ISLAM DI SPANYOL PADA MASA MULUK AT-THAWAIF (MURABBITHUN, AL MUWAHHIDUN, BANI AMAR)


A.Pengantar
Sejarah telah mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai puncak kejayaannya dalam waktu yang panjang pada masa lalu. Lagi umat Islam menunjukkan kejayaannya itu dengan kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang ilmu yang di hasilkannya antara lain dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, mencapai puncaknya pada masa Bani Umayyah yang berlangsung antara tahun ( 661-705 M), masa pemerintahan Abbasiyah tahun ( 705-1258 M).[1]
Sejak masa pemerintahan Bani Umayyah pada tahun ( 661 M), ekspansi yang pernah berhenti pada masa Ali ra, kembali di lanjutkan. Hal yang sama juga di lakukan oleh khalifah Abbasiyah yang berlangsung sejak tahun ( 705 M). Pada masa kedua kekhalifahan ini penuh dengan kemajuan, namun tak terkecuali hanyalah kemungkinan. Kemajuan demi kemajuan itu terwujud dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang kebudayaan. Kemajuan-kemajuan Eropa saat ini tidak dapat di pisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol. Islam di Spanyol banyak memberikan muata-muatan keilmuan bagi dunia Eropa, sehingga banyak orang datang belajar di Spanyol. Pada periode klasik, ketika Islam mencapai masa keemasannya, Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang sangat penting, yang menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu orang-orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruanperguruan tinggi Islam di sana, Islam menjadi guru orang Eropa.[2]
Kemudian setelah kekuasaan islam terlepas dari pemarintahan Bani Umayyah dan pindah ke Muluk al-Tawaif, kondisi umat islam di spanyol kembali mengalami pertikaian internal. Ironisnya, setiap ada perang saudara, ada yang maminta bantuan dari raja-raja Kristen, sehingga orang kristen mulai mengambil inisiatif penyerangan.
Selanjutnya  umat islam di Spanyol berada di bawah kekuasaan Dinasti Murabithun, Muwahhidun dan Bani ahmar atau Nashriyah. Ketika kekuasaan Bani Ahmar inilah pasukan kristen yang dipimpin Ferdinand dan Isabella berhasil menaklukkan umat islam yang menandai berahirnya kekuasaan islam di tanah Spanyol atau Andalusia.[3]
Sementara itu, yang kemudian menjadi menrik dari peradaban islam di Spanyol pada masa Muluk at Thawaif, al-Murabbithu, Muwahiddhun, dan Ahmar adalah masalah-masalal internal pada masing-masing pemerintahan. Yaitu terjadinya pertikaian-pertiakan intern pada masa Muluk at-Thawaif, kemudian perpecahan Raja-raja Muslim pada masa al-Murabbithu, Muwahiddhun, serta pada masa Ahmar yang mendapat perlawanan dari pasukan kristen yang dipimpin Ferdinand dan Isabella yang berhasil menaklukkan umat islam yang menandai berahirnya kekuasaan islam di tanah Spanyol atau Andalusia.
Meskipun demikian, dengan kehidupan politik yang tidak stabil, namu, kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.[4]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka identifkasi permasalahan yang mengemuka berkisar pada nuansa permaslahan-permaslahan yang terjadi dan kemudian munculnya faktor pendukung kemajuan pada masa ini berikut segala aspek yang menjadi implikasinya. Pendekatan yang akan dipakai dalam melihat dan meninjau permasalahan tersebut adalah melalui pendekatan sosiologis yang diharapkan bisa memberikan gambaran mengenai gerakan faktor-faktor pendukung kemajuan pada mas ini. Untuk itu, maka sistematika pembahasan pada tulisan  dan kajian ini terpilah berturut turut pada pengantar sebagai identifikasi masalah, bangun kerangka teoretis sebagai media penjelas munculnya fenomena yang muncul di momen pertikaian dan kemudiaan muncul faktor-faktor pendukung kemajuan, pemaparan materi, serta analisis.



B. Kerangka teori
Berdasarkan uraian identifikasi permasalahan di atas, maka jajaran teori yang digunakan adalah sebagai berikut:
Teori Struktural Konflik
1.    Asumsi dasar
·      Masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Proses perubahan masyarakat adat sederhana menjadi modern.
·      Masyarakat mengandung konflik di dalam dirinya (konflik antar individu, antar kelompok, individu dengan kelompok).
·      Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi / perubahan sosial (sosial ekonomi: perbedaan tingkat kemakmuran, status sosial, budaya : pruralisme etnis, agama, politik : simbolisme ketidak adilan).[5]

2.    Teori Konflik
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.[6]
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.[7]
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.[8]
Menurut Antonio Gramsci yang mencetuskan teori Hegemoni (yang masih bersangkutan dengan teori konflik) menyatakan bahwa Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.[9]
Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi.[10]

C.Pemaparan materi
Sejarah telah mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai puncak kejayaannya dalam waktu yang panjang pada masa lalu. Lagi umat Islam menunjukkan kejayaannya itu dengan kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang ilmu yang di hasilkannya antara lain dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, mencapai puncaknya pada masa Bani Umayyah yang berlangsung antara tahun ( 661-705 M), masa pemerintahan Abbasiyah tahun ( 705-1258 M).[11]
Setelah kekuasaan islam terlepas dari pemarintahan Bani Umayyah dan pindah ke Muluk al-Tawaif, kondisi umat islam di spanyol kembali mengalami pertikaian internal. Ironisnya, setiap ada perang saudara, ada yang maminta bantuan dari raja-raja Kristen, sehingga orang kristen mulai mengambil inisiatif penyerangan.
Selanjutnya  umat islam di Spanyol berada di bawah kekuasaan Dinasti Murabithun, Muwahhidun dan Bani ahmar atau Nashriyah. Ketika kekuasaan Bani Ahmar inilah pasukan kristen yang dipimpin Ferdinand dan Isabella berhasil menaklukkan umat islam yang menandai berahirnya kekuasaan islam di tanah Spanyol atau Andalusia.[12] Berikut penjelasannya:
1.    Periode at-Thawaif
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar “An-Nasir” sampai munculnya “raja-raja kelompok” yang dikenal dengan sebutan Muluk at-Thawaif.
Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah, penggunaan gelar khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa Al-Muqtadir, khalifah Daulah Bani Abbas di Bagdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang paling tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah, gelar ini dipakai mulai tahun 929 M.
Awal dari kehancuran khalifah Bani Umayyah di Spanyol adalah ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh karena itu kekuasaan actual berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M, khalifah menunjuk IBNU ABI AMIR sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan islam dengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar “al-Masyur Billah”. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi setelah Al-Muzaffar wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu. Dalam beberapa tahun saja, Negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1009 M Khalifah mengundurkan diri. Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali Negara kecil yahg berpusat di kota-kota tertentu.[13]
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh Negara kecil dibawah pemerintahan raja-raja golongan atau “Muluk at-Thawaif”, yang berpusat di suatu kota seperti Sevilla, Cordova, Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Sevilla. Pada periode ini umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada diantara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.[14]
2.    Periode Murabbithun dan al-Muwahhidun
Pada periode ini, meskipun Spanyol masih terpecah dalam beberapa Negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaann Dinasti Murabitun dan Muhawidun. Dinasti Murabitun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan ol;eh Yusuf Ibnu Tasyfin di Afrika Utara pada tahun 1062 M. ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy, ia masuk ke Spanyol atas undangan penguasa Islam disana yang telah memikul beban berat perjuangan mempertahankan negerinya dari serangan orang-orang Kristen.[15]
Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Karena perpecahan di kalangan raja muslim, Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia berhasil untuk itu. Akan tetapi penguasa sesudah Ibnu Tasyfin adalah raja yang lemah. Pada tahun 1943 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun Spanyol dan digantikan oleh Dinasti Muwahidun. Pada masa dinasti Murabitun, Saragosa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M. di Spanyol sendiri sepeninggal dinasti ini, pada mulanya muncul kembali dinasti-dinasti kecil, tapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146 M penguasa dinasti Muwahidun didirikan oleh Muhammad Ibnu Tumart.
Dinasti ini datang ke Spanyol dibawah pimpinan Abdul Mun’im. Antara tahun 1114 M dan 1154 M, kota-kota muslim penting : Cordova, Almeria dan Granada jatuh dibawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa decade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipikul mundur. Akan tetapi, tidak lama setelah itu, Muwahhidun mengalami keambrukan. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalakan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. keadaan Spanyol kembali runyam, berada dibawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Sevilla jatuh tahun 1248 M. seluruh Spanyol kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam.[16]
3.    Periode Bani Ahmar
Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, dibawah dinasti Bani Ahmar (1232 – 1492 M). peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman An-Nasir. Akan tetapi secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam memperbaiki kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantunya menjadi raja.
Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaan. Dalm pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad Ibnu Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdinand dan Isabella untuk menjatuhkannya. Dan penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu Abdullah naik tahta. Tentu saja, Ferdinand dan Isabella yang mempersatukan dua kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup merasa puas. Keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat islam di Spanyol. Abu Abdullah tidak kuasa menahan serangan-serangan orang Kristen tersebut. Dan peda akhirnya mengaku kalah. Ia menyerahkan kekuasaan kepada Ferdinand dan Isabella, kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian beakhirlah kekuasan Islam di Spanyol tahun 1492 M. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalakan Spanyol. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat islam di daerah ini.[17]

D.Analisis
Melihat dari identifikasi masalah yang ada pada pembahasan ini, yaitu peradaban islam di Spanyol pada masa Muluk at Thawaif, al-Murabbithu, Muwahiddhun, dan Ahmar adalah masalah-masalal internal pada masing-masing pemerintahan. Yaitu terjadinya pertikaian-pertiakan intern pada masa Muluk at-Thawaif, kemudian perpecahan Raja-raja Muslim pada masa al-Murabbithu, Muwahiddhun, serta pada masa Ahmar yang mendapat perlawanan dari pasukan kristen yang dipimpin Ferdinand dan Isabella yang berhasil menaklukkan umat islam yang menandai berahirnya kekuasaan islam di tanah Spanyol atau Andalusia.
Meskipun demikian, dengan kehidupan politik yang tidak stabil, namu, kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.[18]
Jika dikaitkan dengan kerangka teoritis yang dipaprkan di atas mengenai teori konfik adalah sebagai berikut:
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.[19]
Jika dilihat dari permaslah di atas bahwasanya Spanyol Islam, kemajuannya ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan beribawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umai islam, seperti Abd ar-Rahman al-Dakhil, Abd al-Rahman al-Wasith dan Abd al-Rahman al-Nasir.
Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijakan penguasa-penguasa lainnya yang mempelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting di antaranya penguasa dinasti umayyah di Spanyol dalam hal ini adalah Muhammad Ibn Abd Rahman dan al-Hakam II al-Muntashir .
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, seingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Untuk orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai  komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya masing-masing.
Meskipun ada persaingan yang sengit antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, hubungan dari Timur dan Barat tidak selalu berupa perang. Sejak abad 11 M dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukan bahwa, meskipun umat islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat yang disebut kesatuan budaya dunia Islam.
Perpecahan politik pada masa muluk at-Thawaif dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu bahkan, merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Spanyol Islam. Setiap dinasti (Raja) di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalo sebelumnya Cordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Spanyol, Muluk al-Thawaif dan dinasti seterusnya berhasil mendirikan pusat-pusat perdaban baru yang di antaranya justru lebih maju.
Al-Hasil kemajuan Peradaban Islam di Spanyol dalam masa lebih dari tujuh Abad, umat islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih komplek. Di antarannya adalah sebagai berikut:
1.    Kemajuan Intelektual
Spanyol adalah negara yang subur. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan) al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalusia yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.
a.       Filsafat
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd al-Rahman (832-886 M).
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Tokoh utama yang kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asa, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M.  Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Rusyd dari Cordova.[20]
Pada abad ke 12 diterjemahkan buku Al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicenne) mengenai kedokteran. Diahir abad ke-13 diterjemahkan pula buku Al-Hawi karya Razi yang lebih luas dan lebih tebal dari Al-Qanun.[21]
b.      Sains
Abbas ibn Fama termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ia orang yang pertama kali menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umi al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan al-Hafidzh adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.

Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Bathuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudra Pasai dan Cina. Ibn Khaldun (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dart Tum adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol yang kemudian pindah ke Afrika. [22]
c.       Fiqh
Fiqh Dalam bidang fikih, Spanyol dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini disana adalah Ziyad ibn Abd al-Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pad masa Hisyam ibn Abd al-Rahman. Ahli-ahli fikih lainnya yaitu Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.
Sedillot berkata, “Mazhab Maliki itulah yang secara khusus memikat pandangan kita karena hubungan kita dengan bangsa Arab Afrika. Pada waktu itu pemerintah Prancis menugaskan Dr. Peron untuk menerjemahkan buku Fiqh Al Mukhtashar karya Al Khalik bin Ishaq bin Ya’qub (w. 1422 M).
d.      Musik dan kesenian
jh Dalam bidang musik dan seni suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan ibn Nafi yang dijuluki Zaryab. Setiap kali diadakan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai pengubah lagu. Ilmu yang dimilikinya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.
e.       Bahasa dan sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Diantara para ahli yang mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa yaitu Ibn Sayyidih, Ibn malik pengarang Alfiyah, Ibn Huruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Gharnathi.[23]
2.    Kemegahan pembangunan Fisik
Orang-orang memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air waduk dibuat untuk konservasi. Pengaturan hydrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air asal Persia yang dinamakan na’urah (Spanyol Noria). Namun pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, masjid, pemukiman, taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota al-Zahra, Istana Ja’fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana al-Makmun, mesjid Seville dan istana al-Hamra di Granada. [24]

Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi. 1996.
As-Siba’i, Mustafa. Peradaban Islam Dulu, Kini dan Esok. Jakarta: Gema Insani Press. 1993.
Hasan, Ibrahim Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang. 1998.
Jones, Pip. Pengantar Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2009. 
K.Hitti, Philip. History of the Arabic. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi. 2006.
Mun’im, Abdul Majid. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Setia 1997.
Musyrifah, Sunanto. Sejarah Islam Klasik. Jakarta Timur: Penada Media. 2003.
Raho, Bernard .Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2007.
Ritzer, George & J Goodman, Douglas. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2005.
Shaban, M.A. Sejarah Islam (Penafsiran Baru). (Jakarta: Remajantara Rosda Karya. 1993.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2016.
Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. Surabaya: Pustaka Islamika Press. 2003.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. III. Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada. 1994.
Zeitlin, M. Irving. Memahami Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.



[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Cet. III; Jakarata : PT. Raja Grafindo Persada, 1994 ), hlm. 43.
[2] M.A. Shaban, Sejarah Islam (Penafsiran Baru) ,  (Jakarta: Remajantara Rosda Karya, 1993), hlm . 75.
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang,, 1998), hlm. 67.
[4] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, ( Surabaya: Pustaka Islamika
Press, 2003), hlm. 619
[5]ibid.
[6] Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), hlm. 54
[8]M. Irving Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi: Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), hlm. 56.
[9]Pip Jones, Pengantar Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm. 25. 
[10]George Ritzer & Douglas J Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 56.
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Cet. III; Jakarata : PT. Raja Grafindo Persada, 1994 ), hlm. 43.
[12] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang,, 1998), hlm. 67.
[13] Philip K.Hitti, History of the Arabic, (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2006), hlm. 222-230.
[14] Ibid, 230.
[15] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), hlm. 26-27.
[16] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,  1996), hlm. 26-29
[17] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), hlm. 87-88.
[18] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, ( Surabaya: Pustaka Islamika
Press, 2003), hlm. 619
[19] Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), hlm. 54
[20] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:  PT Gravindo Persada, 2003), hlm 101.
[21] Mustafa As-Siba’i, Peradaban Islam Dulu, Kini dan Esok ,(Jakarta: Gema Insani Press, 1993), hlm 49.
[22]Abdul  Majid Mun’im, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), hlm. 72.
[23] Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik,( Jakarta Timur: Penada Media, 2003), hlm. 68-69.
[24] Ibid, 70.

Komentar

SEJARAH KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM SEJAK AL-SHAFI’IY HINGGA AL-SHATIBY

A.     Pendahuluan Teori hukum fikih atau yang dikenal dengan ’Ilm Ushul al-Fiqh merupakan suatu cabang disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah atau metode yang dipergunakan oleh para praktisi hukum (Fuqaha’) di dalam memutuskan segala bentuk perkara hukum berdasarkan syariat Islam. Dalam ushul fikih juga akan mengulas latar-belakang lahirnya sebuah teori hingga dimasukkan ke dalam satuan-satuan normatif yang ada. Sejarah teorisasi pemikiran fikih ini perlu kita telusuri dan butuh kita ketahui sebagai wawasan, sebab watak dasar pemikiran fikih dari para praktisi hukum semuanya berpijak pada prinsip-prinsip dasar ini.   Secara etimologi, “Ushul al-Fiqh” terdiri dari dua suku kata, yaitu : kata “al-Ushul” bentuk jamak dari “al-Ashl” (artinya; pokok atau asal), dan kata “al-Fiqh ” (pemahaman atau ilmu pengatahuan tentang hukum-hukum fikih). Sedangkan dalam terminologi syariat para ulama dari madzhab Syafi’iyah menetapkan definisi : ( معرفة دلائل الفق...