PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM PADA MASA BANI ABBASIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasang
surut dalam perkembangan hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan
kebudayan masyarakatnya. Sebagaimana ditandai dari periode-periode yang
dilaluinya, mulai semasa hidup Nabi Muhammad SAW hingga sekarang. Perubahan-perubahan hukum
Islam yang memakai sumber dari Al-Qur’an dan Hadis saja sampai timbul istilah
Ijma’ sahabat yang dilahirkan dari prosese ijtihad.
Pada
masa Rasulullah SAW semua masalah yang muncul pada umat Islam langsung
diselesaikan oleh beliau. Kemudian pada masa khulafaur Rosyidin mereka memakai
Al-Qur’an dan Hadis, dan ketika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadis mereka menyelesaikannya
dengan Ijtihad para sahabat. Setelah
pada masa khulafaur Rosyidin dilanjutkan pada masa Bani Umayyah, dalam
penyelesaian masalah pada masa ini tidak banyak perubahan melainkan terdapat
satu tambahan yaitu Ijma’ para sahabat (Ijtihad para sahabat).
Dengan
berkuasanya Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, maka pemerintahan awal pada masa Tabi’in
dimulai. Mu’awiyah atau disebut juga dengan Bani Umayyah yang berkuasa mulai
tahun 661M s/d 750M yang kemudian diteruskan oleh Bani Abbasiyah yang sering
disebut juga pada zaman keemasan Islam yaitu dimulai pada tahun 750M s/d 1258M.
Dengan
begitu, pemakalah dalam hal ini akan mencoba untuk menjelaskan perkembangan
hukum islam pada zaman keemasan islam atau pada zaman Bani Abbasiyah. Yang akan
dimulai dari faktor keruntuhan Bani Umayyah, sejarah berdirinya Abbasiyah dan
kemudian mengenai sumber-sumber hukum serta pemikiran sekte-sekte yang timbul
pada masa tersebut, dan juga pengaruh pemikiran-pemikiran pada masa tersebut.
B. Rumusan Masalah
Setelah melihat
dan menelaah pada latar belakang di atas, pemakalah mencoba untuk mengupas
permasalahan-permasalahan mengenai hukum islam dan perkembangannya pada zaman
kepemimpinan Bani Abbbasiyah ada sebegai berikut:
1. Bagaimana
sejarah perkembangan Bani Abbasiyah?
2. Bagaimana
pembentukan hukum Islam pada masa Bani Abbasiyah?
3. Apa
sajakah Faktor yang Menyebabkan Berkembangnya Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Bani Abbasiyah
Sebelum membahas
lebih dalam tentang sejarah perkembangan Bani Abbasiyah, lebih baiknya akan
dijelaskan terlebih dahulu mengenai faktor kemunduran dan akhir dari Bani
Umayyah. Awal kemunduran Dinasti Umayyah ditandai dengan melemahnya sistem
politik dan kekuasaan karena banyak persoalan yang dihadapi para penguasa
dinasti tersebut. Diantaranya adalah masalah politik, ekonomi, dan sebagainya.
Sebagaimana diketahui bahwa setelah khalifah Hisyam bin Abdul Malik, para
khalifah Bani Umayyah tidak ada yang dapat diandalkan untuk mengendalikan
pemerintahan dan keamanan dengan baik. Seperti halnya, mengatasi pemberontakan
di dalam negri secara tuntas. Bahkkan mereka tidak mampu lagi menjaga keutuhan
dan persatuan dikalangan keluarga Bani Umayyah, sehingga sering terjadi pertikaian
di dalam rumah tangga istana. Penyebabnya adalah perebutan kekuasaan tentang
siapakah yang akan menjadi atau mengggantikan kedudukan khalifah dan
seterusnya. [1]
Setelah sekian
lama mengalami masa-masa kemunduran, akhirnya dinasti Umayyah benar-benar
mengalami kehancuran atau keruntuhan pada masa pemerintahan Marwab bin Muhammad
(744-750).
Adapan Faktor
yang mempengaruhi kemunduran dan akhir dari Umayyah adalah sebagai berikut:
1. Sistem
pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi
tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Ketidak jelasan sistem
pergantian khalifah ini menyebabkan persaingan yang tidak sehat dikalangan
anggota keluarga istanah.
2. Latar
belakang terbentuknya dinasti Umayyah tidak bisa terlepas dari konflik-konflik
politik yang terjadi dimasa sahabat Ali bin Abi Thalib.
3. Pertentang
etnis antar suku yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin meruncing.
Yaitu antara suku Bani Qays dan Bani Kalb.
4. Sikap
hidup mewah dilingkungan istanah yang menyebabkan lemahnya pemerintahan ,
karena anak-anak khlifah tidak sanggup memikuk beban berat kenegaraan tatkala
mereka mewarisi kekuasaan.
5. Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan Dunasti Umaayah adalah munculnya kekeuatan yang
dipelopori oleh keturunan Al-Abbas Ibn Abd Al-Muthalib.[2]
Setelah
kekuasaan dinasti Umayyah berakhir, kendali kekuasaan umat Islam berada pada
tangan dinasti Abbasiyah, dinasti Abasiyyah memimpin sekitar 250 Tahun, bermula
dari pertengahan abad 7 M sampai akhir abad ke 10 M, pada saat kepemimpinan
dinasti Abbasiyah islam mengalami kejayaan yang sangat signifikan hal itu
terbukti banyak karya para ulama’ pada zaman itu yang sangat berkembang bahkan
karya-karyanya masih bisa kita amalkan sampai sekarang.
Adanya
dinasti Abbasiyah tentu tidak akan luput dari dinasti pendahuluya yakni dinasti
Umayyah, masa keemasan yang dicapai oleh dinasti Abbasiyah ini dimungkinkan
landasan pondasinya yang telah dibangun secara kokoh oleh dinasti Ummayah pada
masa sebelumnya dan dimanfaatkan oleh dinasti Abbasiyah.[3]
Adapun
faktor yang mempengaruhi munculnya khilafah bani Abbasiyah adalah terdapatnya
beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung kekuasaan imperium bani Umayyah
yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian kelompok diantaranya
adalah kelompok Syiah dan Khawarij[4]
serta kaum Mawali yaitu orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari
Persi. Mereka merasa di perlakukan tidak setara dengan kelompok Arab karena
pembebanan pajak yang terlalu tinggi kelompok ini lah yang mendukung revolusi
Abbasiyah.
Orang
Abbasiyah, sebut Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara
nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayah secara paksa menguasai
khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan
pemberontakan terhadap Umayah.
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena
para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi
Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad
ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu
yang panjang mulai dari tahun 132H
(750M) s.d 656H (1258M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya
pada masa itu. [5]
Meskipun Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas (750-750 M) adalah khalifah pendiri
dari dinasti Abbasiyah. Akan tetapi, orang dibelakang yang berperan penting
adalah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M). Sebagai khalifah yang baru, ia banyak
berhadapan dengan musuh-musuh yang ingin menjatuhkannya sebelum ia bertambah
kuat. Dia dengan keras menghadapi lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan
juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Dalam menghancurkan lawan,
Al-Mansur tidak segan-segan membunuh sekutu yang membawa keluarganya pada
kekuasaan. Abu Muslih, karena dianggap akan menjadi saingan yang berbahaya di
Khurasan, diundang datang ke Bagdad, kemudian dadili dan dijatuhi hukuman mati.
Dalam usaha mempertahankan kekuasaan Bani Abbas, Al-Mansur memakai kekerasan.
Keberadaan Al-Mansur yang ada di
tengah-tengah Arab merasa kurang aman, kemudian ia mendirikan ibu kota baru
sebagai ganti Damaskus yaitu Bagdad di dekat bekas ibukota Persia, Ctesiphon
pada tahun 726 M. Dalam pemerintahan, Al-Mansur mengadakan tradisi baru dengan
mengankat wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Untuk memegan jabatan
wazir tersebut, ia memilih Khalid Ibn Barmak, seseorang dari Balkh (Bactral) di
Persia. Dan juga untuk tentara pegawalnya ia juga tidak mengambil dari orang
Arab, tetapi diambil dari orang Persia.[6]
Setelah sepeninggal dari kedua khalifah
sebelumnya yaitu Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Mansur, puncak keemasan dari
Dinasti ini berada pada tujuh Kahlifah sesudahnya yaitu Al-Mahdi (765-775M),
Al-Hadi (775-786M), Harun Al-Rasyid (786-809M), Al-Ma’un (813-833M),
Al-Mu’tasim (833-842M), Al-Wasiq (842-847M), Al-Mutawakkil (847-861M). [7]
Secara Ringkasnya, periode ini
adalah periode peradaban islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh, sungguhpun
tidak secara langsung, pada tercapainya peradaban modern di Barat sekarang.
Periode kemajuan Islam ini sebagaimana disebut Christopher Dawson, bersama
masanya dengan abad kegelapan di Eropa. Memang, seperti diterangkan oleh H. Mc
Neill, kebudayaan Kristen di Eropa di antara 600 dan 1000 M sedang mengalami
pasang surut yang rendah. Pada abad ke-11, Eropa mulai sadar akan adanya
perdaban Islam yang tinggi di timur dan melalui Spanyol, Sisilia dan Perang
Salib, peradaban itu sedikit demi sedikit dibawa ke Eropa. Kemudian Eropa
mulailah kenal dengan rumah-rumah sakit, pemandian-pemandian umum, pemakai
burung dara untuk mengirim informasi militer, pada bahan-bahan makan timur,
seperti beras (rice, rijst, du riz, berasal dari al-urz), jeruk (
lemon berasal dari al-laimun, gula (sugar, sucre, suiker berasal
dari a-sukkar). Dan mereka juga kenal pada hasil-hasil tenunan timur,
seperti kain muslin (berasal dari kota Mosul), kain Baldaclin
(dari kota Bagdad), kain damask (dari kota Damaskus) pada permadani,
gelas dan sebagainya.[8]
Selain itu, juga pada masa Dinasti
inilah perhatian ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak, terutama pada
zaman Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’un. Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat
didatangkan dari Bizzaitun, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab. seperti
halnya ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan
sejarah. Kemudian tidak hanya sebatas dalam ilmu pengetahuan saja, tetapi juga
ilmu pengetahuan Agama. Sejak awal sudah dikenal dua metode tafsir yaitu metode
tafsir bi al-Ma’tsur (interprestasi tradisional dengan mengambil
interprestasi dani Nabi dan para sahabat) dan metode tafsir bi al-Ra’yi (yaitu
metode rasional yang banyak bertumpu pada pendapat dan pemikiran dari pada
hadis dan salah satunya pendapat sahabat. Kedua metode ini berkembang pada masa
pemerintahan bani abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi
al-Ra’yi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqih dan
terutama dalam teologi. Perkembangan logika di kalangan umat islam sangat
mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam mazhab hukum yang empat
hidup pada masa pemerintahan abbasiyah pertama. Imam abu hanifah (700-767 M)
dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di
kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang tinggi. Karenaitu, mazhab ini lebih banyak
menggunakan pemikiran rasional dari pada hadis. Muridnya dan segaligus
pelanjutannya, abu yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman harun
al-rasyid.
Berbeda dengan abu hanifah, imam
malik (713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat madinah.
Pendapatan dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh imam Syafi’i (767-820 M)
dan Imam Ahmad Ibn Hanbal (780-855 M).[9]
Lebih jelasnya, dalam perkembangan hukum Islam pada masa Bani Abbasiyah yang
dipengaruhi oleh Madzahibul Arba’ah akan dibahas pada sub bab selanjutnya.
Akan tetapi masa keemasan tersebut
tidak berlangsung selamanya, karena akibat konflik internal di dalam
kekhalifahan. Konflik internal yang sangat mempengaruhi pemerintahan, adalah
konflik yang ditimbulkan oleh banyakanya pertikaian dan perselisihan akibat
perbedaan mazhab. Hal ini membuat kekhalifahan menjadi melemah.
Kesempatan ini dapat dilihat oleh
bangsa Mongol. Bangsa Mongol yang terkenal bengis akhirnya melancarkan agresi
ke Baghdad. Pasukan yang dipimpin Hulagu Khan ini menghancurkan segala
peradaban dan melakukan pembantaian terhadap penduduk Baghdad. Serangan ini
juga sekaligus mengakhiri kekuasaan dinasti Abbasiyah. Dampak dari serangan ini
selain meninggalkan catatan hitam terhadap sejarah umat Islam tetapi juga
sebagai awal kemunduran peradaban Islam.
Sebab-sebab kehancuran dinasti
Abbasiyah semoga bisa menjadikan pembelajaran penting bagi generasi Islam
selanjutnya, agar selalu menjunjung tinggi solidaritas dan menghargai perbedaan
pandangan mazhab di dalam agama Islam.[10]
B.
Pembentukan
Hukum Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
Setelah
runtuhnya Bani Umayyah sukseslah perkumpulan rahasia yang yang dibentuk untuk
memindahkan kekhalifahan kepada Bani Abbas bin Abdul Muthalib yang masih dari
ketrunan Nabi Muhammad SAW, atau disebut juga dengan Bani Abbbasiyah. Pada masa
ini juga fiqh Islam mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan. Mencakup semua
lini kehidpan, prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek humanity, religi
dan duniawi.[11]
Hukum fiqh
tumbuh bersamaan dengan perkembangan Islam. Pada periode ini, hukum-hukum fiqh
terdiri dari hukum Allah, dan rasul-Nya, fatwa dan putusan sahabat, fatwa imam
mujtahid dan hasil ijtihad mereka, yang bersumber dari al-Qur’an , al-Sunnah,
ijtihad sahabat dan ijtihad para imam-imam mujtahid. Kemudian pada masa ini
juga dimualailah pembukuan hukum-hukum syara’ seiring pembukuan hadis.
Hukum-hukum tersebut kemudian dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu karena
telah disertai dengan dalil, alasan, dan dasar umum yang menjadi pokok dari
hukum tersebut. Ahlinya disebut dengan Ahli fiqh sedangkan disiplinya disebut
dengan ilmu fiqh. [12]
Para sejarawan
sering menyebut zaman ini dengan sebutan the golden age atau masa
keemasan, karena begitu pesatnya ilmua pengetahuan. Dalam bidang fiqh saja
ribuan ulama tampil kedepan. Dan yang memenuhi kriteria sebagai mazhab fiqh
mencapai 13 mazhab, yaitu:
1. Ja’far
ash-Sidiq (80 H)
2. Abu
Said Hasan ibn Yasar al-Basri (110 H)
3. Abu
Hanifah al-Nu’am (150 H)
4. Al-Auzi
Abdul Amar Abd Rahman (157 H)
5. Sufyan
Abu Said al-Tsauri (160 H)
6. Al-Lait
Ibn Sa’id (175 H)
7. Malik
Anas (179 H)
8. Sufyan
bin Unainah (198 H)
9. Muhammad
Idris as-Syafi’i (204 H)
10. Ahmad
bin Muhammad bin Hambal (241 H)
11. Daud
ibn as-Shabhani ad-Dzahiri (270 H)
12. Isha
ibn Rahawaih (238 H )
13. Abu
Tsaur Ibrahim ing Khalid al-Khalabi (240 H)
Akan tetapi,
ke-13 mazhab fiqh tersebut sebagian memang masih ada, sedangan sebagian lagi
sudah hilang. Sementara mazhab fiqh yang masih ada sampai sekarang dan dikenal
hingga saat ini hanya tinggal beberapa saja, diantaranya adalah mazhab Ja’fari
(dari kalangan Syi’ah), mazhab Hanafiyyah,
mazhab Malikiyyah, mazhab Syafi’iyyah dan dan mazhab Hanabilli.
Secara umum mazhab tersebut yang menjadi sumber putusan hakim
dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu,
masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada
masa ini pula disusun ilmu usul
fiqh untuk menjadi pedoman
bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Quran dan al-Sunnah. Sebenarnya
perkembangan suatu hukum memiliki hubungan antara madzhab fiqh dengan penguasa politik sangat erat. Artinya,
bahwa kebutuhan penguasa terhadap suatu bentuk sistem
hukum negara yang berdasarkan
syara’ cukup memacu perkembangan hukum fiqh.
Sebaliknya, suatu aturan atau pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh para
mujtahid tidak serta merta dilaksanakan oleh mujtahid lain sebelum ada tekanan
atau pemberlakuan secara resmi oleh penguasa.[13]
Berikut adalah
biografi singkat dan dasar pemikiran yang dipakai oleh mazhab tersebut dalam
menentukan suatu hukum, adalah sebagai berikut:
1. Mazhab
Ja’fariyah
Pendiri mazhab ini adalah
Imam Ja’far Ash-Shiddiq (80-146 H/699-765 M). Dalam doktrin Syi’ah, beliau Imam
ke IV, beliau merupakan ilmuan terkemuka, banyak bidang yang ia geluti,
diantaranya adalah fiqh, filsafat, tasawuf, kimia dan kedokteran. Yang menjadi
sumber tasyri’ mahab ini adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan akal. Namun,
orang yang dapat meriwayatkan sunnah hanya terbatas pada periwayatan yang
dilakukan oleh ahlul bait saja, sedangkan yang menjadi objek sunnah
adalah diri Nabi dan para Imam mereka. Dan yang dimaksud Ijma’ adalah Ijma’
dikalangan mereka sendiri. Pengikut mazhab tersebut adalah Iran, Irak (suku
Kurdi), Turki, Syiri’ah, Lebanon, Afrika Barat. Kemudian dalam memahami hukum,
dikalangan Syi’ah terbagi menjadi dua mazhab. Pertama, kelompok Akhbari yaitu,
kelompok hanya berpegang teguh pada kebenaraan Nash (al-Qur’an dan Sunnah)
saja. kedua kelompok Ushuli, yaitu kelompok yang disamping menguunakan
Nash juga menggunakan metodologi berfikir Usul Fiqh.[14]
2. Mazhab Hanafiyah
Dia adalah An-Nu’am bin
Tsabit, lahir di Kufah dan wafat di Baghdad (80-150 H/699/767 M). Seorang
cucunya bernama Ismail bin Hambal berkata: Kami adalah berasal dari keturuna
Persia yang merdeka. Beliau sangat rajin belajar sejak kecil. Semua bidang ilmu
pengetahuan digelutinya beliau juga terkenal zuhud dansangat tawaddu.
Dalam mengistinbathkan hukum,beliau sangat berpegang teguh pada Kitabullah,
as-Sunnah. Selain itu juga banyak menggunakan qiyas istihsan dan urf. Mazhab Abu Hanifah banyak diikuti oleh umat
Islam di Pakistan, India, Afganistan, Mesir dll.
3. Mazhab
Malikiyah
Mazhab ini didirikan
oleh Imam Malik bin Anas (93-178 H/ 712-795 M). Sejak lahir sampai meninggal
beliau tidak pernah meninggalkan Madinah. Beliau belajar al-Qur’an, hadis dan
fiqh dari para sahabat. Ia sangat berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, dan
sebelum memutuskan fatwa, terlebih dahulu melakukan penelitian terutama maslah
hadis dengan tujuh puluh temannya yang sangat ahli dibidang hadis, karena
terkenal sangat kuat hafalannya. Sumber hukum mazhab Maliki adalah al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ ahli Madinah, qoul sahabat, qiyas, maslahah mursalah. Disamping itu,
mazhab ini banyak tersebar di Maroko, al-Jazair, Sudan dll.
4. Imam
as-Syafi’i
Penidiri mazhab ini
adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150 H/769-820 M). Beliau lahir di Jalur
Gazza, bertepatan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah. Sejak usia dini beliau
sudah hafal al-Qur’aan, kemudian pada usia 20 ia pergi ke Hijaz untuk belajar
hadis dan fiqh kepada Imam Malik. Setelah itu, beliau ke Irak untuk belajar
kepada murid-murid Imam Abu Hanifah mengenai ilmu fiqh. Sempat mengajar di
Yaman dan Baghdad. Dan di baghdad inilah beliau mengeluarkan qaul qadimnya. Dan
kemudian beliau hijrah ke Mesir dan mengajar di Masjid Amru bin Ash. Di Mesir
inilah beliau merivisi pemikirannya yang
disebut qaul jadid. Imam Syafi’i terkenal juga seseorang yang sangat produktif.
Banyak buku, diantaranya adalah al-Umm, al-Risalah Amali
Kubro, Musnad Syafi’i, dan beliau juga orang pertama kali yang meletakkan
dasar dan menulis Usul Fiqh. Sumber hukum yang menjadi pegangan mahzab Syafi’i
adalah al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istidlal. Akan tetapi mahzab ini sangat
menolak istihsan yang pemakaiannya secara membabi buta. Para pengikutnya
tersebar di Afrika utara, Indonesia, Malaysia dll.
5. Imam
Ahmad bin Hambal
Pendirinya adalah Abu
Abdullah Ahmad bin Muhammadbin Hanbali bin Hilal as-Syaibani (164-241 H/780-855
M). Beliau lahir di baghdad yang sebagai kiblat ilmu pada saat itu. Ia sudah
hafal al-Qur’an sejak belia, kemudian ia belajar bahasa Arab, hadis, fiqh, dan
sejarah. Dalam proses belajar beliau banyak melanglang buana ke Basrah, di sini
beliau juga berguru pada Imam Syafi’i. Karya Ilmiah yang beliau tulis adalah
Musnad Ahmad Bin Hanbal. Dasar pengambilan hukum pada mazhab ini adalah
al-Qur’an hadis shahih, fatwa sahabat, hadis hasan atau dhaif dan qiyas. Alasan
mendahulukan hadis dhaif daripada qiyas adalah pernyataan beliau: “berpegang
pada hadis dha’ifnya lebih saya sukai daripada qiyas. Mazhab ini tersebar
di Saudi Arabiah, Libanon, Syiria dll.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa pada masa ini
juga dimualailah pembukuan hukum-hukum syara’ seiring pembukuan hadis.
Hukum-hukum tersebut kemudian dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu karena
telah disertai dengan dalil, alasan, dan dasar umum yang menjadi pokok dari
hukum tersebut. Ahlinya disebut dengan Ahli fiqh sedangkan disiplinya disebut
dengan ilmu fiqh.
Kemudian dari
pada itu, pemekirian-pemikiran dari Imam Mahzab di atas sangat dipengaruhi oleh
Ahlu Ra’yi dan Ahl Hadis. Dibawah inilah gambarangnya:
أهل
الرأي

أهل الحديث

Adapun yang dimaksud dengan Alhu ar-Ra’y ialah jika
dihadapkan suatu masalah kemudian tidak didapati di dalam hadis maka ia akan
terus berfikir dengan akalnya, sedangkan Ahlu al-Hadis hanya terbatas Hadis saja.[15]
Adapun warisan hukum
terpenting dari era kodifikasi dan Imam-imam mujtahid di atas adalah sebagai
berikut:
1. Penulisan
hadis
As-Sunnah (hadis-hadis)
sahih yang dibukukan pada era ini sebagian ada yang ditulis dengan metodologi
penulisan hadis berdasarkan sanad, kemudian secara tematis atau menurut bab-bab
fiqh. Para ulama’ ahli hadis berlomba-lomba mengumpulkan hadis, membuat
syarat-syarat khusus penerimaan riwayat hadis dan kajian kritis terhadap para
perawi, sebagaimana yang sudah tertera dalam penjelasan di atas oleh Imam-Imam
Mujtahid.
2. Penulisan
Fiqh
Penulisan fiqh,
hukum-hukum syar’iyyah dan pembukuan beberapa masalah yang terkait dengan suatu
tema, sebab-sebab hukum dan penguraian dalil hukum yang ditetapkan. Sebagaimana
pada periode ini bahwasanya beberapa ensiklopedi fiqh senantiasa menjadi
rujukan kaum muslim samapai sekarang.
Ensiklopedi fiqh yang
terkemuka dalam Mazhab Imam Abu Hanifa yang ditulis pada periode ini ialah Zahir Ar-Riwayah As-Sittah, karya Muhammad bin
Al-Hasan, dari Abu Yusuf, dari Abu Hanifah.
Ensiklopedi fiqh dalam
mazhab Malikiyang terkemuka adalah kitab Al-Mudawwanah yang diriwayatkan
oleh Sahnun dari Ibnu Al-Qosim, dari Imam Malik.
Kemudian dalam Imam
Syafi’i terdapat al-Umm karya beliau yang disampaikan secara lisan kepada
murid-muridnya di Mesir. Dan termasuk juga Imam Hanbali.
3. Penulisan
Usul Fiqh
Penulisan kaidah-kaidah
usul fiqh ini muncul ketika tiap-tiap mujtahid pada periode ini mengunakan
metodologi tertentu. Setiap mujtahid mengutamakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah
dasarnya di tengan dia melakukan bahasanya tentang berbagai persoalan dan
hukum. Seperti Imam Abu Hanifah, menyusun metodologi hukum yang belum
dirumuskan oleh ulam’sebelumnya adalah, al-istihsan. Kemudian Imam Malik
merumuskan metodologi al-Maslahah al-Mursalah, al-Urf dan amal ahli
Madianh. Sedangkan Imam Syafi’i merumuskan metodologi analogi (Qiyas).[16]
C.
Faktor
yang Menyebabkan Berkembangnya Hukum Islam
1. Faktor-faktor
yang menyebabkan berkembangnya hukum islam
·
Semakin luasnya
wilayah Islam
·
Para ulama dalam
menetapkan perundang-undangan dan mmberi fatwa telah menguasai metode tasryi’
secara luas.
·
Telah
dibukukannya beberapa sumber hukum yang dibuuhkan oleh para ulam/hakim/mufti.
·
Antusiasme
masyarakat dalam menyelaraskanseluruh aspek kehidupan agar bersesuaian dengan
syari’at islam.
·
Munculnya
tokoh-tokoh yang mempunyai bakat kemampuan yang brilian sehingga hukum islam
semakin berkembang.
2. Sebab-sebab
perbedaan pendapat dikalangan Fuqoha
·
Perbedaan
bacaan.
Dalam riwayat, ada
beberapa qira’at yang dianggap benar (mu’tabar) dan ada pula yang
diperselisihkan. Hal ini menyebabkan perbedaan pendapat dal menetapkan hukum.
Semisal, dalam surat al-Maidah ayat 6:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 ...
Imam Nafi’, Ibn Amir
dan al-Kasani membaca “ar-julakum” sedangkan Ibn Katsir, Abu Amr dan
Hamzah membaca “arjulikum”. Kemudian jumhur ulama menggunakan qira’at
dengan fathah berarti ia ma’thuf pada “aidiyakum”sebagai
objek (maf’u )dari “faghsilu”.
·
Tidak meratanya
pengetahuan hadis, sehingga pemahan sahabat tentang hadis tidak sama. Sebagian
sahabat memang mendengar banyak hadis, sedangkan sebagia yang lain hanya mengetahui
sedikit saja. hal ini disebabkan karena intentitas pertemuan sahabat dengan
nabi berbeda-beda.
·
Ragu-ragu
tentang kebenaran hadis. Dalam masalah nafkah dan tempat tinggal bagi istri
yang dilak suaminya. Uamar sangat berpegang teguh pada surat at-tlaq ayat
11,yang mewajibkan suami memberikan nafkah dan tempat tinggal selama masa iddah.
Sementara Fatiamah bin Qais meriwayatkan bahwa dirinya ditalak suaminya dan
Rasulallah memutuskan bahwa dia tidak berhak atas nafkah maupun tempat tinggal.
Umar belum meyakini kebenaran hadis ini, ia memberikan komentar “kami tidak
akan meninggalkan kitab Allah, dan Sunnah Nabi-Nyakarena pernyataan perempuan
yang kami tidak tau apakah dia hafal atau lupa:.
·
Perbedaan dalam
memahami dan menafsirkan Nash
Dalam surat al-Anfal
ayat 41, Umar berpendapat bahwa harta rampasan yang dibagikan kepada tentara
yang ikut perang adalah barang yang bergerak saja. akan tetapi, menurut Zaid
bin Tsabit dan Bilal bin Rabbah yang harus dibagikan adalah harta yang bergerak
maupun tidak.
·
Adanya lafadz
yang musytaraq (mempunyai arti banyak)
Semisal dalam lafadz
“quru’” Abu Bakar, Umar, Usman, Ali mengartikan haid, sementara Zaid bin
Tsabit mengartikan suci.
·
Dalil-dalil yang
“tampaknya kontradiksi” satu dengan yang lain.
Semisal tentang batalnya
wudhu karena menyentuh kemaluan. Menurut Imam Syafi’i, Ahmad dan Maliki batal.
Dengan berlandasan “man massa dzakarohu falaa ysholli hatta yatawaddho’a”.
Sedangkan Imam Abu Hanifah tidak membatakan wudhu, beliau berargumenkan pada
Hadis Nabi yakni, Thalq bin Ali : Rasulallah ditanya tentang seseorang
menyentuh kemaluannya, beliau bersabda “hal huwa bidh’atun minka”.
·
Adanya persoalan
perbedaan adat.
Misalnya, perbedaan
adat di Madinah dan di Kufa. Dalam masalah perkawinan bahwa Masyarakat Madinah
perbegang teguh pada konsep hukum kekuasaan Arab. bahwa perempuan tidak boleh
melakukan akad perkawinan sendiri, ia harus menyerahkan kepada wali, berapapun
usia dan keadaan perempuan tersebut. Alasa masyrakat Madinah adalah hadis: “laa
nikaaha illa biwaliyyin wa syahidai adhlin”. Sedangakan di Kufah, Kaum
perempuan kendati menduduki posisi yang lebih rendah dari pada laki-laki,
perempuan yang sudah cakap atau sudah pernah melakukan perkawinan dan gagl
(janda) boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Dengan berdasarkan ayat: “
wa laa ta’dhuluuhunna an yankihna azwajahunna”.
Demikianlah
proses pembuatan hukum dan faktor penyebab perkembangan hukum islam pada masa
Abbasiyah. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa, pada awalnya mahzab fiqh
berjumlah 13 mahzab. Namun, karena seleksi alam, yang sampai kepada kita kurang
dari seprohnya. Ternyata, masih hidupnya sebagian mahzab fiqh dikarenakan
mahzab ini berkolaborasi dengan kekuatan politik. Sebagaimana Mazhab Hanafiyah
di Damaskus diperkuat ketika Abu Yusuf menjabat sebagai qadhi al-Quddhot,
Mazhab Maliki berkrmbang atas dukungan al-Mansur, ketika Yahya bib Yahya
menjadi Qadhi di Andalus dan Mu’iz Badis yang mewajibkan penduduk Afrika
bermazhab Maliki. Madzhab Syafi’i besar di Mesir, karena Shalaluddin al-Ayubi
merebut negri itu dan ia penganut mazhab Syafi’i yang fanatik. Demikian juga,
mazhab Hanabilah kuat ketika al-Mutawakkil diangkat menjadi Khalifah dan tidak
ada seorangpun yang diangkat menjadi qadhi kecuali atas izin Imam Ahmad
bin Hanbal.
Dan kemudian,
hal yang lebih pokok adalah lembaga fatwa dipegang oleh penganut mazhab yang
fanatik, tentu saja hasil fatwanya akan bercorak mazhab yang dianutnya.
Sebaliknya, mazhab yang tidak dekat dengan penguasa, pendapatnya tidak dipakai,
dengan sendirinya mazhab itu mati secara perlahan.[17]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Yang
mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah terdapatnya beberapa
kelompok umat yang sudah tidak mendukung kekuasaan imperium bani Umayah yang
notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian kelompok diantaranya adalah
kelompok Syiah dan Khawarij[18]
serta kaum Mawali yaitu orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari
Persi. Mereka merasa di perlakukan tidak setara dengan kelompok Arab karena
pembebanan pajak yang terlalu tinggi kelompok ini lah yang mendukung revolusi
Abbasiyah. Orang Abbasiyah, sebut Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani
Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim
yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayah secara paksa menguasai
khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan
pemberontakan terhadap Umayah.
2. Pembentukan
Hukum sangat dipengaruhi oleh beberapa Imam Mazhab denganpemikiran-pemikiran
mereka yang sangat brilian dalam mengeluarkan fatwa atau menentukan hukum. Akan
tetapi yang paling berpengaru dalam periode ini adalah Imam empat Mazhab,
yaitu: Imam Abu Hanifa, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
3. Faktor
penyebab berkembangnya hukum islam dipengaruhi oleh faktor kekuasaan umat islam
yang semakin luar dan faktor perbedaan pendapat antar fuqoha’.
[1] Philip K. Hitti, History Of
The Arabic, terjemahan, (Jakarata: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), 348-357.
[2] Hasan Ibrahim Hasa, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, cet 3, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), 9-11.
[3] Ajid
Thohir, Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam, cet I,(
Surabaya : Logos Wacana Ilmu, 2004), 44.
[5] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013),49.
[6] Dedi supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016), 30-31.
[7] Ibid, 52.
[8] Ibid 32-33.
[9] Ibid, 56.
[10]
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II (Jakarta:
Bulan Bintang, 1951)., Hlm. 127-128.
[11] Hudhari Bik, Tarjamah Tarikh
Tasyri’ Al-Islami, (Darul Ihya, 1980), 327.
[12] Abdul Wahab Khalaff, Tarjamah
Ilmu Usul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani,2003),7.
[13] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’
Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010), 119.
[14] Ibid, 120.
[15] Abdul Wahab Khalaff, Tarjamah
Ilmu Usul Fikih,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 59
[16] Abdul Wahab Khallaf, Terjamah
Sejarah Fiqh Islam, (Surabaya: Al-Hidayah), 165-167.
[17] Ibid, 132-134.
Komentar
Posting Komentar