PERPECAHAN POLITIK ISLAM DAN DAMPAKNYA DI BIDANG TEOLOGI
A. Pengantar
Sukses Nabi
membangun sistem pemerintahan baru di Madinah dilanjutkan oleh para Khalifah
sesudahnya dengan mengembangkan sistem politik Islam dan melakukan perluasan
wilayah secara besar-besaran. Bersamaan dengan itu, jalan peyebaran dakwah Islam
semakin licin dan terbuka. Tidak ada rintangan lagi bagi bangsa manapun untuk
berbodong-bondong memeluk Islam. Karena hambatan-hambatan struktural dan
politis yang sering mengintimidasi psikologi masyarakat awam dalam menentukan
pilihan keyakinannya telah berhasil dilumpuhkan oleh umat Islam yang telah
tumbuh menjadi kekuatan alternatif menggantikan imperium Romawi dan Persia yang
sudah kropos.[1]
Keberhasilan
kaum muslimin membangun imperium yang luas, maju dan tangguh memberi kesan yang
kuat bahwa, mengutip kata-kata Nurcholish Madjid, “salah satu karakteristik
agama Islam pada masa-masa awal penampilannya, ialah kejayaan dibidang
politik”.“Kendati demikian…”, lanjut Nurcholish, “sejarah mencatat dengan penuh
kesedihan bahwa perpecahan, pertentangan dan bahkan penumpahan darah dalam
tubuh ummat Islam terjadi karena persoalan politik”.[2]
Perpecahan dalam
tubuh umat Islam sudah mulai terjadi beberapa waktu setelah Rasulullah wafat,
dimulai dengan terjadinya perang jamal antara pengikut Ali dan Siti Aisah istri
Rasulullah, pembunuhan terhadap kalifah Umar bin Khatab, Ustman dan Ali. Perang
Siifin antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Umayyah Gubernur Damaskus yang
memberontak terhadap Ali dan terus sampai sekarang. Didalam lingkungan pemeluk
Islam terus terjadi saling hujat, serang, bunuh demi mempertahankan atau
memaksakan pendapat dan keyakinnya pada kelompok atau orang lain.[3]
Selain itu,
disintegrasi bidang politik ini kemudian memuncak pada zaman Abbasiyah,
terutama setelah khalifa-khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal.
Daerah-daerah yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan di Damaskus dan
Baghdad, melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di pusat dan timbullah
dinasti-dinasti kecil.[4]
Kenapa semua ini
terjadi, padahal kalau kita kembali kepada Al-Qur’an sungguh ajarannya sangat
menyejukan hati dan memberi kedamaian, jauh dari kekerasan dan paksaan. Kurang
legowonya sebagian umat Islam menerima perbedaan pendapat dan keyakinan,
menyebabkan mereka jadi beringas dan mudah diprovokasi oleh pihak lain yang
menginginkan perpecahan dikalangan umat Islam. Perpecahan Hanya menyebabkan
umat Islam menjadi lemah, tidak mampu bersaing ditengah kehidupan dunia yang
semakin maju dan modern.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka identifkasi permasalahan yang mengemuka berkisar
pada nuansa pada perpecahan politik dalam islam serta segala aspek yang menjadi
implikasinya, terutama dalam bidang teologi. Pendekatan yang akan dipakai dalam
melihat dan meninjau permasalahan tersebut adalah pendekatan konflik (teori
konflik). Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional,
dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam
masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial.[5] Untuk itu, maka sistematika
pembahasan pada tulisan dan kajian ini
terpilah berturut turut pada pengantar sebagai identifikasi masalah, bangun
kerangka teoretis sebagai media penjelas munculnya fenomena yang muncul pada
masa perpecahan politik islam dan implikasinya dalam bidang teologi, pemaparan
materi, serta analisis.
B. Kerangka Teoritis
Berdasarkan
uraian identifikasi permasalahan di atas, maka jajaran teori yang digunakan
adalah sebagai berikut:
Teori
Struktural Konflik
1. Asumsi dasar
· Masyarakat
senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Proses
perubahan masyarakat adat sederhana menjadi modern.
· Masyarakat
mengandung konflik di dalam dirinya (konflik antar individu, antar kelompok,
individu dengan kelompok).
· Setiap
unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi / perubahan
sosial (sosial ekonomi: perbedaan tingkat kemakmuran, status sosial, budaya :
pruralisme etnis, agama, politik : simbolisme ketidak adilan).[6]
2. Teori Konflik
Teori
konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi
melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi
akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan
kondisi semula.[7]
Teori
konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran
yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran
Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori
konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[8]
Pada
saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia
menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia
hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin
sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial
hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam
proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu
eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah
diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara
kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu
revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan
eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada
beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis
dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat
mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian
dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam
masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam
masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi,
koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan
mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini
menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan
subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.[9]
Teori
konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan
sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam
masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat
perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun
pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan
bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan
sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut
teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan
yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh
karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.
Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar
pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dah.[10]
Sedangkan
menurut Antonio Gramsci yang mencetuskan teori Hegemoni (yang masih
bersangkutan dengan teori konflik) menyatakan bahwa Sebuah pandangan
hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang
kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun
perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral,
prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial,
khususnya dalam makna intelektual dan moral.[11]
Gramsci
menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan
kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan.
Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui
bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan
masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan
basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif
masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang
masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi
(masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu
bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Dengan demikian mekanisme penguasaan
masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan
penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi.[12]
C. Pemaparan Materi
Perpecahan umat
islam sebenarnya sudah mulai terjadi setelah beberapa waktu wafatnya Rasulallah.
Kemudian jika ditarik ke dalam ranah politik yang menjadikan faktor perpecahan
umat islam adalah perselisihan imamah. Setelah Rasulallah wafat perselisihan
terjadi antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshor, akan tetapi masalah ini dapat
terselesaikan secara damai dengan menobatkan Abu Bakar yang akan menjadi
pengganti Rasullah.
Kemudaian
perpecahana ini memucak Sejak terbunuhnya Usman bin Affan (tahun 35 H) sehingga
ke hari ini umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang diakui oleh semua
pihak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya tersendiri dan tidak mengakui
pemimpin dari kelompok lain. Terbunuhnya Usman itu sendiri sebenarnya
disebabkan oleh masalah politik juga. Kelompok pemberontak yang tidak senang
dengan para gubernur yang diangkat oleh
Usman dan kebijaksanaannya menuntut agar khalifah ketiga itu meletakkan jabatan,
tetapi Usman enggan melakukannya. Keengganan Usman melakukan tuntutan kelompok
tersebut membuat mereka marah dan akhirnya Usman terbunuh di rumah ketika
sedang membaca Al-Qur`an.[13]
Kematian Usman
menjadi titik tolak bagi perpecahan umat Islam. Al-Baghdadi (wafat th. 429 H)
dalam bukunya Al-Farq bayna al-Firaq mengatakan: Tsumma ikhtalafu bada qatlihi
fi qotilihi wa khozilihi ikhtilafan baqiyan ila yawmina hadza . (Kemudian
mereka (para shahabat) berselisih setelah terbunuhnya (Usman) dalam masalah
orang-orang yang telah membunuhnya dan orang-orang yang membiarkannya terbunuh,
perselisihan yang kekal (berbekas) sampai hari (zaman) kita ini.[14]
Perang saudara
pun mulai terjadi, yaitu perang pertama
yang terjadi adalah perang unta (perang jamal) tahun 36H. Antara kelompok yang
dipimpin oleh Aisyah r.a, isteri Rasul saw,
yang menuntut balas atas kematian Usman, dengan kelompok Ali bin Abi
Talib yang diangkat menjadi khalifah sesudah Usman. Kelompok pemberontak setelah
membunuh Usman bergabung dengan Ali, itulah sebabnya kelompok Aisyah dan
kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut agar Ali menegakkan hukum terhadap
mereka. Tetapi Ali tidak dapat melaksanakan tuntutan itu. Hal ini menyebabkan
krisis politik yang berpanjangan.
Masalah politik merupakan puncak yang disebut
dengan al-Fitnah al-Kubra (bencana besar) di kalangan umat Islam. Umat Islam
berpecah kepada tiga kelompok:
Pertama:
kelompok Ali, kedua: kelompok Muawiyah, dan ketiga: kelompok moderat/neutral (Khawarij)
yang tidak memihak kepada salah satu dari dua kelompok tersebut. Dua kelompok pertama memiliki pengikut yang
banyak, sedangkan kelompok moderat kerana tidak ikut campur dalam masalah
politik maka jumlahnya tidak diketahui, tetapi kelompok ini merupakan majoriti
umat, di antara para sahabat yang bergabung di dalam kelompok moderat ini
adalah: Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Saad bin Malik, Saad bin Abi Waqqas,
Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan lain-lain.[15]
Pertentangan
antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan membawa kepada
terjadinya perang Siffin. Setelah kelompok Muawiyah hampir kalah, mereka
mengajak untuk bertahkim (arbitrate) bagi menyelesaikan konflik yang terjadi.
Perundingan (tahkim) dilaksanakan di Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun
37 H. Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash (wafat th.43 H) dan kelompok
Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari (wafat th. 44 H). Kedua-duanya bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing.
Perundingan
antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan jujur. Amr bin Ash membuat tipuan terhadap Abu Musa dengan
mengatakan bahawa konflik yang terjadi adalah disebabkan oleh dua orang, yaitu
Ali dan Muawiyah, maka untuk menciptakan perdamaian kedua orang itu harus
dipecat dan kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru.
Tipuan itu berhasil. Amru memberikan kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk
naik mimbar; Abu Musa mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah itu Amru naik mimbar
pula, ia menerima pemecatan Ali dan kerana Ali sudah dipecat khalifah tinggal
seorang sahaja lagi, yaitu Muawiyah menetapkan Muawiyah sebagai khalifah umat
Islam seluruhnya. Tentu saja kelompok Ali tidak puas hati.
Perundingan
tersebut bukan saja tidak menyelesaikan konflik, tetapi malah menimbulkan
kelompok baru. Kelompok Ali terpecah menjadi dua; Pertama, yang tetap setia
kepadanya (belakang hari disebut syiah); Kedua, yang memberontak, keluar dari
kelompok Ali dan berbalik menjadi musuhnya, karena tidak puas dengan keputusan
Ali untuk mengikuti perundingan diatas (kelompok ini disebut Khawarij).
Kelompok ini pada mulanya memaksa Ali untuk ikut bertahkim, tetapi setelah Ali
menerima tahkim mereka menolaknya; Mereka memakai semboyan La hukma illa
lillah (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi Allah semata).[16]
Kini kelompok
yang bertikai dalam masalah politik menjadi tiga; kelompok Muawiyah, kelompok
Ali dan kelompok Khawarij. Kelompok terakhir ini mengkafirkan kelompok Pertama
dan Kedua, mereka menghalalkan darah orang Islam yang tidak sependapat dengan
mereka. Mereka memerangi kelompok Pertama dan Kedua, mereka mengirim utusan
rahsia untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash. Muawiyah dan Amru selamat
dari pembunuhan, sedangkan Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin Muljam pada
tahun 40 H.
Kematian Ali
membuat pengikutnya kesedihan. Hasan, Putra Ali pertama, diangkat menjadi
khalifah menggantikan ayahnya. Hasan melihat bahwa pertentangan politik ini
hanya akan merugikan umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu dia
mengadakan perdamaian dengan Muawiyah, untuk menjaga agar darah kaum Muslimin
tidak tertumpah lebih banyak lagi. Hasan meletakkan jabatan pada tahun 41 H dan
menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Hasan meminta agar Muawiyah menyerahkan
urusan khilafah kepada kaum Muslimin bila ia meninggal nanti. Hasan juga
meminta agar kelompok Muawiyah berhenti menghina Ali di dalam
khutbah-khutbahnya. Gerakan perdamaian ini disokong oleh masyarakat Islam, sehingga tahun itu disebut sebagai
Tahun Persatuan ('am al-Jama'ah). Tetapi perjanjian tersebut tidak ditepati
kemudiannya. Hasan meninggal di Madinah kerana terkena racun pada tahun 50 H.
Kelompok Syiah menabalkan Husein, putra Ali kedua, menjadi khalifah.
Sebelum Muawiyah
meninggal (tahun 60 H) ia menabalkan putranya Yazid sebagai putra Mahkota untuk
menggantikannya. Hal itu membuatkan bukan saja kelompok Syiah marah tetapi juga seluruh kaum Muslimin; kerana
jelas melanggar perjanjian damai yang telah dipersetujui dengan Hasan tempo
hari. Namun begitu, kaum Muslimin tidak dapat berbuat apa-apa, kerana Muawiyah
memerintah dengan kuku besi. Di zaman Yazid (memerintah tahun 60 s/d 64 H)
permusuhan kelompok Umawi terhadap Syiah semakin menjadi-jadi. Kelompok Syiah
diperangi habis-habisan. Husein terbunuh di Karbala (10 Muharram th. 61 H)
dalam pertempuran yang tidak seimbang. Kepalanya dipenggal dan dibawa ke
hadapan Yazid sebagai persembahan. Bani Umayah tampil menjadi kekuatan yang
tidak dapat ditandingi.[17]
D. Analisis
Sebagaimna yang
dinyatakan oleh Nur Kholis Majid “salah satu karakteristik agama Islam pada
masa-masa awal penampilannya, ialah kejayaan dibidang politik”.[18]
Keberhasilan kaum muslimin membangun imperium yang luas, maju dan tangguh
memberi kesan yang kuat bahwa. Kendati demikian, lanjut Nurcholish, “sejarah
mencatat dengan penuh kesedihan bahwa perpecahan, pertentangan dan bahkan
penumpahan darah dalam tubuh ummat Islam terjadi karena persoalan politik”.[19]
Perpecahan umat
islam yang sudah mulai terjadi setelah beberapa waktu wafatnya Rasulallah.
Kemudian jika ditarik ke dalam ranah politik yang menjadikan faktor perpecahan
umat islam adalah perselisihan imamah. Setelah Rasulallah wafat perselisihan
terjadi antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshor, akan tetapi masalah ini dapat
terselesaikan secara damai dengan menobatkan Abu Bakar yang akan menjadi
pengganti Rasullah. Perselisihan yang terjadi antara kaum Muhajirin dan kaum
Ansor yang kemudian dapat diselesaikan dengan damai dengan menobatkan Abu Bakar
yang menjadi pengganti Rasulallah dengan metode musyawarah atau dalam bahasa sekarang
lebih dikenal dengan kata pemilu ini selain merujuk kepada al-Qur’an surat
as-Syura ayat 38:
tûïÏ%©!$#ur
(#qç/$yftGó$#
öNÍkÍh5tÏ9
(#qãB$s%r&ur
no4qn=¢Á9$#
öNèdãøBr&ur
3uqä©
öNæhuZ÷t/
$£JÏBur
öNßg»uZø%yu
tbqà)ÏÿZã
ÇÌÑÈ
Artinya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Jika ditinjau dari pemaparan teori tidak lain
untuk perubahan sosial yang tidak terjadi
melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi
akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan
kondisi semula.[20] Lebih jelasnya
bahwa akan terjadi perselesihan yang berkepanjangan jika ketika itu tidak ada
konflik dari kaum Muhajirin dan Kaum Anshor yang kemudian dapat diselesaikan
dengan damai. Karena jika tidak ada perselisihan tersebut dapat juga dari kaum
masing akan menobatkan pengganti Rasulallah dari golongannya sendiri.
Akan tetapi yang
akan menjadi pokok dalam bahasan materi ini lebih terfokuskan pada perpecahan
politik islam dan dampaknya di dalam teologi, yaitu ketika akhir kepemimpinan
Usman bin Affan yang kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Namun,
sebelum masa tersebut suasana harmonis dan kondisi politik yang mantap mencapai
puncaknya pada masa kepemimpinan Khalifah Umar dan tahun-tahun pertama
kekhalifahan Utsman bin Affân. Tetapi memasuki tujuh tahun dari
kepemimpinannya, isu-isu kontroversial menyangkut kebijakan Khalifah mulai
santer. Pendistribusian kekayaan negara serta pengangkatan pejabat-pejabat
propinsi yang dinilai nepotisme (perilaku yang memperlihatkan kekuasaan yang
berlebihan kepada kerabat dekat) adalah rumor-rumor yang menyebar luas di
kawasan Islam yang pada akhirnya menyulut konflik berdarah ditubuh umat.
Khalifah Utsman mengakhiri kepemimpinannya dengan dibunuh para demonstran, dan
Ali menggantikannya dalam situasi yang genting. Dukungan yang tidak bulat terhadap
Ali dari senior-senior sahabat yang masih ada, memberi peluang keberanian
Muawiyah, Gubernur Syam yang juga kerabat dekat Utsman, untuk menentang
kepemimpinan Ali dengan dalih menuntut dituntaskan dulu kasus pembunuhan Utsman
secara hukum. Konflik berdarah tak dapat dihindari oleh Ali dengan Aisyah di
perang Jamal dan dengan Muawiyah di perang Shiffin.[21]
Jika ditinjau
dari asumsi dasar teori konflik yang tertera di atas bahwa konflik sebagai
akibat dari menajamnya perbedaan dan kerasnya benturan kepentingan yang saling
berhadapan, disebabkan oleh beberapa latar belakang yang ada, antara lain:[22]
pertama: adanya latar belakang sosial
politik, ekonomi dan sosial budaya yang berbeda dan memiliki pengaruh yang
sangat kuat. “ Sebagaimana pada kekhalifahan Utsman Ibn Affan, Pendistribusian
kekayaan negara serta pengangkatan pejabat-pejabat propinsi yang dinilai
nepotisme adalah rumor-rumor yang menyebar luas di kawasan Islam yang pada
akhirnya menyulut konflik berdarah ditubuh umat. Khalifah Utsman mengakhiri
kepemimpinannya dengan dibunuh para demonstran.
Kedua,
adanya pemikiran yang menimbulkan ketidak sepahaman antara yang satu dengan
yang lain” Dapat dilihat sebagai pengganti Utsman kemudian Ali menjadi khalifa
ke-empat, ia mendapat tantagan dari pihak pendukung Utsman terutama Muawiyah
(Gubernur Damaskus). Dia sangat menentang Ali karena dalam pemikiranya yang
menjadi dalang kematian Utsamn adalah Ali, supaya Ali dapat mengambil alih
kekuasaan tersebut.
Ketiga,
adanya sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak, sistem dan mekanisme yang ada
dalam organisasi.“ yaitu tidak simpatiknya Muawiyah terhadap Ali. Akan tetapi,
konflik politik tersebut dapat diakhiri dengan tahkim. Dari pihak Ali di
utus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan tidak cerdi dalam bidang
politik yaitu Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan dari pihak Muawiyah diutus seorang
yang terkenal sangat cerdik dalam berpolitik yaitu Amr bin Ash.
Keempat,
adanya rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi, sikap frustasi, rasa
tidak senang, dan lain-lain, sementara tidak dapat berbuat apa-apa dan apabila
harus meningggalkan kelompok, berarti harus menanggung resiko yang tidak kecil.”Sebagaimana
yang sudah dipaparkan di atas bahwasanya dari hasil tahkim tersebut
pihak Ali dirugikan oleh pihak Muawiyah karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang
mengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Kemudian terjadilah perpecahan pendukung Ali.
Yaitu kelompok yang secara terpaksa menghadapi hasil takhim dan mereka
setia kepada Ali (kelompk Ali “Syi’ah”) dan kelompok yang menolak hasil tahkim
dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali, kemudian mereka menyatakan diri keluar
dan melakukan gerakan perlawanan terhadap pihak yang terlibat dalam tahkim
serta keluar dari ranah politik (Khawarij).
Kelima,
adanya dorongan rasa harga diri yang berlebih-lebihan dan berakibat pada
keinginan untuk berusaha sekuat tenaga untuk melakukan rekayasa dan manipulasi.
“keinginan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan rekayasa dan manipulasi
sebagaimana Khawarij yang mengeklaim bahwa persengkataan antara Ali dan
Muawiyah ini tidak lain hanya untuk kepentingan politik saja dan keluar dari ajaran
islam. Mereka memakai semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum
(keputusan) melainkan bagi Allah semata). Akan tetapi, disamping kelompok
penentang Ali memiliki pendukung yang sangat fanatik (Syi’ah) yang senantiasa
kepadanya. Dengan oposisi terhadap pemerintahan Ali, kesetiaan mereka semakin
bertambah, apalagi setelah terbunuhnya Ali oleh kalangan Khawarij. Mereka yang
fanatik ini tidak sebagai dorongan rasa harga diri.
Konflik politik
dengan batasannya seperti tersebut di atas adalah lumrah terjadi di sepanjang
sejarah umat manusia. Kehidupan masyarakat manusia mempunyai hukum tersendiri
mengenai integrasi dan konflik sebagai salah satu karakter sosial yang abadi.
Umat Islam tidaklah dikecualikan dari karakter sosial yang bersifat umum ini.
Jika konflik dan integrasi adalah hukum yang abadi dalam bingkai hukum
kausalitas sosial, maka suatu keniscayaan bahwa faktor-faktor penyebabnya
berasal dari akar masalah yang sama dengan pengecualian-pengecualian yang
bersifat temporal dan lokal atau masalah-masalah yang khusus pada suatu umat.
Dengan demikian, konflik sosial merupakan sesuatu yang bukan hanya dapat dikaji
sebagai fakta yang telah terjadi, tetapi juga dapat dicegah dengan
mengantisipasi sebab-sebab yang dapat diandaikan sebelumnya.[23]
Dalam konteks
demokrasi ada perubahan pemahaman mengenai konflik politik, dimana konflik
tidak lagi dipahami sebagai aktifitas yang negatif, buruk, dan merusak, tetapi
sebaliknya konflik merupakan aktifitas yang positif dan dinamis. Hal ini
berlanjut pada perubahan konsepsi penyelesaian konflik menjadi pengelolaan
konflik (management conflict). Ini sebuah perbedaan sangat penting. Pertama,
penyelesaian konflik menunjuk pada penghentian atau penghilangan suatu konflik,
dengan demikian implikasinya adalah konflik merupakan sesuatu yang negatif,
yang bisa diselesaikan, diakhiri, bahkan dihapuskan. Kedua, berbeda dengan
penyelesaian konflik, pengelolan konflik lebih memberi pemahaman bahwa konflik
bisa positif, bisa juga negatif. Meskipun makna istilah-istilah tadi tentu
masih menjadi perdebatan (debatable) hal ini menunjukkan bahwa persoalan
konflik memiliki berbagai pendekatan termasuk istilah-istilahnya.[24]
Sebagaimana yang
sudah dijelaskan oleh Antonio Gamsci dalam teori Hegemoni bahwa hegemoni
merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas
bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan
tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat
yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan
kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring
kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang
ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha
untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Dengan demikian
mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas
dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi.[25]
Daftar Pustaka
Abd ar-Râziq, Ali. Islam
Dasar-Dasar Pemerintahan , terjemah Indonesia oleh M.Zaid Su’di. Yogyakarta: Jendela, 2002.
Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh
al-Madzahib al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1996.
Coser, Lewis A. The Fungtions of
Social Conflict. New York : The Free Pres, 1956.
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah
dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2013.
Jones, Pip. Pengantar Teori
Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.
K.Hitti, Philip. History of the
Arabic. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2006.
Madjid,
Nurchalish. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1996.
Marx, Karl. Selected Writings in
Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books, 1997.
Raho,
Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,
2007.
Ritzer, George & J Goodman, Douglas.
Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Soe’yb, Joesoef. Sejarah Daulat
Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Supriyadi, Dedi. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu
Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban
Islam “Dirasah Islamiyah II”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Zeitlin, M. Irving. Memahami
Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1995.
[1] Nurchalish Madjid dalam pengantar atas Ahmad Syafii
Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan,, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 9
[2] Ibid, 10.
[3] Joesoef Soe’yb, Sejarah
Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 42
[4] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia,
2008), hlm. 33.
[5] Lewis A. Coser, The Fungtions
of Social Conflict, (New York : The Free Pres, 1956),67
[7] Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern, (Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2007), hlm. 54
[8]Karl Marx, Selected Writings
in Sociology and Social Philosphy, (Victoria: Penguin Books, 1997)
hlm. 34
[9] ibid.
[10]M. Irving Zeitlin, Memahami
Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1995), hlm. 56.
[11]Pip Jones, Pengantar Teori
Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm. 25.
[12]George Ritzer & Douglas J
Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 56.
[13]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh
al-Madzahib al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1996), hlm. 26-29
[14] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), hlm. 1-7.
[15] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam “Dirasah Islamiyah”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2013), hlm. 63-67.
[16] Abu Zahrah (1996), op. cit.,
hal. 58
[17] Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), hlm. 26-27.
[18] Nurchalish Madjid dalam
pengantar atas Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta:
LP3ES, 1996), hal. 9.
[19] Ibid, 10.
[20] Pemaparan teori pada sub bab
kerangka teoritis.
[21] Philip K.Hitti, History of
the Arabic, (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2006), hlm. 222-230.
[22]ibid.
[23] Ali ‘Abd ar-Râziq, Islam
Dasar-Dasar Pemerintahan , terjemah Indonesia oleh M.Zaid Su’di, (Yogyakarta; Jendela, 2002), hlm. 117.
[24] Ramlan Surbakti, Memahami
Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992),
[25] George Ritzer & Douglas J
Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 56
Komentar
Posting Komentar