KONSEP IJTIHAD DAN MUJTAHID
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Ijtihad adalah suatu cara untuk
mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan
Al-hadits dengan jalan istinbat. Dengan kata lain ijtihad merupakan sebuah
media yang sangat besar peranannyadalam hukum-hukum Islam (Fiqh). Tanpa
ijtihad, mungkin saja konstruksi hukumIslam tidak akan pernah berdiri kokoh
seperti sekarang ini serta ajaran Islam tidak akan bertahan dan tidak akan
mampu menjawab tantangan zaman saat ini.Yang dapat melakukan ijtihad hanyalah
seorang mujtahid. Adapun mujtahiditu ialah ahli fiqih yang menghabiskan
atau mengerahkan seluruh kesanggupannyauntuk memperoleh persangkaan kuat
terhadap sesuatu hukum agama. Dalammenentukan atau menetapkan hukum-hukum
ajaran Islam para mujtahid telahberpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran
Islam.Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang
telahmengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum
tentangmasalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-masalah
yangsudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun masalah-masalah yang
baruterjadi di masa ini.
Ijtihad
itu dibutuhkan di setiap zaman, maka pada zaman kita sekarang ini lebih butuh
lagi kepada ijtihad bila dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya, karena
adanya perubahan yang terjadi dalam kehidupan dan perkembangan sosial yang amat
pesat. Oleh sebab itu, adalah suatu kebutuhan mendesak pada masa sekarang ini
untuk selalu membuka kembali pintu ijtihad. Seperti kaidah fiqih
"Perubahan Hukum Tergantung Perubahan Waktu Atau Perubahan Fatwa
Tergantung Pada Perubahan Zaman". Kaidah tersebut menjadi semacam petunjuk
yang memungkinkan orang untuk mengatakan bahwa hukum Islam itu tidak kaku,
elastis dan akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Usaha untuk tetap
menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari belenggu kekakuan dan
ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan yang harus dilakukan
secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap
aktual dan dapat dipertahankan dalam kehidupan praktis. [1]
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah
dipaparkan di atas, penyusunmencoba mengemukakan beberapa permasalahan pokok
berkaitan dengan materimakalah ini, yaitu:
1.Apa pengertian dan objek Ijtihad?
2.Apa dasar hukum dari ijtihad?
3. Bagaimana konsep dasar ijtihad dalam
istinbat hukum Islam ?
4. Apa macam-macam ijtihad ?
5. apa tingkatan ijtihad ?
6. Apa pengertian dan syarat syarat Ijtihad ?
BAB II
Pembahasan
A.
Definisi dan objek Ijtihad
Kata
ijtihad berasal dari akar kata jahada yang berarti ‚mencurahkan segala kemampuan
atau menanggung beban kesulitan. Karena itu, ijtihad menurut ahlibahasa ialah
usaha yang optimal dan menanggung beban berat.
Dalam
Lisan al-Arab disebut bahwa perkataan إجتهاد , diambil dari kata جَهدdan جُهد yang secara etimologi berarti al-Musyaqqah dan al-Taqah,
sementara إجتهاد dan تجاهد berarti penumpahan segala kemampuan dan tenaga. Bentuk kata إجتهد yang
mengikuti wazan إفتعالmenunjukkan arti berlebih‛(Mubalaghah)
dalam perbuatan. Karena itu kata إجتهد mempunyai arti lebih dari kata جهد[2]
Ibrahim Husein
mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal dari
kata nabath(air yang mula-mula memancar dari sumber yang
digali). Oleh karena itu menurut bahasa arti istinbathsebagai muradifdari
ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari persembunyian”.[3]
Dilihat dari segi kebahasaan,
kata ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk mewujudkan
sesuatu. Maka, jika disederhanakan perumusannya, ijtihad bermakna kerja keras
dan bersungguh-sungguh, Dengan demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan
maksimal serta mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan
pelakunya dinamai mujtahid.[4]
Kamudian, kata tersebut digunakan
sebagai salah satu istilah ilmu usul fiqh yang bermakna “usaha maksimal ulama
fikih dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang
bersifat dzhonni”. Oleh Karena itu, pengertian ijtihad menurut bahasa sangat
erat kaitannya dengan pengertian ijtihad menurut istilah. Berbagai macam
pertanyaan tentang pengertian ijtihad secara terminologis (istilah) dapat
ditemukan. Perbedaan itu didasarkan pada pendekatan yang digunakan. Bagi ulama
yang berpikiran integral, Ijtihad diartikan sebagai segala upaya yang dilakukan
oleh mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, termasuk bidang teologi, filsafat dan
tasawuf. Bagi mereka, ijtihad tidak terbatas hanya dalambidang fikih. Disisi
lain para ahli usul fiqh berpendapat bahwa ijtihad hanya terbatas dalam bidang
fikih saja.[5]
Secara terminologi sebagaimana
didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu:
بذلالفقيووسعةفياستنباطالأحكامالعمليةمنأدلتهاالتفصيلية
Artinya: Pengerahan segala
kemampuan seorang ahli fikih dalam menetapkan (istinbat) hukum yang berhubungan
dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci (satu persatu). Menurut
definisi sebagian ulama usul fiqh sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa
ijtihad adalah “mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin
itu adakalanya dalam penerapan hukum”.
Mantan
mufti negeri Mesir Prof. Dr. Ali Jum‘ah mengatakan secara terminologi ijtihad
adalah seorang faqih bekerja keras untuk menghasilkan suatu ketetapan hukum
syar’i yang bersifat zhanniy. Menurutnya ijtihad sendiri merupakan sesuatu yang
sangat urgen. Hal ini dapat dilihat dari dua hal:
a. Dzhonniyat al-Nusus. Artinya
bahwa sebagian besar dari nas syar’i memiliki lebih
dari satu makna.
b. Nas-nas syar’i sangat terbatas
sementara realitas yang dihadapi umat manusia tidak terbatas. Dari sini, dapat
dikatakan bahwasanya fungsi ijtihad adalah memberikan kesinambungan terhadap ketetapan
hukum syar’i yang telah terputus bersama dengan berhentinya wahyu.[6]
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad
adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari
pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek
ijtihad. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi
dalam dua bagian:
Pertama: Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah
Kedua: Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama.
Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Pertama: Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah
Kedua: Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama.
Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih
zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari
nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan
lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan
yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara
menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan,
mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan
dikalangan para ulama.
B. Disyari‘atkan
Ijtihad
Tidak
ada keraguan lagi bahwa ijtihad amat diajurkan dalam Islam. Posisi ijtihad
memiliki dasar yang kuat dan dalil yang ditetapkan disyariatkannya ijtihad
adalah al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’.
a. Dalam al-Qur’an terdapat
ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara
isyarat maupun secara jelas.
1) Firman Allah SWT. dalam QS
al-Nisa’ :59 berbunyi:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْأَطِيعُواْاللّهَوَأَطِيعُواْالرَّسُولَوَأُوْلِيالأَمْرِمِنكُمْفَإِنتَنَازَعْتُمْفِيشَيْءٍفَرُدُّوهُإِلَىاللّهِوَالرَّسُولِإِنكُنتُمْتُؤْمِنُونَبِاللّهِوَالْيَوْمِالآخِرِذَلِكَخَيْرٌوَأَحْسَنُتَأْوِيلاً
Terjemahnya: Wahai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Pada
ayat di atas terdapat perintah untuk mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan
kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul-Nya (sunnah). Hal ini menunjukkan perintah
berijtihad dengan tidak mengikuti hawa nafsu tetapi menjadikan al-Qur’an dan
sunnah sebagai sumbernya.
2) Dalill dari As-Sunnah
Dalam hadis Nabi saw. antara lain:
Masalah
ijtihad telah ada dan telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, walaupun ijtihad
Rasulullah saw merupakan hasil rujukan dan wahyu, karena ada keizinan Allah
secara grobal. Jika ternyata ijtihadnya salah, maka Allah membenarkan
ijtihadnya, dan jika ijtihad yang dihasilkan oleh Rasul adalah benar, maka
Allah yang mengukuhkannya secara terinci.
Nabi saw. sebagai sandaran ijtihad
menjelaskan:
عَنْعَمْرِوبْنِالْعَاصِأَنَّهسَمعَرَسُولَاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهوَسَلَّمَقَالَ
: إِذَاحَكَمَالْحَاكِمُفَاجْتَهَدَثُمَّ أَصَابَ،فَلَهُأَجْرَانِ،وَإِذَاحَكَمَفَاجْتَهَدَثُمَّ
أَخْطَأَ،فَلَهُأَجْرٌ .)رواهالمسلم(
Artinya: Dari Amr Ibn Ash sungguh
ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Mana kala seorang hakim menetapkan
(perkara) dengan berijtihad, kemudian benar, maka baginya akan mendapat dua
pahala dan apabila hasil ijtihadnya salah maka mendapatkan satu pahala.
C. Dasar
Hukum Ijtihad
Ijtihad
yang disyariatkan Islam masih berlaku pada setiap masa dan setiap
tempat, maka bagaimana dengan
hukum ijtihad menurut pandangan ulama? Hukum
ijtihad bisa saja diumpamakan
sebagai hukum taklifi yaitu fardu ‘ain, fardu kifayah,
mandub, haram, makruh.[7]
a) Ijtihad itu fardu ain, membagi
kepada dua keadaan:
1) Ijtihad yang harus dilakukan
oleh diri seorang mujtahid ketika muncul suatu kejadian. Dengan kata lain, ia
harus berijtihad untuk dirinya tentang hal yang berhubungan dengan ibadah,
muamalah, perkawinan, talak, dan sebagainya.
2) Ijtihad dalam satu perkara yang
mana dia harus memutuskan hukumnya (seperti tidak ada orang selain dirinya yang
bisa dipercaya kafakihan dan kemampuan agamanya, maka ini adalah wajib baginya
berijtihad) bila kebutuhan mendesak agar cepat untuk menentukan hukum kejadian
itu, ia harus cepat berijtihad tetapi bila tidak terlalu mendesak, bolehlah ia
menundanya.
b) Ijtihad hukumnya fardu kifayah,
juga terbagi dalam dua keadaan:
1) Bila terjadi suatu perkara pada
seseorang lalu minta fatwa pada salah seorang ulama, kewajiban untuk menjawab
fatwa ini dipikulkan kepada semua umat, terutama ulama yang diajukan pertanyaan
tersebut. Kalau dia atau lainnya menjawab masalah tersebut, maka gugurlah
kewajiban atas umum tetapi bila tidak ada yang menjawab maka berdosalah
semuanya.
2) Suatu hukum yang harus
diputuskan oleh dua orang hakim yang bersekutu. Kewajiban untuk memutuskan ini
dipikulkan kepada kedua pundak hakim tadi. Bila salah seorang telah menetapkan
keputusannya, gugurlah kewajiban atas hakim yang kedua.
c) Hukum ijtihad yang mandub,
terdapat dalam dua keadaan:
1) Ijtihad seorang ulama terhadap
perkara yang belum muncul sehingga ia telah mengetahui hukum suatu perkara yang
belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang
dikenal dengan fiqh iftirad (fikih perbandingan).
2) Ijtihad terhadap suatu perkara
yang ditanyakan oleh seseorang kepadanya sebelum terjadinya perkara itu.
d) Hukum ijtihad yang haram, terbagi
dalam dua keadaan:
1) Berijtihad terhadap
permasalahan yang sudah tegas (qat‘) ihukumnya baik berupa ayat atau hadis dan
ijtihad yang menyalahi ijma’.
2) Berijtihad bagi seorang yang
belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan
benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah
tanpa ilmu, maka hukumnya haram.
e) Hukum ijtihad yang makruh,
keadaannya sebagai berikut:
Ijtihad yang hukumnya makruh pada
beberapa masalah yang tidak diharapkan munculnya dan bukan kebiasaan dengan
berlakunya, maka disebut dengan ijtihad yang luar biasa. Andaikata tidak
ijtihadnya tidak bermanfaat dan tidak berkualitas apa yang dikatakan padanya,
ijtihad ini adalah makruh hukumnya.[8]
D. Konsep
Ijtihad Dalam Istinbat Hukum Islam
Ijtihad
digunakan oleh para ulama dalam menganalisa hukum Islam dengan menggunakan
sumber-sumber atau dalil-dalil syar‘iyyah dalam kajiannya, karena sumber atau
dalil tersebut yang menjelaskan dan menentukan kebenaran hukumnya.
Para
ulama membagi sumber hukum syara‘ menjadi dua: pertama, sumber yang disepakati
(muttafaq) dan dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Sumber sumber yang
disepakati itu terdiri dari empat sumber, yang menjadi pengambilan hukum-hukum
yang berkenaan dengan perbuatan manusia. Sumber yang keempat itu telah
disepakati oleh jumhur ulama untukdipergunakan sebagai dalil dan dalam
mempergunakan dalil tersebut mereka sependapat bahwa empat sumber tersebut
mempunyai urutan susunannya, yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma‘, dan Qiyas.[9]
Di
samping itu, ada pula dalil lainnya selain keempat dalil tersebut dimana jumhur
ulama tidak disepakati (mukhtalaf) untuk menjadikannya sebagai dalil. Di antara
mereka ada yang mempergunakannya sebagai dalil bagi hukum syara‘, dan sebagian
lagi menolak untuk menjadikannya sebagai dalil. Menurut Wahbah Zuhaili dalil
tersebut ada tujuh, yaitu istihsan, maslahah mursalah (istislah), istishab,
urf, mazhab sahabi, syar‘u man qablana, saddu al-Zariah.[10]
Sedangkan
seorang Profesor Indonesia mengemukakan kesimpulannya tentang sumber hukum
Islam bahwa sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, Sunnah,dan al-Ra’yu (akal
pikiran) manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad, dengan mempergunakan
metode atau cara, di antaranya adalah Ijma‘, Qiyas, Istidlal, Istihsan,
Maslahah Mursalah, Istishab, dan Urf). Beliau menjelaskan bahwa sumber pertama
adalah al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan sumber tambahan atau sumber pengembangan
hukum Islam yang pada hakikatnya juga sama, karena apa yang disebut oleh
Syafi‘i sebagai ijma’ dan qiyas itu sesungguhnya adalah metode yang
dipergunakan oleh akal pikiran manusia, baik itu dengan melakukan analogi
sendiri (qiyas) maupun secara bersama mencapai suatu konsensus (ijma‘) dalam
usaha menemukan dan menentukan kaidah hukum untuk diterapkan pada suatu kasus
tertentu. [11]
E.
Macam-macam Ijtihad
Dikalangan ulama, terjadi
perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’I
menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua macam,
tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang
didasarkan pada istihsanatau maslahah mursalah.
Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad.
Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu,
qiyas, dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana
yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang
dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya
mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak.
Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihadmenjadi
kitabAl-Muwafakat, yaitu:
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Aal-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan
menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-istislah, yaitu ijtihad terhadap
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan
menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.[12]
Pembagian
di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Taqiyu
al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal
mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang
hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’.
Mujtahiddibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang
pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai
penjelasan, dan lain-lain.
2. Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang
didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’,
qiyas, istihsan, Istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ijtihad Fardi, menurut al-Thayyib Khuderi
al-Sayyid, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa
orang ijtihad. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para iman mujtahid besar:
iman Abu Hanifah, Iman Malik, Iman Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal dan lain lain.
2. Ijtihad Jama’i, adalah apa yang dikenal
dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari
umat Muhammad SAW setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam
sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’I dalam pengertian ini hanya melibatkan
ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu fikih. Dalam perkembangannya, apa
yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-Thayyib
Khuderi al-Sayyid, disamping bukan berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid,
juga bukan dalam satu disiplin ilmu.[13]
F.
Tingkatan Ijtihad
Dalam menbicarakan masakah tingkatan ijtihad, tidak terlepas
dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya
menurut pintu ijtihad.
Menurut
As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran
bahwa mujtahid mutlaqitu sudah tidak ada lagi dan yang ada sekarang
hanyalah mujtahid muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan
tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya
perbedaan antaramujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid
muntasib yang semuanya berbeda.[14]
Dilihat
dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan, tingkatan
mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil masa’il, mujtahid fil
mazhab, dan mujtahid muqayyad.
a. Mujtahid
Fisy Syar’i
Mujtahid fisy
syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah
syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang
membangun mazhab-mazhab tertentu. Ijtihad yang mereka lakukan semata-mata hasil
usahanya sendiri tanpa mengambil pendapat orang lain. Oleh karena itu, mereka
disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang termasuk
mujtahid fisy syar’i antara lain Imam Hanafi, Iman Malik, Iman Syafi’i Iman
Ahmad bin Hambal, Iman Al Auza’i dan Ja’far As Siddiq.
b.Mujtahid Fil
Masa’il
Mujtahid fil
masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari
suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya, At
Tahawi merupakan mujtahid dalammazhab Hanafi, Imam Al Gazali merupakan mujtahid
dalam mazhab Syafi’i, dan Al Khiraqi merupakan mujtahid dalam mazhab Hambali.
c. Mujtahid
Fil Mazhab
Mujtahid yang
ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri. Akan tetapi, mereka cukup
mengikuti salah seorang imam mazhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan, baik
dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang.
Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ubnul Hasan adalah mujtahid fil mazhab
Hanafi dan Imam Al Muzanniy adalah mujtahid fil mazhab Syafi’i.
d. Mujtahid
Muqayyad
Mujtahid
muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulama
salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka
mampu menetapkan pendapat yang lebih utama di antara pendapat yang berbeda-beda
dalam suatu mazhab dan dapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah.
Mereka adalah Al Karakhi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Hanafi serta Ar
Rafi’i dan An Nawawi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i.[15]
G. Mujtahid
Secara bahasa kata mujtahid
merupakan isim fa’il dari kata اجتهد – يجتهد –
اجتهدا فهو مجتهد artinya
bersungguh-sunguh melakukan sesuatu.[16]
Seadangkan secara istilah ulama ushul berbeda pendapat dalam merumuskan
pengertian mujtahid di antaranya :
Menurut Imam Ghazali:بدل المجتهد وسعه فى طلب العلم بأحكام الشريعة
Mujtahid: Mencurahkan
maksimal kemampuannya, dalam mencari ilmu tentang hukum syari’at.
Menurut Ibnu Hajib dan Ibnu Subki:إستفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم شرعي
Adanya ahli fiqh mencurahkan
kemampuannya untuk memperoleh suatu pengertian ‘dzhanni’ pada hukum
syar’i.
Menurut Abu Zahrah :بذل الفقيه وسعه فى إستنباط الاحكام العملية من ادلتها
Pengerahan kemampuan untuk
mengistinbathkan hukum yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci
(tafshili).
Menurut Ibnu Humam :بذل الطاقة من الفقيه فى تحصيل حكم شرعي عقليا كان أو نقليا
قطعيا كان أو ظنيا
Mencurahkan kemampuan dari ahli
fiqh untuk memperoleh hukum syar’i, baik aqli, maupun naqli, qot’i atau dzhanni.[17]
H. Syarat
Mujtahid
Ulama ushul berbeda
pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat
yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan
seorangmujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Menguasai
dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut
bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal,
melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya
apabila ia membutuhkan. Aman Ghazali, Ibnu Arabian, dan Ar-Razi membatasi
ayat-ayat hukum tersebut sebanyak 500 ayat.
2. Menguasai dan
mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at. Akan
tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui
letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu
Arabian membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang
berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu,
pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar
dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.[18]
Menurut
Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun
hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus
hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis.
Sedangkan
menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab
yang sudah manshyur kesahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan
lain-lain.
3. Mengetahui
nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunah, supaya tidak salah dalam
menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya. Di antara
kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan
dalam nasakh danmansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah,
Abi Ja’far An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm, dan lain-lain.
4. Mengetahui
permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama,
sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa
dijadikan rujukan di antaranya Kitab Maratibu al-Ijma’.
5. Mengetahui
qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya, karenaqiyas merupakan
kaidah dalam berijtihad.
6. Mengetahui
bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta
berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-Sunnah
ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul
menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui
maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau Al-Hadis.
7. Mengetahui
ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru
Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqih
8. Mengetahui
maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena bagaimanapun juga
syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syari’ah atau rahasia disyari’atkannya
suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan, maslahah mursalah,
urf, dan sebagainya yang menggunakan maqashidu Asy-Syari’ah sebagai standarnya.
Syarat-syarat
tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlak yang bermaksud mengadakan ijtihad
dalam segala masalah fikih di masa lampau. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan
di masa sekarang, syarat-syarat tersebut tentu belum mencukupi. Untuk melakukan
ijtihad, diperlukan pula pemahaman terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan
segala cabangnya. Akan tetapi, usaha itu bukanlah suatu hal yang mudah dan
memerlukan kerja keras dan keseriusan. Ijtihad yang dilakukan secara kolektif
sangat membantu untuk melakukan ijtihad yang efektif.[19]
BAB III
Penutup
Ijtihad secara etimologi adalah penumpahan
segala kemampuan dan tenaga. Dan ijtihad secara terminologi adalah usaha
maksimal ulama fikih dalam melakukan kajian untuk memperoleh
ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat dzhonni. Sedangkan mujtahid adalah
orang yang melakukan ijtihad.
Ijtihad
sangat diajurkan dalam Islam, Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dan dalil
yang ditetapkan disyariatkannya ijtihad adalah al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْأَطِيعُواْاللّهَوَأَطِيعُواْالرَّسُولَوَأُوْلِيالأَمْرِمِنكُمْفَإِنتَنَازَعْتُمْفِيشَيْءٍفَرُدُّوهُإِلَىاللّهِوَالرَّسُولِإِنكُنتُمْتُؤْمِنُونَبِاللّهِوَالْيَوْمِالآخِرِذَلِكَخَيْرٌوَأَحْسَنُتَأْوِيلاً
Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS
An Nisa; 59
Hukum
ijtihad bisa saja diumpamakan sebagai hukum taklifi yaitu fardu ‘ain, fardu
kifayah, mandub, haram, makruh. Para ulama membagi sumber hukum syara‘ menjadi
dua: pertama, sumber yang disepakati (muttafaq) dan dalil yang tidak disepakati
(mukhtalaf). Sumber sumber yang disepakati itu terdiri dari empat sumber.
Sumber yang keempat itu telah disepakati oleh jumhur ulama untukdipergunakan
sebagai dalil dan dalam mempergunakan dalil tersebut mereka sependapat bahwa
empat sumber tersebut mempunyai urutan susunannya, yaitu al-Qur’an, Sunnah,
Ijma‘, dan Qiyas.
tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil
masa’il, mujtahid fil mazhab, dan mujtahid muqayyad.
persyaratan
seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Menguasai dan mengetahui arti
ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun
syari’ah
2.
Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa
maupun syari’at
3. Mengetahui nasakh dan mansukh
dari Al-Qur’an dan As-Sunah
4. Mengetahui permasalahan yang
sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama
5. Mengetahui qiyas dan berbagai
persyaratan serta meng-istinbatnya
6. Mengetahui bahasa Arab dan
berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya.
7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih
yang merupakan fondasi dari ijtihad.
8. Mengetahui maqashidu
Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum
[1] Shuhufi, 2012:3
[2]Yusuf
al-Qardhawi, Al-Ijtihad fi al-Syari‘ah
al-Islamiyyah Ma‘a Nazarat Tahliliyyah fi al-Ijtihad al-Ma‘asir, terj.
Achmad Syathori, Ijtihad dalam Syariat Islam Beberapa Pandangan Analisis
tentang Ijtihad Kontemporer (Cet. I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), h. 1.
[3]Ibrahim Husein, Ijtihad
Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1991, hal. 25
[4]Shuhufi,2012:11-12
[5]Harun
Nasution, ‚Ijtihad Sebagai Sumber Ketiga Ajaran Islam‛ dalam Haidar
Bagir, Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988), h. 12.
[6]Ali Jum’ah, Alyatu al-Ijtihad
(Cet. I; t.t.: Al-Risalah, 2004), h. 9.
[7]Yusuf
al-Qardhawi, Al-Ijtihad fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah Ma‘a Nazarat Tahliliyyah
fi al-Ijtihad al-Ma‘asir, terj. Achmad Syathori, Ijtihad dalam Syariat Islam
Beberapa Pandangan Analisis tentang Ijtihad Kontemporer , h. 104.
[8]Satria
Effendi, M Zein, Ushul Fiqh (Cet. III; Jakarta: Fajar Interpratama, 2009), h.
255-256.
[9]Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, terj. Moh. Zuhri, Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqh, h.
13-14.
[10]Wahbah Zuhaili, Usul Fiqh
al-Islami , Juz I (Cet. I; Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), h. 417.
[11]Muhammad Daud
Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, h.
77-78.
[13]Hasan
Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN SU
Medan, h. 93
[16]Kholid Ramadhan Hasan, Mu’jam ushul al-Fiqh, (Masr :
Dar ar-Raudha, 1998), h. 249
[17]Muhammad Abu Zahra, Ushul
al-Fiqh, (Masr : Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 379
Komentar
Posting Komentar