PERPECAHAN POLITIK ISLAM DAN DAMPAKNYA DI BIDANG TEOLOGI


A.  Pengantar
Sukses Nabi membangun sistem pemerintahan baru di Madinah dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya dengan mengembangkan sistem politik Islam dan melakukan perluasan wilayah secara besar-besaran. Bersamaan dengan itu, jalan peyebaran dakwah Islam semakin licin dan terbuka. Tidak ada rintangan lagi bagi bangsa manapun untuk berbodong-bondong memeluk Islam. Karena hambatan-hambatan struktural dan politis yang sering mengintimidasi psikologi masyarakat awam dalam menentukan pilihan keyakinannya telah berhasil dilumpuhkan oleh umat Islam yang telah tumbuh menjadi kekuatan alternatif menggantikan imperium Romawi dan Persia yang sudah kropos.[1]
Keberhasilan kaum muslimin membangun imperium yang luas, maju dan tangguh memberi kesan yang kuat bahwa, mengutip kata-kata Nurcholish Madjid, “salah satu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal penampilannya, ialah kejayaan dibidang politik”.“Kendati demikian…”, lanjut Nurcholish, “sejarah mencatat dengan penuh kesedihan bahwa perpecahan, pertentangan dan bahkan penumpahan darah dalam tubuh ummat Islam terjadi karena persoalan politik”.[2]
Perpecahan dalam tubuh umat Islam sudah mulai terjadi beberapa waktu setelah Rasulullah wafat, dimulai dengan terjadinya perang jamal antara pengikut Ali dan Siti Aisah istri Rasulullah, pembunuhan terhadap kalifah Umar bin Khatab, Ustman dan Ali. Perang Siifin antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Umayyah Gubernur Damaskus yang memberontak terhadap Ali dan terus sampai sekarang. Didalam lingkungan pemeluk Islam terus terjadi saling hujat, serang, bunuh demi mempertahankan atau memaksakan pendapat dan keyakinnya pada kelompok atau orang lain.[3]
Selain itu, disintegrasi bidang politik ini kemudian memuncak pada zaman Abbasiyah, terutama setelah khalifa-khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal. Daerah-daerah yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan di Damaskus dan Baghdad, melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di pusat dan timbullah dinasti-dinasti kecil.[4]
Kenapa semua ini terjadi, padahal kalau kita kembali kepada Al-Qur’an sungguh ajarannya sangat menyejukan hati dan memberi kedamaian, jauh dari kekerasan dan paksaan. Kurang legowonya sebagian umat Islam menerima perbedaan pendapat dan keyakinan, menyebabkan mereka jadi beringas dan mudah diprovokasi oleh pihak lain yang menginginkan perpecahan dikalangan umat Islam. Perpecahan Hanya menyebabkan umat Islam menjadi lemah, tidak mampu bersaing ditengah kehidupan dunia yang semakin maju dan modern.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka identifkasi permasalahan yang mengemuka berkisar pada nuansa pada perpecahan politik dalam islam serta segala aspek yang menjadi implikasinya, terutama dalam bidang teologi. Pendekatan yang akan dipakai dalam melihat dan meninjau permasalahan tersebut adalah pendekatan konflik (teori konflik). Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial.[5] Untuk itu, maka sistematika pembahasan pada tulisan  dan kajian ini terpilah berturut turut pada pengantar sebagai identifikasi masalah, bangun kerangka teoretis sebagai media penjelas munculnya fenomena yang muncul pada masa perpecahan politik islam dan implikasinya dalam bidang teologi, pemaparan materi, serta analisis.


B.  Kerangka Teoritis
Berdasarkan uraian identifikasi permasalahan di atas, maka jajaran teori yang digunakan adalah sebagai berikut:
Teori Struktural Konflik
1.    Asumsi dasar
·      Masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Proses perubahan masyarakat adat sederhana menjadi modern.
·      Masyarakat mengandung konflik di dalam dirinya (konflik antar individu, antar kelompok, individu dengan kelompok).
·      Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi / perubahan sosial (sosial ekonomi: perbedaan tingkat kemakmuran, status sosial, budaya : pruralisme etnis, agama, politik : simbolisme ketidak adilan).[6]

2.    Teori Konflik
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.[7]
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.[8]
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.[9]
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dah.[10]
Sedangkan menurut Antonio Gramsci yang mencetuskan teori Hegemoni (yang masih bersangkutan dengan teori konflik) menyatakan bahwa Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.[11]
Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi.[12]


C.  Pemaparan Materi
Perpecahan umat islam sebenarnya sudah mulai terjadi setelah beberapa waktu wafatnya Rasulallah. Kemudian jika ditarik ke dalam ranah politik yang menjadikan faktor perpecahan umat islam adalah perselisihan imamah. Setelah Rasulallah wafat perselisihan terjadi antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshor, akan tetapi masalah ini dapat terselesaikan secara damai dengan menobatkan Abu Bakar yang akan menjadi pengganti Rasullah.
Kemudaian perpecahana ini memucak Sejak terbunuhnya Usman bin Affan (tahun 35 H) sehingga ke hari ini umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya tersendiri dan tidak mengakui pemimpin dari kelompok lain. Terbunuhnya Usman itu sendiri sebenarnya disebabkan oleh masalah politik juga. Kelompok pemberontak yang tidak senang dengan  para gubernur yang diangkat oleh Usman dan kebijaksanaannya menuntut agar khalifah ketiga itu meletakkan jabatan, tetapi Usman enggan melakukannya. Keengganan Usman melakukan tuntutan kelompok tersebut membuat mereka marah dan akhirnya Usman terbunuh di rumah ketika sedang membaca Al-Qur`an.[13]
Kematian Usman menjadi titik tolak bagi perpecahan umat Islam. Al-Baghdadi (wafat th. 429 H) dalam bukunya Al-Farq bayna al-Firaq mengatakan: Tsumma ikhtalafu bada qatlihi fi qotilihi wa khozilihi ikhtilafan baqiyan ila yawmina hadza . (Kemudian mereka (para shahabat) berselisih setelah terbunuhnya (Usman) dalam masalah orang-orang yang telah membunuhnya dan orang-orang yang membiarkannya terbunuh, perselisihan yang kekal (berbekas) sampai hari (zaman) kita ini.[14]
Perang saudara pun mulai terjadi, yaitu  perang pertama yang terjadi adalah perang unta (perang jamal) tahun 36H. Antara kelompok yang dipimpin oleh Aisyah r.a, isteri Rasul saw,  yang menuntut balas atas kematian Usman, dengan kelompok Ali bin Abi Talib yang diangkat menjadi khalifah sesudah Usman. Kelompok pemberontak setelah membunuh Usman bergabung dengan Ali, itulah sebabnya kelompok Aisyah dan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut agar Ali menegakkan hukum terhadap mereka. Tetapi Ali tidak dapat melaksanakan tuntutan itu. Hal ini menyebabkan krisis politik yang berpanjangan.
 Masalah politik merupakan puncak yang disebut dengan al-Fitnah al-Kubra (bencana besar) di kalangan umat Islam. Umat Islam berpecah kepada tiga kelompok:
Pertama: kelompok Ali, kedua: kelompok Muawiyah, dan ketiga: kelompok moderat/neutral (Khawarij) yang tidak memihak kepada salah satu dari dua kelompok tersebut.  Dua kelompok pertama memiliki pengikut yang banyak, sedangkan kelompok moderat kerana tidak ikut campur dalam masalah politik maka jumlahnya tidak diketahui, tetapi kelompok ini merupakan majoriti umat, di antara para sahabat yang bergabung di dalam kelompok moderat ini adalah: Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Saad bin Malik, Saad bin Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan lain-lain.[15]
Pertentangan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan membawa kepada terjadinya perang Siffin. Setelah kelompok Muawiyah hampir kalah, mereka mengajak untuk bertahkim (arbitrate) bagi menyelesaikan konflik yang terjadi. Perundingan (tahkim) dilaksanakan di Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H. Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash (wafat th.43 H) dan kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari (wafat th. 44 H). Kedua-duanya  bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing.
Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan jujur. Amr bin Ash  membuat tipuan terhadap Abu Musa dengan mengatakan bahawa konflik yang terjadi adalah disebabkan oleh dua orang, yaitu Ali dan Muawiyah, maka untuk menciptakan perdamaian kedua orang itu harus dipecat dan kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru. Tipuan itu berhasil. Amru memberikan kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar; Abu Musa mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah itu Amru naik mimbar pula, ia menerima pemecatan Ali dan kerana Ali sudah dipecat khalifah tinggal seorang sahaja lagi, yaitu Muawiyah menetapkan Muawiyah sebagai khalifah umat Islam seluruhnya. Tentu saja kelompok Ali tidak puas hati.
Perundingan tersebut bukan saja tidak menyelesaikan konflik, tetapi malah menimbulkan kelompok baru. Kelompok Ali terpecah menjadi dua; Pertama, yang tetap setia kepadanya (belakang hari disebut syiah); Kedua, yang memberontak, keluar dari kelompok Ali dan berbalik menjadi musuhnya, karena tidak puas dengan keputusan Ali untuk mengikuti perundingan diatas (kelompok ini disebut Khawarij). Kelompok ini pada mulanya memaksa Ali untuk ikut bertahkim, tetapi setelah Ali menerima tahkim mereka menolaknya; Mereka memakai semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi Allah semata).[16]
Kini kelompok yang bertikai dalam masalah politik menjadi tiga; kelompok Muawiyah, kelompok Ali dan kelompok Khawarij. Kelompok terakhir ini mengkafirkan kelompok Pertama dan Kedua, mereka menghalalkan darah orang Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka memerangi kelompok Pertama dan Kedua, mereka mengirim utusan rahsia untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash. Muawiyah dan Amru selamat dari pembunuhan, sedangkan Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin Muljam pada tahun 40 H.
Kematian Ali membuat pengikutnya kesedihan. Hasan, Putra Ali pertama, diangkat menjadi khalifah menggantikan ayahnya. Hasan melihat bahwa pertentangan politik ini hanya akan merugikan umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu dia mengadakan perdamaian dengan Muawiyah, untuk menjaga agar darah kaum Muslimin tidak tertumpah lebih banyak lagi. Hasan meletakkan jabatan pada tahun 41 H dan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Hasan meminta agar Muawiyah menyerahkan urusan khilafah kepada kaum Muslimin bila ia meninggal nanti. Hasan juga meminta agar kelompok Muawiyah berhenti menghina Ali di dalam khutbah-khutbahnya. Gerakan perdamaian ini disokong oleh masyarakat  Islam, sehingga tahun itu disebut sebagai Tahun Persatuan ('am al-Jama'ah). Tetapi perjanjian tersebut tidak ditepati kemudiannya. Hasan meninggal di Madinah kerana terkena racun pada tahun 50 H. Kelompok Syiah menabalkan Husein, putra Ali kedua, menjadi khalifah.
Sebelum Muawiyah meninggal (tahun 60 H) ia menabalkan putranya Yazid sebagai putra Mahkota untuk menggantikannya. Hal itu membuatkan bukan saja kelompok Syiah marah  tetapi juga seluruh kaum Muslimin; kerana jelas melanggar perjanjian damai yang telah dipersetujui dengan Hasan tempo hari. Namun begitu, kaum Muslimin tidak dapat berbuat apa-apa, kerana Muawiyah memerintah dengan kuku besi. Di zaman Yazid (memerintah tahun 60 s/d 64 H) permusuhan kelompok Umawi terhadap Syiah semakin menjadi-jadi. Kelompok Syiah diperangi habis-habisan. Husein terbunuh di Karbala (10 Muharram th. 61 H) dalam pertempuran yang tidak seimbang. Kepalanya dipenggal dan dibawa ke hadapan Yazid sebagai persembahan. Bani Umayah tampil menjadi kekuatan yang tidak dapat ditandingi.[17]

D.  Analisis
Sebagaimna yang dinyatakan oleh Nur Kholis Majid “salah satu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal penampilannya, ialah kejayaan dibidang politik”.[18] Keberhasilan kaum muslimin membangun imperium yang luas, maju dan tangguh memberi kesan yang kuat bahwa. Kendati demikian, lanjut Nurcholish, “sejarah mencatat dengan penuh kesedihan bahwa perpecahan, pertentangan dan bahkan penumpahan darah dalam tubuh ummat Islam terjadi karena persoalan politik”.[19]
Perpecahan umat islam yang sudah mulai terjadi setelah beberapa waktu wafatnya Rasulallah. Kemudian jika ditarik ke dalam ranah politik yang menjadikan faktor perpecahan umat islam adalah perselisihan imamah. Setelah Rasulallah wafat perselisihan terjadi antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshor, akan tetapi masalah ini dapat terselesaikan secara damai dengan menobatkan Abu Bakar yang akan menjadi pengganti Rasullah. Perselisihan yang terjadi antara kaum Muhajirin dan kaum Ansor yang kemudian dapat diselesaikan dengan damai dengan menobatkan Abu Bakar yang menjadi pengganti Rasulallah dengan metode musyawarah atau dalam bahasa sekarang lebih dikenal dengan kata pemilu ini selain merujuk kepada al-Qur’an surat as-Syura ayat 38:
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
 Jika ditinjau dari pemaparan teori tidak lain untuk  perubahan sosial yang tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.[20] Lebih jelasnya bahwa akan terjadi perselesihan yang berkepanjangan jika ketika itu tidak ada konflik dari kaum Muhajirin dan Kaum Anshor yang kemudian dapat diselesaikan dengan damai. Karena jika tidak ada perselisihan tersebut dapat juga dari kaum masing akan menobatkan pengganti Rasulallah dari golongannya sendiri.
Akan tetapi yang akan menjadi pokok dalam bahasan materi ini lebih terfokuskan pada perpecahan politik islam dan dampaknya di dalam teologi, yaitu ketika akhir kepemimpinan Usman bin Affan yang kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Namun, sebelum masa tersebut suasana harmonis dan kondisi politik yang mantap mencapai puncaknya pada masa kepemimpinan Khalifah Umar dan tahun-tahun pertama kekhalifahan Utsman bin Affân. Tetapi memasuki tujuh tahun dari kepemimpinannya, isu-isu kontroversial menyangkut kebijakan Khalifah mulai santer. Pendistribusian kekayaan negara serta pengangkatan pejabat-pejabat propinsi yang dinilai nepotisme (perilaku yang memperlihatkan kekuasaan yang berlebihan kepada kerabat dekat) adalah rumor-rumor yang menyebar luas di kawasan Islam yang pada akhirnya menyulut konflik berdarah ditubuh umat. Khalifah Utsman mengakhiri kepemimpinannya dengan dibunuh para demonstran, dan Ali menggantikannya dalam situasi yang genting. Dukungan yang tidak bulat terhadap Ali dari senior-senior sahabat yang masih ada, memberi peluang keberanian Muawiyah, Gubernur Syam yang juga kerabat dekat Utsman, untuk menentang kepemimpinan Ali dengan dalih menuntut dituntaskan dulu kasus pembunuhan Utsman secara hukum. Konflik berdarah tak dapat dihindari oleh Ali dengan Aisyah di perang Jamal dan dengan Muawiyah di perang Shiffin.[21]
Jika ditinjau dari asumsi dasar teori konflik yang tertera di atas bahwa konflik sebagai akibat dari menajamnya perbedaan dan kerasnya benturan kepentingan yang saling berhadapan, disebabkan oleh beberapa latar belakang yang ada, antara lain:[22]
 pertama: adanya latar belakang sosial politik, ekonomi dan sosial budaya yang berbeda dan memiliki pengaruh yang sangat kuat. “ Sebagaimana pada kekhalifahan Utsman Ibn Affan, Pendistribusian kekayaan negara serta pengangkatan pejabat-pejabat propinsi yang dinilai nepotisme adalah rumor-rumor yang menyebar luas di kawasan Islam yang pada akhirnya menyulut konflik berdarah ditubuh umat. Khalifah Utsman mengakhiri kepemimpinannya dengan dibunuh para demonstran.
Kedua, adanya pemikiran yang menimbulkan ketidak sepahaman antara yang satu dengan yang lain” Dapat dilihat sebagai pengganti Utsman kemudian Ali menjadi khalifa ke-empat, ia mendapat tantagan dari pihak pendukung Utsman terutama Muawiyah (Gubernur Damaskus). Dia sangat menentang Ali karena dalam pemikiranya yang menjadi dalang kematian Utsamn adalah Ali, supaya Ali dapat mengambil alih kekuasaan tersebut.
Ketiga, adanya sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak, sistem dan mekanisme yang ada dalam organisasi.“ yaitu tidak simpatiknya Muawiyah terhadap Ali. Akan tetapi, konflik politik tersebut dapat diakhiri dengan tahkim. Dari pihak Ali di utus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan tidak cerdi dalam bidang politik yaitu Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan dari pihak Muawiyah diutus seorang yang terkenal sangat cerdik dalam berpolitik yaitu Amr bin Ash.
Keempat, adanya rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi, sikap frustasi, rasa tidak senang, dan lain-lain, sementara tidak dapat berbuat apa-apa dan apabila harus meningggalkan kelompok, berarti harus menanggung resiko yang tidak kecil.”Sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas bahwasanya dari hasil tahkim tersebut pihak Ali dirugikan oleh pihak Muawiyah karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang mengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Kemudian terjadilah perpecahan pendukung Ali. Yaitu kelompok yang secara terpaksa menghadapi hasil takhim dan mereka setia kepada Ali (kelompk Ali “Syi’ah”) dan kelompok yang menolak hasil tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali, kemudian mereka menyatakan diri keluar dan melakukan gerakan perlawanan terhadap pihak yang terlibat dalam tahkim serta keluar dari ranah politik (Khawarij).   
Kelima, adanya dorongan rasa harga diri yang berlebih-lebihan dan berakibat pada keinginan untuk berusaha sekuat tenaga untuk melakukan rekayasa dan manipulasi. “keinginan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan rekayasa dan manipulasi sebagaimana Khawarij yang mengeklaim bahwa persengkataan antara Ali dan Muawiyah ini tidak lain hanya untuk kepentingan politik saja dan keluar dari ajaran islam. Mereka memakai semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi Allah semata). Akan tetapi, disamping kelompok penentang Ali memiliki pendukung yang sangat fanatik (Syi’ah) yang senantiasa kepadanya. Dengan oposisi terhadap pemerintahan Ali, kesetiaan mereka semakin bertambah, apalagi setelah terbunuhnya Ali oleh kalangan Khawarij. Mereka yang fanatik ini tidak sebagai dorongan rasa harga diri.
Konflik politik dengan batasannya seperti tersebut di atas adalah lumrah terjadi di sepanjang sejarah umat manusia. Kehidupan masyarakat manusia mempunyai hukum tersendiri mengenai integrasi dan konflik sebagai salah satu karakter sosial yang abadi. Umat Islam tidaklah dikecualikan dari karakter sosial yang bersifat umum ini. Jika konflik dan integrasi adalah hukum yang abadi dalam bingkai hukum kausalitas sosial, maka suatu keniscayaan bahwa faktor-faktor penyebabnya berasal dari akar masalah yang sama dengan pengecualian-pengecualian yang bersifat temporal dan lokal atau masalah-masalah yang khusus pada suatu umat. Dengan demikian, konflik sosial merupakan sesuatu yang bukan hanya dapat dikaji sebagai fakta yang telah terjadi, tetapi juga dapat dicegah dengan mengantisipasi sebab-sebab yang dapat diandaikan sebelumnya.[23]
Dalam konteks demokrasi ada perubahan pemahaman mengenai konflik politik, dimana konflik tidak lagi dipahami sebagai aktifitas yang negatif, buruk, dan merusak, tetapi sebaliknya konflik merupakan aktifitas yang positif dan dinamis. Hal ini berlanjut pada perubahan konsepsi penyelesaian konflik menjadi pengelolaan konflik (management conflict). Ini sebuah perbedaan sangat penting. Pertama, penyelesaian konflik menunjuk pada penghentian atau penghilangan suatu konflik, dengan demikian implikasinya adalah konflik merupakan sesuatu yang negatif, yang bisa diselesaikan, diakhiri, bahkan dihapuskan. Kedua, berbeda dengan penyelesaian konflik, pengelolan konflik lebih memberi pemahaman bahwa konflik bisa positif, bisa juga negatif. Meskipun makna istilah-istilah tadi tentu masih menjadi perdebatan (debatable) hal ini menunjukkan bahwa persoalan konflik memiliki berbagai pendekatan termasuk istilah-istilahnya.[24]
Sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Antonio Gamsci dalam teori Hegemoni bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi.[25]






Daftar Pustaka
Abd ar-Râziq, Ali. Islam Dasar-Dasar Pemerintahan , terjemah Indonesia oleh M.Zaid Su’di.  Yogyakarta: Jendela, 2002.
Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,  1996.
Coser, Lewis A. The Fungtions of Social Conflict. New York : The Free Pres, 1956.
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2013.
Jones, Pip. Pengantar Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009. 
K.Hitti, Philip. History of the Arabic. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2006.
Madjid, Nurchalish. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1996.
Marx, Karl. Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books, 1997.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007.
Ritzer, George & J Goodman, Douglas. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Soe’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam “Dirasah Islamiyah II”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Zeitlin, M. Irving. Memahami Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.



[1] Nurchalish Madjid dalam pengantar atas Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan,, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 9
[2] Ibid, 10.
[3] Joesoef Soe’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 42
[4] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 33.
[5] Lewis A. Coser, The Fungtions of Social Conflict, (New York : The Free Pres, 1956),67
[7] Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), hlm. 54
[8]Karl Marx, Selected Writings in Sociology and Social Philosphy, (Victoria: Penguin Books, 1997) hlm.  34
[9] ibid.
[10]M. Irving Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), hlm. 56.
[11]Pip Jones, Pengantar Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm. 25. 
[12]George Ritzer & Douglas J Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 56.
[13]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,  1996), hlm. 26-29
[14] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), hlm. 1-7.
[15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam “Dirasah Islamiyah”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 63-67.
[16] Abu Zahrah (1996), op. cit., hal. 58
[17] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), hlm. 26-27.
[18] Nurchalish Madjid dalam pengantar atas Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 9.
[19] Ibid, 10.
[20] Pemaparan teori pada sub bab kerangka teoritis.
[21] Philip K.Hitti, History of the Arabic, (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2006), hlm. 222-230.
[22]ibid.
[23] Ali ‘Abd ar-Râziq, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan , terjemah Indonesia oleh M.Zaid Su’di,  (Yogyakarta; Jendela, 2002), hlm. 117.
[24] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992),
[25] George Ritzer & Douglas J Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 56

Komentar