguhnya dimulai.[11]
Pada periode ini juga ada upaya untuk membukukan hadits, atas inisiatif dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa ini juga terdapat pembagian terhadap aktivitas pemikiran hukum secara bebas yakni Irak, Hijaz dan Syria imamnya masing-masing. Irak memiliki dua madzhab yaitu Basrah dan Kufah. Hijaz juga memiliki dua madzhab yaitu Makkah dan Madinah, namun madzhab Madinah lebih menonjol, sementara di Syria yang kurang populer madzhabnya. Hal inilah yang kemudian para ulama terbagi menjadi dua aliran, Ahli Ra’yu dan Ahli Hadits.[12]
1.      Ahlul hadis
Dalam masyarakat islam terdapat kelompok yang metode pemahamannya sangat terikat oleh informasi dari nabi SAW. Dengan kata lain ajaran islam itu diperoleh dari Al-qur’an dan petunjuk dari hadist.[13] Mulanya aliran ini timbul di hijaz, terutama dikota madinah karena dimadinah lebih mengenal hadis dibandingkan dengan daerah lain. madinah sebagai ibu kota islam karena hadis tersebut beredar lebih banyak dan lengkap dibanding dengan daerah lain.[14]
Para ulama ahl al-hadits membatasi kajian fiqihnya hanya merujuk pada al-Quran dan hadits Nabi serta tidak mau melangkah lebih jauh dari keduanya, mereka cenderung tidak menyukai kajian nalar juga sangat berhati-hati ketika mengemukakan fatwa suatu permasalahan.[15]
Pada masa khulafaurrasidin sumber hukum yang dipakai adalah seperti apa yang disampaiakan oleh nabi, yakni bersumber dari Al-qur’an dan hadis. Akan tetapi dimasa tabiin sumber hukum itu ditambah dengan fatwa sahabat ketika menentukan suatu hukum. Namun setelah itu pembukuan hadis dilakukan pada masa pemrintahan umar bin abdul aziz karena terdapat kekhawatiran tidak terurusnya hadis hadis tersebut. Sehingga dilakukan perhimpunan hingga pemilihan dari hadis sahih dan tidak sahih merupakan kebanggaan tersendiri dalam menyelamatkan syariat islam.
2.      Ahlu Ra’yi
Yang dimaksudkan dengan Ahlu al-Ra’y adalah aliran ijtihad yang mempunyai pandangan bahwa hukum Islam itu merupakan ketentuan-ketentuan doktrial yang mengacu pada kemaslahatan kehidupan umat manusia.[16]Ahlul Ra’yi digunakan untuk menyebut kelompok pemikir hukum islam yang memberikan porsi akal lebih banyak dibanding dengan pemikiran lainnya. Bila kelompok lain sangat terikat oleh teks nash, maka kelompok ini tidak terikat, mereka lebih leluasa dalam penggunaan akal. Kelompok Ahlul Ra’yi bukannya meninggalkan hadist dalam setiap penetapan hukum, namun mereka berpendapat bahwa nash mempunyai tujuan dan tafsiran tertentu, sehingga mereka berusaha untuk memecahkan suatu masalah dengan pemikiran dari manusia sendiri.[17]
Karena banyaknya persoalan yang mereka hadapi dan terbatasnya jumlah nash yang ada maka para Ahlur Ra‟y berupaya untuk memikirkan rahasia yang terkandung di balik nash. Diantara ulama yang masuk kedalam kategori aliran ini adalah: Al-Qamahbin Qois (w. 62 H), Syuraih bin Al Harits (w. 78 H).[18]
Adapun contoh dari pemikirian Ahlu Hadist dan Ahlu Ra’yi adalah sebagai berikut:
 Pertama: “Setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah seekor kambing”. Kedua: “Zakat fitrah itu satu gantang kurma atau gandum”. Ulama Ahlur ra’y memahami nash tersebut berdasarkan tujuan tasyr’, bukan redaksinya. Sehingga pemilik 40 ekor kambing tidak harus mengeluarkan zakat berupa seekor kambing, tetapi boleh mengeluarkan zakat berupa apa saja yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat minimal seharga satu ekor kambing. Begitu juga dengan zakat fitrah. Bagi mereka zakat fitrah boleh dibayar dengan kurma atau gandum atau apa saja yang senilai dengannya. Jadi penyebutan “satu ekor kambing” pada zakat ternak dan “segantang kurma atau gandum” pada zakat fitrah adalah bukan tujuan tasyri’, tetapi contoh sarana mewujudkan kesejahtraan umat manusia sebagai tujuan tasyri’. Menurut ulama Ahlul Hadits, pengeluaran zakat hewan ternak berupa satu ekor kambing dan zakat fitrah berupa segantang kurma atau gandum tidak perlu diganti, takut tidak sah.[19]

D.  Ijtihad dan Fiqh pada Masa Bani Abbasiyah
Periode ini disebut juga periode kematangan dan kesempurnaan fiqh atau masa pembukuan sunnah dan munculnya Imam-imam Madzhab (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Hambali).[20]
Madzhab-madzhab tersebut telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi bagi kajian hukum yang amat luas dan komprehensif sehingga memberikan peluang dan kemudahan kepada generasi muslim berikutnya untuk lebih mengembangkan kajian-kajian hukum dan menjalankan ketentuan-ketentuan syari’ah secara lebih baik. Berkembangnya madzhab-madzhab tersebut, seharusnya membuat hukum Islam lebih fleksibel, dinamis, karena kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat akan memunculkan alternatif ketentuan hukum (dari hasil ijtihad), yang pada akhirnya hukum Islam akan lebih adaptif dan akomodatif terhadap setiap perubahan yang terjadi di masyarakat.[21]
Dengan kata lain, bahwa ketentuan-ketuan hukum pada masa Bani Abbasiyah sangat dipengaruhi oleh ijtihad para Imam Mazhab tersebut. Adapun metode Ijtihad yang digunakan Imam Mazhab tersebut adalah sebagai berikut:[22]
1.      Mazhab  Hanafiyah
Dia adalah An-Nu’am bin Tsabit, lahir di Kufah dan wafat di Baghdad (80-150 H/699/767 M). Seorang cucunya bernama Ismail bin Hambal berkata: Kami adalah berasal dari keturuna Persia yang merdeka. Beliau sangat rajin belajar sejak kecil. Semua bidang ilmu pengetahuan digelutinya beliau juga terkenal zuhud dansangat tawaddu. Dalam mengistinbathkan hukum,beliau sangat berpegang teguh pada Kitabullah, as-Sunnah. Selain itu juga banyak menggunakan qiyas istihsan dan urf.
2.      Mazhab Malikiyah
Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas (93-178 H/ 712-795 M). Sejak lahir sampai meninggal beliau tidak pernah meninggalkan Madinah. Beliau belajar al-Qur’an, hadis dan fiqh dari para sahabat. Ia sangat berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, dan sebelum memutuskan fatwa, terlebih dahulu melakukan penelitian terutama masalah hadis dengan tujuh puluh temannya yang sangat ahli dibidang hadis, karena terkenal sangat kuat hafalannya. Sumber hukum mazhab Maliki adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ ahli Madinah, qoul sahabat, qiyas, maslahah mursalah.
3.      Imam as-Syafi’i
Penidiri mazhab ini adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150 H/769-820 M). Beliau lahir di Jalur Gazza, bertepatan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah. Sejak usia dini beliau sudah hafal al-Qur’aan, kemudian pada usia 20 ia pergi ke Hijaz untuk belajar hadis dan fiqh kepada Imam Malik. Setelah itu, beliau ke Irak untuk belajar kepada murid-murid Imam Abu Hanifah mengenai ilmu fiqh. Sempat mengajar di Yaman dan Baghdad. Dan di baghdad inilah beliau mengeluarkan qaul qadimnya. Dan kemudian beliau hijrah ke Mesir dan mengajar di Masjid Amru bin Ash. Di Mesir inilah  beliau merivisi pemikirannya yang disebut qaul jadid. Imam Syafi’i terkenal juga seseorang yang sangat produktif. Banyak buku, diantaranya adalah al-Umm, al-Risalah Amali Kubro, Musnad Syafi’i, dan beliau juga orang pertama kali yang meletakkan dasar dan menulis Usul Fiqh. Sumber hukum yang menjadi pegangan mahzab Syafi’i adalah al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istidlal. Akan tetapi mahzab ini sangat menolak istihsan yang pemakaiannya secara membabi buta.
4.      Imam Ahmad bin Hambal
Pendirinya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammadbin Hanbali bin Hilal as-Syaibani (164-241 H/780-855 M). Beliau lahir di baghdad yang sebagai kiblat ilmu pada saat itu. Ia sudah hafal al-Qur’an sejak belia, kemudian ia belajar bahasa Arab, hadis, fiqh, dan sejarah. Dalam proses belajar beliau banyak melanglang buana ke Basrah, di sini beliau juga berguru pada Imam Syafi’i. Karya Ilmiah yang beliau tulis adalah Musnad Ahmad Bin Hanbal. Dasar pengambilan hukum pada mazhab ini adalah al-Qur’an hadis shahih, fatwa sahabat, hadis hasan atau dhaif dan qiyas. Alasan mendahulukan hadis dhaif daripada qiyas adalah pernyataan beliau: “berpegang pada hadis dha’ifnya lebih saya sukai daripada qiyas.
Dari penjelasa di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, ijtihad yang terjadi pada masa Bani Abbasiyah adalah Ijtihad yang dilakukan oleh Imam Mazhab tersebut, yang kemudian dijadikan sumber untuk memutuskan suatu permasalahan.
Kemudian disamping itu, Ijtihad yang dilakukan oleh Imam Mazhab ini tidak bisa terlepas dari masa sebelumnya, yaitu masa Bani Umayyah. Karena pemekirian-pemikiran dari Imam Mahzab di atas sangat dipengaruhi oleh Ahlu Ra’yi dan Ahl Hadis. Imam Abu Hanifah, menyusun metodologi hukum yang belum dirumuskan oleh ulam’sebelumnya adalah, al-istihsan. Kemudian Imam Malik merumuskan metodologi al-Maslahah al-Mursalah, al-Urf dan amal ahli Madianh. Sedangkan Imam Syafi’i merumuskan metodologi analogi (Qiyas)..[23]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.    Ijtihad adalah kerja keras yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam mengerahkan segala daya kemampuannya untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum dari dalil yang masih bersifat dzonni, kemudian mengahsulkan ketentuan hukum yang bersifat tafsili (rinci)
2.    Secara umum para tabi’in / dinasti Umayyah pada masa ini mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk pada al Qur’an dan al Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka sendiri berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat. Disamping itu, Pada masa ini juga terdapat pembagian terhadap aktivitas pemikiran hukum secara bebas yakni Irak, Hijaz dan Syria imamnya masing-masing. Irak memiliki dua madzhab yaitu Basrah dan Kufah. Hijaz juga memiliki dua madzhab yaitu Makkah dan Madinah, namun madzhab Madinah lebih menonjol, sementara di Syria yang kurang populer madzhabnya. Hal inilah yang kemudian para ulama terbagi menjadi dua aliran, Ahli Ra’yu dan Ahli Hadits.
3.    Dari penjelasa di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, ijtihad yang terjadi pada masa Bani Abbasiyah adalah Ijtihad yang dilakukan oleh Imam Mazhab tersebut, yang kemudian dijadikan sumber untuk memutuskan suatu permasalahan. Kemudian disamping itu, Ijtihad yang dilakukan oleh Imam Mazhab ini tidak bisa terlepas dari masa sebelumnya, yaitu masa Bani Umayyah. Karena pemekirian-pemikiran dari Imam Mahzab di atas sangat dipengaruhi oleh Ahlu Ra’yi dan Ahl Hadis.
Imam Abu Hanifah, menyusun metodologi hukum yang belum dirumuskan oleh ulam’sebelumnya adalah, al-istihsan. Kemudian Imam Malik merumuskan metodologi al-Maslahah al-Mursalah, al-Urf dan amal ahli Madianh. Sedangkan Imam Syafi’i merumuskan metodologi analogi (Qiyas).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul wahab Khalaff. Terjemah Ilmu Usul Fiqh. Jakarta: Pustaka Aamani, 2003.
Abdul Wahhab Khallaf. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985. 
Abdullah Mustofa al-Maraghi. Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyin, Terj. Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah. Yogyakarta: LKPSM, Cet.I, 2001.
Ahmad Hasan. The Early Development of Islamic Jurisprudensi. op. Cit. 1998.
Dede Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosial.  Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1995.
Ibrahim Husein. Ijtihad  Dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1991.
Muh. Zuhri.  Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Muh. Zuhri. Hukumislam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada:, 2000.
Muhammad Ali As-sayis. Tarikh al-Fiqh al-Islami. op.cit.  1999.
Mukhtar  Yahya. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif, , 1999.
Mun’im A. Sirry.  Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti, 1998.
Mun’im A. Sirry. Pengantar Sejarah Fiqh Islam. op. cit. Tt.
Yayan Sopyan. Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramata Publishing, 2010.
Yusuf al-Qardhawi. Al-Ijtihad fi al-Syari‘ah  al-Islamiyyah Ma‘a Nazarat Tahliliyyah fi al-Ijtihad al-Ma‘asir, terj. Achmad Syathori, Ijtihad dalam Syariat Islam Beberapa Pandangan Analisis tentang Ijtihad Kontemporer. Cet. I, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987.




[1] Yusuf al-Qardhawi, Al-Ijtihad fi al-Syari‘ah  al-Islamiyyah Ma‘a Nazarat Tahliliyyah fi al-Ijtihad al-Ma‘asir, terj. Achmad Syathori, Ijtihad dalam Syariat Islam Beberapa Pandangan Analisis tentang Ijtihad Kontemporer (Cet. I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), h. 1.
[2] Ibrahim Husein, Ijtihad  Dalam Sorotan,( Bandung: Mizan, 1991), h. 25.
[3] Abdul wahab Khalaff, Terjemah Ilmu Usul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Aamani, 2003), h. 317.
[4] Ibid, 318.
[5] Abdul wahab Khalaff, Terjemah Sejarah Fiqh Islam, (Jakarta: Pustaka Aamani, 2003), h. 13.
[6] Muhammad bin Mandhur, Lisanul Arab, madah : fiqih Al-Mishbah Al-Munir, t.t), hlm. 90.
[7] Manna Al-Qaththan, At-Tasyri wa Al-Fiqh fi Al-Islam, hal. 14
[8] Mun’im A. Sirry,  Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 49.
[9]Muh. Zuhri,  Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), 61
[10] Ibid, 52.
[11] Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudensi,( op. Cit)., hlm. 18
[12] Muhammad Ali As-sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (op.cit),  hlm. 111-1116.
[13]Muh. Zuhri, Hukumislam dalam Lintasan Sejarah, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 68.
[14] Abdul Wahhab Khallaf, , Ikhtisar Sejarah Hukum Islam, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), hlm. 51. 
[15]Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial,  PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 134
[16]Mukhtar  Yahya dkk,  Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1999, hal. 129
[17 ibid 
[18] Ibid, 130.
[19]ibid.
[20] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyin, Terj. Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, Cet.I, 2001), hlm.72.
[21] Mun’im A. Sirry, Pengantar Sejarah Fiqh Islam, op. cit., hlm. 128
[22]Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm. 120-123.
[23] Ibid, 124.

Komentar

PERPECAHAN POLITIK ISLAM DAN DAMPAKNYA DI BIDANG TEOLOGI

A.   Pengantar Sukses Nabi membangun sistem pemerintahan baru di Madinah dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya dengan mengembangkan sistem politik Islam dan melakukan perluasan wilayah secara besar-besaran. Bersamaan dengan itu, jalan peyebaran dakwah Islam semakin licin dan terbuka. Tidak ada rintangan lagi bagi bangsa manapun untuk berbodong-bondong memeluk Islam. Karena hambatan-hambatan struktural dan politis yang sering mengintimidasi psikologi masyarakat awam dalam menentukan pilihan keyakinannya telah berhasil dilumpuhkan oleh umat Islam yang telah tumbuh menjadi kekuatan alternatif menggantikan imperium Romawi dan Persia yang sudah kropos. [1] Keberhasilan kaum muslimin membangun imperium yang luas, maju dan tangguh memberi kesan yang kuat bahwa, mengutip kata-kata Nurcholish Madjid, “salah satu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal penampilannya, ialah kejayaan dibidang politik”.“Kendati demikian…”, lanjut Nurcholish, “sejarah mencatat dengan penuh kesedi...