BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istinbat. Dengan kata lain ijtihad merupakan sebuah media yang sangat besar peranannyadalam hukum-hukum Islam (Fiqh). Tanpa ijtihad, mungkin saja konstruksi hukumIslam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini serta ajaran Islam tidak akan bertahan dan tidak akan mampu menjawab tantangan zaman saat ini.Yang dapat melakukan ijtihad hanyalah seorang mujtahid. Adapun mujtahiditu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannyauntuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Dalammenentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telahberpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam.Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telahmengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum tentangmasalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-masalah yangsudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun masalah-masalah yang baruterjadi di masa ini.
            Ijtihad itu dibutuhkan di setiap zaman, maka pada zaman kita sekarang ini lebih butuh lagi kepada ijtihad bila dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya, karena adanya perubahan yang terjadi dalam kehidupan dan perkembangan sosial yang amat pesat. Oleh sebab itu, adalah suatu kebutuhan mendesak pada masa sekarang ini untuk selalu membuka kembali pintu ijtihad. Seperti kaidah fiqih "Perubahan Hukum Tergantung Perubahan Waktu Atau Perubahan Fatwa Tergantung Pada Perubahan Zaman". Kaidah tersebut menjadi semacam petunjuk yang memungkinkan orang untuk mengatakan bahwa hukum Islam itu tidak kaku, elastis dan akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari belenggu kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan yang harus dilakukan secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap aktual dan dapat dipertahankan dalam kehidupan praktis. [1]



B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penyusunmencoba mengemukakan beberapa permasalahan pokok berkaitan dengan materimakalah ini, yaitu:
1.Apa pengertian dan objek Ijtihad?
2.Apa dasar hukum dari ijtihad?
3. Bagaimana konsep dasar ijtihad dalam istinbat hukum Islam ?
4. Apa macam-macam ijtihad ?
5. apa tingkatan ijtihad ?
6. Apa pengertian dan syarat syarat Ijtihad ?
















BAB II
Pembahasan
A.    Definisi dan objek Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari akar kata jahada yang berarti ‚mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Karena itu, ijtihad menurut ahlibahasa ialah usaha yang optimal dan menanggung beban berat.
Dalam Lisan al-Arab disebut bahwa perkataan إجتهاد , diambil dari kata جَهدdan جُهد yang secara etimologi berarti al-Musyaqqah dan al-Taqah, sementara إجتهاد dan تجاهد berarti penumpahan segala kemampuan dan tenaga. Bentuk kata إجتهد yang mengikuti wazan إفتعالmenunjukkan arti berlebih‛(Mubalaghah) dalam perbuatan. Karena itu kata إجتهد mempunyai arti lebih dari kata جهد[2]
Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal dari kata nabath(air yang mula-mula memancar  dari sumber yang digali). Oleh karena itu menurut bahasa arti istinbathsebagai muradifdari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari persembunyian”.[3]
            Dilihat dari segi kebahasaan, kata ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk mewujudkan sesuatu. Maka, jika disederhanakan perumusannya, ijtihad bermakna kerja keras dan bersungguh-sungguh, Dengan demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan maksimal serta mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan pelakunya dinamai mujtahid.[4]
Kamudian, kata tersebut digunakan sebagai salah satu istilah ilmu usul fiqh yang bermakna “usaha maksimal ulama fikih dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat dzhonni”. Oleh Karena itu, pengertian ijtihad menurut bahasa sangat erat kaitannya dengan pengertian ijtihad menurut istilah. Berbagai macam pertanyaan tentang pengertian ijtihad secara terminologis (istilah) dapat ditemukan. Perbedaan itu didasarkan pada pendekatan yang digunakan. Bagi ulama yang berpikiran integral, Ijtihad diartikan sebagai segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, termasuk bidang teologi, filsafat dan tasawuf. Bagi mereka, ijtihad tidak terbatas hanya dalambidang fikih. Disisi lain para ahli usul fiqh berpendapat bahwa ijtihad hanya terbatas dalam bidang fikih saja.[5]
Secara terminologi sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu:
بذلالفقيووسعةفياستنباطالأحكامالعمليةمنأدلتهاالتفصيلية
Artinya: Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fikih dalam menetapkan (istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci (satu persatu). Menurut definisi sebagian ulama usul fiqh sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa ijtihad adalah “mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam penerapan hukum”.
Mantan mufti negeri Mesir Prof. Dr. Ali Jum‘ah mengatakan secara terminologi ijtihad adalah seorang faqih bekerja keras untuk menghasilkan suatu ketetapan hukum syar’i yang bersifat zhanniy. Menurutnya ijtihad sendiri merupakan sesuatu yang sangat urgen. Hal ini dapat dilihat dari dua hal:
a. Dzhonniyat al-Nusus. Artinya bahwa sebagian besar dari nas syar’i memiliki lebih
dari satu makna.
b. Nas-nas syar’i sangat terbatas sementara realitas yang dihadapi umat manusia tidak terbatas. Dari sini, dapat dikatakan bahwasanya fungsi ijtihad adalah memberikan kesinambungan terhadap ketetapan hukum syar’i yang telah terputus bersama dengan berhentinya wahyu.[6]
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
Pertama: Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah
Kedua: Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama.
Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama.
B.     Disyari‘atkan Ijtihad
Tidak ada keraguan lagi bahwa ijtihad amat diajurkan dalam Islam. Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dan dalil yang ditetapkan disyariatkannya ijtihad adalah al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’.
a. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara isyarat maupun secara jelas.
1) Firman Allah SWT. dalam QS al-Nisa’ :59 berbunyi:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْأَطِيعُواْاللّهَوَأَطِيعُواْالرَّسُولَوَأُوْلِيالأَمْرِمِنكُمْفَإِنتَنَازَعْتُمْفِيشَيْءٍفَرُدُّوهُإِلَىاللّهِوَالرَّسُولِإِنكُنتُمْتُؤْمِنُونَبِاللّهِوَالْيَوْمِالآخِرِذَلِكَخَيْرٌوَأَحْسَنُتَأْوِيلاً
Terjemahnya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Pada ayat di atas terdapat perintah untuk mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul-Nya (sunnah). Hal ini menunjukkan perintah berijtihad dengan tidak mengikuti hawa nafsu tetapi menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai sumbernya.
2) Dalill dari As-Sunnah
Dalam hadis Nabi saw. antara lain:
Masalah ijtihad telah ada dan telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, walaupun ijtihad Rasulullah saw merupakan hasil rujukan dan wahyu, karena ada keizinan Allah secara grobal. Jika ternyata ijtihadnya salah, maka Allah membenarkan ijtihadnya, dan jika ijtihad yang dihasilkan oleh Rasul adalah benar, maka Allah yang mengukuhkannya secara terinci.
Nabi saw. sebagai sandaran ijtihad menjelaskan:
عَنْعَمْرِوبْنِالْعَاصِأَنَّهسَمعَرَسُولَاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهوَسَلَّمَقَالَ : إِذَاحَكَمَالْحَاكِمُفَاجْتَهَدَثُمَّ أَصَابَ،فَلَهُأَجْرَانِ،وَإِذَاحَكَمَفَاجْتَهَدَثُمَّ أَخْطَأَ،فَلَهُأَجْرٌ .)رواهالمسلم(
Artinya: Dari Amr Ibn Ash sungguh ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Mana kala seorang hakim menetapkan (perkara) dengan berijtihad, kemudian benar, maka baginya akan mendapat dua pahala dan apabila hasil ijtihadnya salah maka mendapatkan satu pahala.

C.    Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad yang disyariatkan Islam masih berlaku pada setiap masa dan setiap
tempat, maka bagaimana dengan hukum ijtihad menurut pandangan ulama? Hukum
ijtihad bisa saja diumpamakan sebagai hukum taklifi yaitu fardu ‘ain, fardu kifayah,
mandub, haram, makruh.[7]
a)      Ijtihad itu fardu ain, membagi kepada dua keadaan:
1) Ijtihad yang harus dilakukan oleh diri seorang mujtahid ketika muncul suatu kejadian. Dengan kata lain, ia harus berijtihad untuk dirinya tentang hal yang berhubungan dengan ibadah, muamalah, perkawinan, talak, dan sebagainya.
2) Ijtihad dalam satu perkara yang mana dia harus memutuskan hukumnya (seperti tidak ada orang selain dirinya yang bisa dipercaya kafakihan dan kemampuan agamanya, maka ini adalah wajib baginya berijtihad) bila kebutuhan mendesak agar cepat untuk menentukan hukum kejadian itu, ia harus cepat berijtihad tetapi bila tidak terlalu mendesak, bolehlah ia menundanya.
b)      Ijtihad hukumnya fardu kifayah, juga terbagi dalam dua keadaan:
1) Bila terjadi suatu perkara pada seseorang lalu minta fatwa pada salah seorang ulama, kewajiban untuk menjawab fatwa ini dipikulkan kepada semua umat, terutama ulama yang diajukan pertanyaan tersebut. Kalau dia atau lainnya menjawab masalah tersebut, maka gugurlah kewajiban atas umum tetapi bila tidak ada yang menjawab maka berdosalah semuanya.
2) Suatu hukum yang harus diputuskan oleh dua orang hakim yang bersekutu. Kewajiban untuk memutuskan ini dipikulkan kepada kedua pundak hakim tadi. Bila salah seorang telah menetapkan keputusannya, gugurlah kewajiban atas hakim yang kedua.
c)      Hukum ijtihad yang mandub, terdapat dalam dua keadaan:
1) Ijtihad seorang ulama terhadap perkara yang belum muncul sehingga ia telah mengetahui hukum suatu perkara yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftirad (fikih perbandingan).
2) Ijtihad terhadap suatu perkara yang ditanyakan oleh seseorang kepadanya sebelum terjadinya perkara itu.
d)     Hukum ijtihad yang haram, terbagi dalam dua keadaan:
1) Berijtihad terhadap permasalahan yang sudah tegas (qat‘) ihukumnya baik berupa ayat atau hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma’.
2) Berijtihad bagi seorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu, maka hukumnya haram.
e)      Hukum ijtihad yang makruh, keadaannya sebagai berikut:
Ijtihad yang hukumnya makruh pada beberapa masalah yang tidak diharapkan munculnya dan bukan kebiasaan dengan berlakunya, maka disebut dengan ijtihad yang luar biasa. Andaikata tidak ijtihadnya tidak bermanfaat dan tidak berkualitas apa yang dikatakan padanya, ijtihad ini adalah makruh hukumnya.[8]

D.    Konsep Ijtihad Dalam Istinbat Hukum Islam
Ijtihad digunakan oleh para ulama dalam menganalisa hukum Islam dengan menggunakan sumber-sumber atau dalil-dalil syar‘iyyah dalam kajiannya, karena sumber atau dalil tersebut yang menjelaskan dan menentukan kebenaran hukumnya.
Para ulama membagi sumber hukum syara‘ menjadi dua: pertama, sumber yang disepakati (muttafaq) dan dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Sumber sumber yang disepakati itu terdiri dari empat sumber, yang menjadi pengambilan hukum-hukum yang berkenaan dengan perbuatan manusia. Sumber yang keempat itu telah disepakati oleh jumhur ulama untukdipergunakan sebagai dalil dan dalam mempergunakan dalil tersebut mereka sependapat bahwa empat sumber tersebut mempunyai urutan susunannya, yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma‘, dan Qiyas.[9]
Di samping itu, ada pula dalil lainnya selain keempat dalil tersebut dimana jumhur ulama tidak disepakati (mukhtalaf) untuk menjadikannya sebagai dalil. Di antara mereka ada yang mempergunakannya sebagai dalil bagi hukum syara‘, dan sebagian lagi menolak untuk menjadikannya sebagai dalil. Menurut Wahbah Zuhaili dalil tersebut ada tujuh, yaitu istihsan, maslahah mursalah (istislah), istishab, urf, mazhab sahabi, syar‘u man qablana, saddu al-Zariah.[10]
Sedangkan seorang Profesor Indonesia mengemukakan kesimpulannya tentang sumber hukum Islam bahwa sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, Sunnah,dan al-Ra’yu (akal pikiran) manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad, dengan mempergunakan metode atau cara, di antaranya adalah Ijma‘, Qiyas, Istidlal, Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, dan Urf). Beliau menjelaskan bahwa sumber pertama adalah al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan sumber tambahan atau sumber pengembangan hukum Islam yang pada hakikatnya juga sama, karena apa yang disebut oleh Syafi‘i sebagai ijma’ dan qiyas itu sesungguhnya adalah metode yang dipergunakan oleh akal pikiran manusia, baik itu dengan melakukan analogi sendiri (qiyas) maupun secara bersama mencapai suatu konsensus (ijma‘) dalam usaha menemukan dan menentukan kaidah hukum untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu. [11]

E.     Macam-macam Ijtihad
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua macam, tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsanatau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihadmenjadi kitabAl-Muwafakat, yaitu:
a.       Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b.      Ijtihad Aal-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c.       Ijtihad al-istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.[12]
            Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1.      Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahiddibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
2.      Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, Istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Ijtihad Fardi, menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang ijtihad. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para iman mujtahid besar: iman Abu Hanifah, Iman Malik, Iman Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal dan lain lain.
2.      Ijtihad Jama’i, adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’I dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu fikih. Dalam perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, disamping bukan berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu.[13]
F.     Tingkatan Ijtihad
Dalam menbicarakan masakah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya menurut pintu ijtihad.
            Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaqitu sudah tidak ada lagi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antaramujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda.[14]
            Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan, tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil masa’il, mujtahid fil mazhab, dan mujtahid muqayyad.


a. Mujtahid Fisy Syar’i
Mujtahid fisy syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab tertentu. Ijtihad yang mereka lakukan semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mengambil pendapat orang lain. Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy syar’i antara lain Imam Hanafi, Iman Malik, Iman Syafi’i Iman Ahmad bin Hambal, Iman Al Auza’i dan Ja’far As Siddiq.
b.Mujtahid Fil Masa’il
Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya, At Tahawi merupakan mujtahid dalammazhab Hanafi, Imam Al Gazali merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i, dan Al Khiraqi merupakan mujtahid dalam mazhab Hambali.
c. Mujtahid Fil Mazhab
            Mujtahid  yang ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri. Akan tetapi, mereka cukup mengikuti salah seorang imam mazhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan, baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang. Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ubnul Hasan adalah mujtahid fil mazhab Hanafi dan Imam Al Muzanniy adalah mujtahid fil mazhab Syafi’i.
d. Mujtahid Muqayyad
              Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat  ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan pendapat yang lebih utama di antara pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab dan dapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka adalah Al Karakhi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Hanafi serta Ar Rafi’i dan An Nawawi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i.[15]

G.    Mujtahid
Secara bahasa kata mujtahid merupakan isim fa’il dari kata اجتهد – يجتهد – اجتهدا فهو مجتهد artinya bersungguh-sunguh melakukan sesuatu.[16] Seadangkan secara istilah ulama ushul berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian mujtahid di antaranya :
Menurut Imam Ghazali:بدل المجتهد وسعه فى طلب العلم بأحكام الشريعة
Mujtahid: Mencurahkan maksimal kemampuannya, dalam mencari ilmu tentang hukum syari’at.
Menurut Ibnu Hajib dan Ibnu Subki:إستفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم شرعي
Adanya ahli fiqh mencurahkan kemampuannya untuk memperoleh suatu pengertian  ‘dzhanni’ pada hukum syar’i.
Menurut Abu Zahrah :بذل الفقيه وسعه فى إستنباط الاحكام العملية من ادلتها
Pengerahan kemampuan untuk mengistinbathkan hukum yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci (tafshili).
Menurut Ibnu Humam :بذل الطاقة من الفقيه فى تحصيل حكم شرعي عقليا كان أو نقليا قطعيا كان أو ظنيا
Mencurahkan kemampuan dari ahli fiqh untuk memperoleh hukum syar’i, baik aqli, maupun naqli, qot’i atau dzhanni.[17]
H.    Syarat Mujtahid
Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat  ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorangmujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Aman Ghazali, Ibnu Arabian, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak 500 ayat.
2.      Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Arabian membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.[18]
            Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis.
            Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab yang sudah manshyur kesahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan lain-lain.
3.      Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya. Di antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam nasakh danmansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm, dan lain-lain.
4.      Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan di antaranya Kitab Maratibu al-Ijma’.
5.      Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya, karenaqiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6.      Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-Sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau Al-Hadis.
7.      Mengetahui ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqih
8.      Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan, maslahah mursalah, urf, dan sebagainya yang menggunakan maqashidu Asy-Syari’ah sebagai standarnya.
    Syarat-syarat tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlak yang bermaksud mengadakan ijtihad dalam segala masalah fikih di masa lampau. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang, syarat-syarat tersebut tentu belum mencukupi. Untuk melakukan ijtihad, diperlukan pula pemahaman terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan segala cabangnya. Akan tetapi, usaha itu bukanlah suatu hal yang mudah dan memerlukan kerja keras dan keseriusan. Ijtihad yang dilakukan secara kolektif sangat membantu untuk melakukan ijtihad yang efektif.[19]



BAB III
Penutup
Ijtihad secara etimologi adalah penumpahan segala kemampuan dan tenaga. Dan ijtihad secara terminologi adalah usaha maksimal ulama fikih dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat dzhonni. Sedangkan mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad.
Ijtihad sangat diajurkan dalam Islam, Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dan dalil yang ditetapkan disyariatkannya ijtihad adalah al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْأَطِيعُواْاللّهَوَأَطِيعُواْالرَّسُولَوَأُوْلِيالأَمْرِمِنكُمْفَإِنتَنَازَعْتُمْفِيشَيْءٍفَرُدُّوهُإِلَىاللّهِوَالرَّسُولِإِنكُنتُمْتُؤْمِنُونَبِاللّهِوَالْيَوْمِالآخِرِذَلِكَخَيْرٌوَأَحْسَنُتَأْوِيلاً
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS An Nisa; 59
Hukum ijtihad bisa saja diumpamakan sebagai hukum taklifi yaitu fardu ‘ain, fardu kifayah, mandub, haram, makruh. Para ulama membagi sumber hukum syara‘ menjadi dua: pertama, sumber yang disepakati (muttafaq) dan dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Sumber sumber yang disepakati itu terdiri dari empat sumber. Sumber yang keempat itu telah disepakati oleh jumhur ulama untukdipergunakan sebagai dalil dan dalam mempergunakan dalil tersebut mereka sependapat bahwa empat sumber tersebut mempunyai urutan susunannya, yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma‘, dan Qiyas.
tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil masa’il, mujtahid fil mazhab, dan mujtahid muqayyad.
persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah
2.  Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at
3. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunah
4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama
5. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya
6. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya.
7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
8. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum


[1]  Shuhufi, 2012:3
[2]Yusuf al-Qardhawi, Al-Ijtihad fi al-Syari‘ah  al-Islamiyyah Ma‘a Nazarat Tahliliyyah fi al-Ijtihad al-Ma‘asir, terj. Achmad Syathori, Ijtihad dalam Syariat Islam Beberapa Pandangan Analisis tentang Ijtihad Kontemporer (Cet. I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), h. 1.
[3]Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1991, hal. 25
[4]Shuhufi,2012:11-12
[5]Harun Nasution, ‚Ijtihad Sebagai Sumber Ketiga Ajaran Islam dalam Haidar Bagir, Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988), h. 12.
[6]Ali Jum’ah, Alyatu al-Ijtihad (Cet. I; t.t.: Al-Risalah, 2004), h. 9.
[7]Yusuf al-Qardhawi, Al-Ijtihad fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah Ma‘a Nazarat Tahliliyyah fi al-Ijtihad al-Ma‘asir, terj. Achmad Syathori, Ijtihad dalam Syariat Islam Beberapa Pandangan Analisis tentang Ijtihad Kontemporer , h. 104.
[8]Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh (Cet. III; Jakarta: Fajar Interpratama, 2009), h. 255-256.
[9]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, terj. Moh. Zuhri, Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqh, h. 13-14.
[10]Wahbah Zuhaili, Usul Fiqh al-Islami , Juz I (Cet. I; Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), h. 417.
[11]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, h. 77-78.
[12]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 104
[13]Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN  SU Medan,  h. 93
[14]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 108
[15] Harjan Syuhada,  Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011) h. 60
[16]Kholid Ramadhan Hasan, Mu’jam ushul al-Fiqh, (Masr : Dar  ar-Raudha, 1998), h. 249
[17]Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (Masr : Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 379
[18]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 104-10
[19]Harjan Syuhada,  Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011) h. 59

Komentar

PERPECAHAN POLITIK ISLAM DAN DAMPAKNYA DI BIDANG TEOLOGI

A.   Pengantar Sukses Nabi membangun sistem pemerintahan baru di Madinah dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya dengan mengembangkan sistem politik Islam dan melakukan perluasan wilayah secara besar-besaran. Bersamaan dengan itu, jalan peyebaran dakwah Islam semakin licin dan terbuka. Tidak ada rintangan lagi bagi bangsa manapun untuk berbodong-bondong memeluk Islam. Karena hambatan-hambatan struktural dan politis yang sering mengintimidasi psikologi masyarakat awam dalam menentukan pilihan keyakinannya telah berhasil dilumpuhkan oleh umat Islam yang telah tumbuh menjadi kekuatan alternatif menggantikan imperium Romawi dan Persia yang sudah kropos. [1] Keberhasilan kaum muslimin membangun imperium yang luas, maju dan tangguh memberi kesan yang kuat bahwa, mengutip kata-kata Nurcholish Madjid, “salah satu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal penampilannya, ialah kejayaan dibidang politik”.“Kendati demikian…”, lanjut Nurcholish, “sejarah mencatat dengan penuh kesedi...