SEJARAH KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM SEJAK AL-SHAFI’IY HINGGA AL-SHATIBY


A.    Pendahuluan
Teori hukum fikih atau yang dikenal dengan ’Ilm Ushul al-Fiqh merupakan suatu cabang disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah atau metode yang dipergunakan oleh para praktisi hukum (Fuqaha’) di dalam memutuskan segala bentuk perkara hukum berdasarkan syariat Islam. Dalam ushul fikih juga akan mengulas latar-belakang lahirnya sebuah teori hingga dimasukkan ke dalam satuan-satuan normatif yang ada. Sejarah teorisasi pemikiran fikih ini perlu kita telusuri dan butuh kita ketahui sebagai wawasan, sebab watak dasar pemikiran fikih dari para praktisi hukum semuanya berpijak pada prinsip-prinsip dasar ini. 
Secara etimologi, “Ushul al-Fiqh” terdiri dari dua suku kata, yaitu : kata “al-Ushul” bentuk jamak dari “al-Ashl” (artinya; pokok atau asal), dan kata “al-Fiqh” (pemahaman atau ilmu pengatahuan tentang hukum-hukum fikih). Sedangkan dalam terminologi syariat para ulama dari madzhab Syafi’iyah menetapkan definisi : ( معرفة دلائل الفقه اجمالا , وكيفية الاستفادة منها , وحال المستفيد ). Yaitu disiplin ilmu pengetahuan tentang dalil-dalil fikih secara global, tata-cara untuk memahami dalil-dalil tersebut, dan bahasan kreteria pihak-pihak yang berhak untuk melangsungkan penggalian hukum.
Sementara menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah tentang definisi ilmu ini menyebutkan dengan kalimat :  ( القواعد التى يوصل البحث فيها الى استنباط الاحكام من ادلتها التفصيلية , او علم بهذه القواعد ) . Yaitu kaidah-kaidah pembahasan yang dapat mengantarkan seseorang menuju praktek istinbath hukum dengan berlandas pada dalil-dalil secara rinci, atau ilmu tentang kaidah-kaidah istinbath.[1]
            Dari dua definisi di atas sekalipun berbeda dalam bentuk kalimatnya, tetapi dari keduanya menginginkan makna yang sama terutama pada cakupan tema yang terbahas di dalamnya. Disiplin ilmu ini berisi tiga bahasan utama, yaitu; (i) dalil-dalil hukum, (ii) tata-cara memahami dalil-dalil hukum, dan (iii) pihak-pihak yang berhak melangsungkan penggalian hukum.    
Praktek Istinbath Hukum Fikih sebelum Masa Perumusan
Praktek penggalian hukum fikih (Istinbath al-Ahkam al-Fiqhiyyah) telah dimulai semenjak zaman Rasulullah. Rasulullah sebagai penyampai risalah langit akan memberikan jawaban-jawaban hukum sesuai dengan wahyu yang telah diturunkan oleh Allah kepada-Nya, dan apabila belum/tidak diturunkan maka Rasul akan berijtihad dengan akal pribadinya yang tersucikan dari kesalahan dan dosa. Setelah Rasul melakukan ijtihad, ada kalanya seketika itu diturunkan wahyu untuk lebih membenarkan hasil ijtihad tersebut, dan ada kalanya tidak diturunkan sehingga hasil ijtihad Rasul ditetapkan sebagai putusan hukum yang final. Sebab dari pribadi Rasul tidak akan keluar sesuatu kecuali berupa wahyu.
Banyak riwayat yang menjadi bukti atas kelangsungan ijtihad Rasul, baik berupa terapan Qiyas (analogi), Istishhab (mengembalikan hukum kepada asal masalah), ataupun Istishlah (pencapaian maslahat). Kiita akan banyak menjumpai  riwayat-riwayat ini di dalam al-Ihkam; al-Amidi, Irsyad al-Fuhul; al-Syaukani, dan beberapa kitab ushul lainnya.[2] Sebagai contoh Rasul pernah ditanya oleh budak perempuan Khasy’amiyah mengenai tanggungan wajib haji untuk seorang Ayah yang meninggal dunia dan ia belum sempat menunaikannya di masa hidupnya. Rasul mengkiasan dengan hukum kewajiban membayar hutang kepada sesama, maka hutang kepada Allah lebih wajib hukumnya untuk diselesaikan. Dan, diriwayatkan juga Rasul sering bersabda dengan menyebutkan ‘Illah (sebab-musabab) ditetapkannya sebuah hukum, seperti larangan Rasul untuk menimbun daging kurban jika masih ada orang yang membutuhkan, larangan berziarah kubur yang kemudian diperbolehkan jika tidak menimbulkan kemusyrikan dan mengingatkan kita pada kematian, serta riwayat-riwayat lainnya.[3]   
Di masa kehidupan Rasulullah ini praktek ijtihad juga dilakukan oleh para Sahabat, baik ketika bersama Rasul maupun saat mereka berlainan tempat. Seperti ijtihad Abu Bakar dalam memberikan hak rampasan perang (ghanimah) kepada Abu Qatadah yang berhasil menebas leher seorang lelaki musyrik, dan Rasul pun membenarkan fatwa tersebut. Demikian halnya hadits masyhur tentang diutusnya Mu’ad ibn Jabal ke Yaman, kisah ini menunjukkan bahwa Sahabat benar-benar melakukan ijtihad semasa hidup Rasul. Dari sini dapat kita pahami bahwa dalil-dalil hukum di masa Nabi Saw. terdiri dari al-Quran, Sunnah dan juga ijtihad.
Sepeninggal Rasul, sebelum para Sahabat terpencar ke berbagai wilayah, sejarawan mencatat dalil-dalil yang dijadikan pijakan dalam beristinbath bersandar pada al-Quran, Sunnah, dan ijtihad personal. Dan, mulai muncul terma Ijma’ (konsensus ulama) yang merupakan kesepakatan hasil ijtihad dari selurh Sahabat yang hidup kala itu. Hasil konsensus ini diangkat sebagai dalil hukum yang menempati urutan ketiga di atas ijtihad personal, dengan dalih bahwa ‘Illah (indikator) hukum yang semula samar telah terungkap jelas melalui upaya ijtihad dari golongan Sahabat Nabi secara menyeluruh.
Selanjutnya di akhir masa Sahabat, tepatnya mulai tahun 41 Hijriyah, ketika Islam melakukan propaganda ke berbagai wilayah menjadikan kelompok Sahabat tidak lagi menetap di Makkah dan Madinah saja. Mereka tersebar ke beberapa daerah, seperti di Kuffah, Bashrah, Yaman, Mesir dan lain-lain. Dengan kondisi semacam ini memulai babak baru dalam dinamika pemikiran fikih, terutama dengan lahirnya dua madrsah yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan “Ahli Ra’yi” yang berkembang pesat di wilayah Iraq (Bashrah-Kuffah) dan “Ahli Hadits” di wilayah Hijaz (Makkah-Madinah).
Karakteristik pemikiran fikih dari madrasah Ahli Ra’yi cenderung menggunakan nalar rasio dengan porsi yang lebih daripada merujuk pada hadits-hadits ahkam (atau Sunnah; dalam itradisi fuqaha’) di dalam melangsungkan praktek istinbath hukumnya. Hal ini ditengarai oleh minimnya jumlah Sahabat yang menetap di wilayah Bashrah dan Kuffah sehingga kapasitas hadits yang ada sangatlah minim. Para Sahabat dan murid-muridnya yang berada di wilayah ini mengembangkan pola ijtihad akal dari bentuk semula yang sedrhana menjadi semakin komplek dengan tidak keluar dari pola dasar yang diterapkan pada periode kenabian. Polarisasi ijtihad ini mencuat ke permukaan dengan ragamnya ─seperti; Istihsan (pencapaian kebaikan tanpa rujukan nash), ‘Urf (adat-istiadat), pengembangan metode Qiyas (analogi) dan sebagainya─ muncul dari tokoh muda madrasah ini, bernama; Abu Hanifah al-Nu’man (80-150 H.).
Sedangkan karakteristik pemikiran yang dikembangkan Ahli Hadits banyak merujuk kepada riwayat-riwayat hadits daripada pengembangan pola ijtihad akal. Hal ini dilator-belakangi oleh banyaknya para perowi hadits yang beredar di wilayah tersebut, sebagaimana mayoritas golongan Sahabat berdomisili di negeri Hijaz itu. Namun kondisi semisal bukan berarti pengembangan pola ijtihad akal sama sekali diabaikan oleh mereka. Pergeseran zaman dengan bertambahnya problema yang dihadapi menjadikan ayat-ayat ahkam yang dalam jumlahnya hanya 5,8% dari 6.360 ayat, dan dengan ditambah jumlah riwayat hadits ahkam yang ada, masih belum mencukupi untuk merespon segala problematika sosial yang terus berkembang.[4] Sehingga menuntut mujtahid-mujtahid Hijaz untuk ikut serta mengembangkan polarisasi ijtihad akal sebagaimana para mujtahid Iraq. Diantara yang menjadi bukti ialah munculnya terma Mashalih Mursalah (pencapaian kemaslahatan tanpa rujukan nash),‘Urf (adat-istiadat), dan Sad al-Dzara’i (tindak preventif) yang digulirkan oleh seorang imam besar kota Madinah, Malik ibn Anas al-Ashbuhi (93-179 H.).
Dari praktek-praktek istinbath yang telah diterapkan semenjak masa kenabian dan kemudian berkembang dengan polarisasi yang ada, belum pernah terkonsepkan secara sistematis dan terkodifikasi dalam satuan-satuan yang utuh. Dalam kinerja istinbath mereka hanya berpedoman pada tuntunan-tuntunan seorang guru yang disampaikan secara lisan. Maka, dari terapan-terapan istinbath tersebut akan menjadi embrio ditelorkannya teori hukum fikih di masa berikutnya yang dapat kita simak dalam uraian di bawah ini.
Al-Syafi’i; Sang Teorisi Fikih Pertama
Teorisasi pertama fikih Islam hadir dari seorang mujtahid dengan pola pikir ideologi wasathiyyah,  yakni di tangan Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H.). Ia  mencoba menuangkan terma istinbath fikih ke dalam satuan-satuan teori yang utuh. Yaitu dalam kitab al-Risalah yang dalam penulisannya kitab ini terselesaikan oleh bantuan seorang murid terdekatnya Abdurrahman ibn Mahdi. Upaya teorisasi ini juga tersirat di dalam kitabnya yang berjudul Jima’ al-‘ilm, Mukhtalif al-Hadits, serta Ibthal al-Istihsan pada jilid ke-7 dari kitab al-Umm. Dengan tujuan untuk menciptakan sebuah standaritas baku dalam kinerja istinbath hukum fikih yang menurut al-Syafi’i sudah banyak terselewengkan.
Gaya pemikiran baru yang berpijak pada ideologi oplosan ─gabungan antara ideologi pemikiran Ahli Ra’yi dan Ahli Hadits─ ini mencoba untuk menggugat tradisi pemikiran fikih lama yang banyak terselewengkan untuk direkonstruksi dengan formulasi barunya itu. Sedangkan metode pendekatan yang dipergunakan ialah dengan menggunakan silogisme-silogisme filsafat. Dr. Musthafa Abdurraziq menyebutkan dari gaya nalar fikih al-Syafi’i mencerminkan pola pemikiran rasional ilmiah yang sama sekali tidak melibatkan produk-produk hukum dalam bentuknya yang partikular, analisanya tertuju pada kesimpulan umum hingga kemudian disajikan ke dalam satuan-satuan teori. [5] Maka inilah yang dinamakan dengan metode analisa filosofis. Sebagaimana Ahmad ibn Hambal mengidentikkan al-Syafi’i sebagai seorang filsof pada empat bidang, yaitu pada terma gramatikal Arab, dinamika sosial, semantika bahasa, dan fikih.[6]          
Kerangka teori fikih yang dihadirkan al-Syafi’i latar-belakang pendekatan tersebut di atas termaktub dalam karya-karyanya, dan yang paling dapat mewakili ialah di dalam kitab al-Risalah. Bagaimana bentuk riil dari silogisme filsafat yang tertsirat pada teori-teori hukum al-Syafi’i? Adakah pengaruh dari pemikiran filsafat klasik non-Islam? Dan apa plus-minus dari terma semacam ini dalam implementasi istinbath hukumnya? Akan kami urai-jelaskan dalam buku ini pada topik bahasan tersendiri.     
Gerakan Teoritisasi Hukum Fikih pasca al-Syafi’i
Gerakan teorisasi pemikiran fikih selepas masa al-Syafi’i tidak banyak mengalami perkembangan. Upaya yang dilakukan para ulama hanya berupa penguraian-ulang yang semakna (syarah), memberikan koreksi dan anorasi (hasyiyyah), serta kritik atau bantahan terhadap isi kitab (ta’liq wa naqd). Upaya penulisan syarah kitab baru muncul hampir seabad sepeninggal al-Syafi’i, yaitu oleh sepuluh orang; Muhammad ibn Abdullah al-Shairafi (230 H.), Hisan ibn Muhammad al-Naisaburi (349 H.), Muhammad ibn Ali ibn Ismail al-Qafal al-Kabir al-Syasyi (365 H.), dan al-Hafidz Abu Bakar al-Juzafi al-Syaibani (388 H.). kemudian oleh lima orang yang lain; Abu Zaid al-Jazuli, Yusuf ibn Umar, Jamaluddin Afqahasi, Ibnu Fakahani, Abu Qasim Isa ibn Naji, tetapi kelima nama ini belum dapat terdeteksi biografinya secara ilmiah.
Selain dari itu, para ulama yang lain merasa terdorong untuk menuangkan pikiran-pikiran ushuliyyah-nya ke dalam sistematika ilmiah, baik dalam bentuk satuan yang utuh maupun hanya memuat topik-topik khusus. Upaya penulisan kitab ushul secara ideologis kemadzhaban lebih didominasi oleh madzhab Syafi’iyah yang mencapai 11 orang, dan ditambah 5 orang Mu’tazilah yang dalam pemikiran fikih banyak mengikuti tradisi Syafi’iyah; kecuali Muhammad ibn Abdullah al-Barda’i yang potensi intelektualnya sudah mencapai kapabilitas mujtahid mutlak. Hal ini patut dimaklumi sebab peletak konseptualisasi pertama adalah imam al-Syafi’i. Disusul madzhab Malikiyah sebanyak 9 orang, Hanafiyah 5 orang, Dhahiriyah 2 orang, serta dari madzhab Thabariyah dan Hanabilah masing-masing 1 orang.[7]
Sedangkan secara esensial dari tokoh-tokoh tersebut berupaya untuk memperkuat gagasan pemikiran masing-masing madzhab dengan melakukan kritik bahkan kecaman terhadap madzhab yang berseberangan dengan mereka. Dan juga sebagai wujud dari usaha pemurnian kembali syariat Islam dari segala penyimpangan ajaran, baik yang datang dari luar maupun atau dari internal Islam sendiri. Maka perhatian para ulama lebih terarah untuk menengarai pemikiran-pemikiran yang meragunakn ke-hujjah-an al-Quran, kelompok ingkar Sunnah, para penggugat otoritas Ijma’ Shahabiy, serta bagian-bagian lain yang menjadi sakralitas ajaran agama.
Dengan situasi semacam itu, disiplin ushul fikih tidak banyak mengalami pergeseran dari kerangka teorisasi sebelumnya. Sebagaiman5a yang termaktub pada lembar-lembar awal kitab Bahr al-Muhith, Badruddin al-Zarkasyi (794 H.) menjelaskan ushul fikih sebagai disiplin ilmu pemikiran fikih selepas masa al-Syafi’i hanya berupa pen-syarah-an dan geliat intelektual ulama hanya berputar pada ruang dialektis antar-ideologi kemadzhaban. Hingga datangnya dua orang tokoh ahli kalam (teolog) yang cukup berpengaruh di dunia Islam, yaitu; seorang hakim Asy’ariyah al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani (403 H.) dan seorang hakim Mu’tazilah al-Qadli Abdul Jabbar al-Hamdani (415 H.).
1.      Periode Re-Konseptualisasi
Dari al-Baqilani dengan penulisan kitab al-Taqrib wa al-Irsyad, al-Tamhid, dan al-Muqna’, dan dari al-Hamdani dengan kitab al’Amd, al-‘Ahd, dan al-Mughniy (bagian al-Syar’iyyat) telah memulai babak baru dalam dialektika pemikiran fikih. Mereka berdua mengacungkan tangan dengan menawarkan formulasi baru di dalam lika-liku nalaritas fikih yang mereka sadur dengan logika-logika teologi dan filsafat. Karakteristik dalam mengformat satuan-saturan teori fikih ini sama sekali tidak melibatkan produk-produk fikih dari madzhab tertentu, seperti yang dikembangkan al-Syafi’i, dan bahkan lebih parah lagi. Mereka lebih mengedepankan olah rasio dan mengembangkan lebih jauh terhadap teori fikih dari satuan-satuan normatif yang sudah ada. Hal ini dilatar-belakangi oleh corak ideologi dan watak intelektual yang melekat di benak mereka, tak lain adalah seorang pakar filsafat-teologi, al-Baqilani terbentuk dari bidikan Abu Hasan al-Asy’ari (340 H.), sedangkan al-Hamdani dari teolog-teolog Mu’tazilah yang hidup di masa sebelumnya. Metode pendekatan filosofis semacam ini kemudian dikenal dengan istilah “Thariqah Mutakallimin” atau “Thariqah Syafi’iyyah” (Metode Deduktif). [8]
Gaya konseptualisasi pemikiran fikih dengan metode deduktif ini selanjutnya diikuti oleh murid-murid kedua tokoh tersebut. Dari al-Baqilani melahirkan Imam Haramain al-Juwaini (478 H.) dengan kitab ushulnya al-Burhan, yang dilanjutkan oleh generasi berikutnya yaitu di tangan Abu Hamid al-Ghazali (505 H.) dengan kitab al-Mustashfa. Sedangkan dari jalur al-Hamdani melahirkan seorang murid  Abul Husain al-Bashri (436 H.) dengan karyanya al-Mu’tamad. Dari kedua tokoh ini ─yaitu; al-Ghazali dan al-Bashri─ tidak serta-merta mengadopsi buah pikiran sang guru, mereka berdua berupaya melakukan koreksi terhadap satuan-satuan teori yang tercampur basic filsafat-teologi tersebut yang sama sekali tidak dibutuhkan di dalam praktek istinbath fikih. Namun faktanya, upaya koreksi itu masih terkesan lambat sebab ideologi intelektual yang membingkai otak mereka pun tiada lain adalah warisan para teolog di masa sebelumnya.
Pergeseran nalar fikih terbaca jelas dari hasil-hasil konseptualisasi yang mereka lakukan. Para teorisi kelompok teologi ini menambahkan teori-teori baru dalam satuan-satuan normatif ushuliyyah, baik dari Imam Haramain, al-Bashri dan al-Ghzali. Diantara bentuknya adalah menambahkan “teori definitif” (Mabhats al-Had), “teori semantik” (Dilalah al-Nushush) dengan ragam-pecahannya ─seperti; Dilalah al-Muthabaqah, Dilalah al-Tadlamun, Dilalah al-Iltizam, dan juga termasuk Mafhum Muwafaqah dan Mafhum Mukhalafah─ , dan terlihat dari pengembangan “teori analogi” (Qiyas) ─seperti pada penetapan ‘Illah hukum; al-Sibr wa al-Taqsim, al-Dauran, al-Thard, Tanqih al-Manath, dst.─ , serta serpihan-serpihan kecil yang tersirat dalam katagori “teori al-Istidlal” (penetapan hukum dengan bertendensi pada kaidah-kaidah kulliyyah). Ragam teori tersebut merupakan formulasi baru yang secara normatif belum terjamah oleh para teorisi fikih di abad kedua, kecuali hanya berupa indikasi-indikasi samar yang terbaca dari produk-produk hukum fikih mereka. Bagaimanakah kejelasan selanjutnya tentang teori-teori tersebut? Adakah keterlibatan filsafat Yunani khususnya logika-logika Aristoteles dalam perumusannya? Dan, bagaimana respons para ulama mengenai hal itu? Akan kita kaji bersama dalam buku ini pada topik bahasannya.      
Di lain pihak telah bergulir gerakan konseptualisasi fikih dengan gaya pendekatan terbalik. Yaitu konseptualisasi yang diusung oleh para ulama dari madzhab Hanafiyah, seperti; Isa ibn Aban (221 H.), Ishaq al-Syasyi (325 H.), Abu Manshur al-Maturidi (333 H.), Ubaidillah al-Kurkhi (340 H.), Abu Bakar al-Jashosh (370 H.), dan Abu Zaid al-Dabbusi (430 H.). Dalam merumuskan teori fikih pengamatan awal mereka tertuju pada produk-produk hukum jadi yang telah ditelorkan oleh para mujtahid madzhab mereka, yang kemudian ditelorkan ke dalam satuan-satuan teori. Dan, metode teorisasi ini selanjutnya dikenal dengan “Thariqah Fuqaha’” atau “Thariqah Hanafiyyah” (yakni; Metode Induktif).[9] Model  serupa ini juga dilakukan oleh beberapa ulama dari madzhab Hanabilah sebagaimana yang pertama digulirkan oleh Abu Abdullah al-Waraq (403 H.), al-Qadli Abu Ya’la (458 H.), Abul Khuthab al-Kalwadzani (510 H.), Ibnu ‘Uqail (513 H.), dan seterusnya.
Dari para teorisi yang menerapkan metode pendekatan induktif ini secara esensial tidak banyak mengalami pergeseran pemikiran. Hal ini digeneralisir karena motivasi utama mereka adalah sebagai upaya konsolidasi atas pengesahan praktek istinbath hukum menurut tuntunan imam madzhabnya yang semula belum terkonseptualisasikan. Namun demikian ini tidak menutup munculnya inovasi-inovasi baru ─berupa penambahan dan pengembangan teori-teori fikih dalam formulasi ushul madzhab─ yang dilakukan para teorisi muda ini. Dr. Abdussalam Balaji dalam telaah metodologinya menemukan diantara penambahan terma-terma baru yang sebelumnya belum pernah digulirkan oleh imam madzhab mereka, yaitu; teorisasi tentang makna-makna huruf, syariat sebelum nabi Muhammad Saw. (Syar’u Man Qablana), dan keberlakuan hukum taklif sebelum datangnya dakwah Islam.[10] Sepintas pengamatan, dapat diindikasikan ketiga terma tersebut terkait erat dengan dialektika ilmu kalam (teologi), dan keterlibatan Abu Manshur al-Maturidi (333 H.) ─pendiri madzhab teologi Maturidiyah yang juga pernah menulis kitab ushul fikih dengan judul Man Akhadza al-Syara’i’ fi al-Ushul dan Ta’wilat al-Qur’an fi al-Tafisr  dalam dinamika pemikiran fikih madrasah ini tidak dapat kita nafikan begitu saja. Dan, untuk melihat lebih dekat bagaimana karakteristik konseptualisasi nalar fikih yang dilakukan oleh para pemungut metode pendekatan induktif ini akan kita baca pada buku ini, dengan lebih spesifik kepada Abu Zaid al-Dabbusi dalam penulisan kitab Ta’sis al-Nadhar.                
2.      Periode Syarah, Talkhish, dan Hasyiyyah
Periode ini  dimulai selepas masa al-Ghazali dan al-Bashri sebagaimana terurai sebelumnya. Para ulama selain menerapkan metode yang sama dalam mengkonseptualisasi pemikiran fikih, pada periode ini kebanyakan hanya mengumpulkan qaul-qaul dari para pendahulu untuk disajikan ke dalam sebuah kitab. Seperti usaha yang dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi (606 H.) dengan kitab al-Mahshul merupakan kumpulan teori-teori ushul dari kitab al-Mustashfa; al-Ghazali dan kitab al-Mu’tamad; al-Bashri. Demikian halnya Saifuddin al-Amidi (631 H.) dengan kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Shafiyuddin al-Armuwi (644 H.); al-Tahshil, Tajuddin al-Armuwi (656 H.); al-Hashil, Syihabuddin al-Qarafi (684 H.); Nafa’is al-Ushul fi Syarhi al-Mahshul, Badruddin al-Zarkasyi (794 H.); Bahr al-Muhith, serta yang lainnya.
Dari ringkasan-ringkasan tersebut tidak jarang yang masih diringkas dalam bentuk yang cukup sederhana. Dari ringkasan kedua ini selanjutnya disyarah lagi, dan dari syarah masih disyarah lagi dan seterusnya. Seperti kitab al-Hashil karya Tajuddin al-Armuwi (656 H.) yang merupakan ringkasan dari al-Mahshul; Fakhruddin al-Razi diringkas lagi oleh al-Baidlowi (685 H.) dalam Minhaj al-Wushul, selanjutnya disyarah oleh al-Asnawi (773 H.) dalam Nihayah al-Suul, dari syarah al-Asnawi tersebut kemudian diberi anorasi oleh al-Badakhsyi dalam Manahij al-‘Uqul. Demikian tradisi para ulama pada periode ini yang masih stagnan dalam pola pemikiran fikihnya. Dari kitab induk selanjutnya bercabang, lalu beranting, kemudian dari ranting bercabang lagi, beranting lagi, bercabang lagi, dan seterusnya.
Tradisi jalan di tempat ini bukan hanya terlihat pada madzhab Syafi’iyah saja, melainkan juga pada madzhab-madzhab yang lain. Kenyataan semacam ini bukan berarti potensi intelektual mereka yang terbatas sehingga kurang mampu merancang formulasi baru dalam ranah pemikiran fikih.[11] Melainkan ada alasan yang cukup mendasar mengapa mereka hanya memberikan ringkasan (mukhtashar), penjelasan (syarah), atau anorasi (hasyiyyah), yaitu; pertama, sebagai fasilitator bagi para pemula di dalam mempelajari kerangka dasar ilmu ijtihad dengan alur pemahaman yang benar, ringkas dan mudah dihafal, serta dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Kedua, sebagai upaya pemurnian kembali ilmu ushul fikih sebagaimana tujuan semula, yaitu sebagai sebuah disiplin ilmu yang berisikan rumusan-rumusan untuk menelorkan sebuah hukum syariat. Ketiga, demi menetralisir pencampur-adukan terma pemikiran filsafat non-Islam di dalam ushul fikih untuk menutup fitnah-fitnah agama yang berasal dari oknum-oknum yang sengaja menghancurkan Islam dari jalur intelektual.            
3.      Periode Rekonstruksi
Fase rekonstruksi yang dimaksud adalah upaya pembaharuan dalam mengkonseptualisasikan pemikiran fikih dari bagan teori sebelumnya yang dinilai kurang sempurnah. Jika kita mengamati dua madrasah di atas, maka dari madrasah Fuqaha’ ─dengan metode induktifnya─ lebih terkesan statis yang mencerminkan sikap fanatisme yang berlebih terhadap suatu ideologi madzhab tertentu, sehingga teori ushul yang semestinya berfungsi sebagai panduan beristinbath harus menyesuaian diri dengan produk-produk hukum yang sudah jadi. Akibatnya, tidak ada standaritas baku yang dapat dijadikan penilaian atas keabsahan sebuah hasil ijtihad. Sedangklan dari madrasah Mutakallimin ─dengan terapan metode deduktif─ lebih cenderung memenangkan nalar rasio sehingga pada beberapa masalah kurang dapat menunjukkan bukti-bukti yang rinci sebagai bentuk satuan-satuan teori pemikiran Islami yang murni.  
Oleh sebab itu, setelah meninjau plus-minus dari dua madrasah tersebut, para ulama berusaha menjembatani kesenjangan antara kedua belah-pihak dengan mengkombinasikan antara metode induktif (Fuqaha’) dan metode deduktif (Mutakallimin) sekaligus. Diantara ahli ushul yang menggunakan metode kombinasi dalam merumuskan teori ushulnya ialah; Ahmad ibn Ali al-Sa’ati (694 H.) dalam kitab Badi’ al-Nidham yang mengkombinasikan antara al-Ihkam; al-Amidi dengan kitab al-Ushul; al-Bazdawi,  Shadrus Syari’ah Abdullah ibn Mas’ud al-Bukhari (747 H.) dengan kitabnya al-Tanqih Syarh al-Taudlih yang mengkombinasikan antara kitab al-Ushul; al-Bazdawi, al-Mahshul; al-Razi, dan al-Mukhtashar; Ibnu Hajib. Metode kombinasi ini sebagaimana juga diterapkan oleh Tajuddin Ibnu Sibki (771 H.) dalam Jam’ul Jawami’, dan oleh seorang pembaharu fikih yang tak asing lagi di telinga kita, yaitu Abu Ishaq al-Syathibi (790 H.) di dalam penulisan kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah.  
Dalam al-Muwafaqat, imam al-Syathibi berupaya menghadirkan kerangka baru dalam terma istinbath hukum Islam yang lebih terarah pada pokok-pokok bahasan dan tujuan utama dari teorisasi istinbath itu sendiri. Hal ini terrefleksikan pada metode penulisan ilmiah pada setiap topik bahasan, memberikan pengantar metodologis terhadap ilmu pemikiran fikih pada mukadimah kitabnya hingga mencapai tiga belas pokok pikiran, dan mencantumkan terma maqashid sebagai pengganti dari terma “teori semantik” teks-teks wahyu. Penggantian terma tersebut sebagai bentuk dari hasil pencitraan atas pembacaan fikih secara menyeluruh, yang tak lain bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi segenap penduduk dunia. Oleh sebab itu, al-Syathibi berjuang sepenuhnya dalam melakukan penyatu-atapan antara hukum-hukum syariat dengan nilai-nilai kemanusiaan, yang bergandeng-tangan dengan keakraban, yang terkonsep dan tersaji secara sistematis, sehingga menjadi tumpuan praktek istinbath fuqaha’ agar fikih benar-benar dapat membumi.  
Demikian peta epistermologi pemikiran fikih yang kami sajikan secara ringkas, dari tangan al-Syafi’i abad ke-2 hingga al-Syathibi di abad ke-8 Hijriyah, sebagai pengantar dalam studi telaah turats ushul fikih yang dapat disimak lebih jauh lagi pada bahasan-bahasan selanjutnya. Adapun metode pendekatan dan sistematika penulisan yang kami hadirkan sebagaimana telah kita rancang di bawah ini. Dengan tujuan agar mudah dicerna oleh para pemula, dapat dipahami tepat sasaran, dan sebagai wahana dialogtopis bagi para muda yang memiliki kecenderungan dalam khazanah pemikiran fikih Islam.        

   
Metode Pembacaan Turats Ushul Fikih dan Manfaatnya dalam Terapan Ijtihad Kontemporer

Ushul fikih dengan tiga cakupan tema yang ada ─yaitu; dalil-dalil hukum, cara beristinbath, dan prasyarat bagi para mustanbith  merupakan sebuah disiplin ilmu produk pemikiran dari tradisi para ahli yang tidak terlepas dari dimensi ruang dan waktu. Hal ini tidak menutup terjadinya pergeseran pemikiran atas hasil kerangka teori anatara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Maka perlu adanya telaah kritis mengenai terma-terma yang mereka usung dengan menggunakan metode pendekatan yang obyektif, sistematis, dan bertanggung-jawab. Beberapa satuan metode yang kami pakai dalam membedah tradisi dari pemikir-pemikir klasik adalah dengan mengadopsi satuan-satuan metode sebagaimana berikut ini :
a.       Metode Strukturalis; maksudnya dalam mengkaji pemikiran seorang tokoh kita berangkat dari teks-teks sebagaimana adanya. Pada pendekatan ini mengahruskan kita untuk melokalisasi pemikiran si empunya teks pada suatu fokus persoalan tertentu (isykaliyyah).
b.      Analisis Sejarah; ini berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan pemikiran si empunya teks, yang telah dianalisis pada pendekatan pertama, dengan lingkup sejarahnya, dengan segenap ruang lingkup budaya, politik, dan sosiologinya. Metode ini penting karena pertama; keharusan memahami historitas dan geologi sebuah pemikiran yang sedang dikaji, dan kedua; keharusan menguji seberapa jauh validitas konklusi-konklusi pendekatan strukturalis di atas.
c.       Kritik Ideologi; maksudnya mengungkap funmgsi ideologis, termasuk fungsi sosial-politik, yang dikandung sebuah teks atau pemikiran tertentu, atau yang sengaja dibebankan kepada teks tersebut dalam satu sistem pemikiran (episterme) tertentuyang jadi rujukannya.
Setelah melakukan proses obyektifitas ini, barulah kita berujuk kepada kontinuitas, yaitu kesinambungan dengan obyek kajian. Proses ini mengharuskan kita pada untuk memisahkannya sebagai bagian dari kita dengan beberapa tujuan; pertama, untuk merekonstruksinya, untuk membangunnya kembali dalam bentuk yang baru dengan pola-pola hubungan yang baru pula. Kedua, untuk menjadikannya kontekstual dan “membumi” dengan keberadaan kita, terutama pada tingkat pemahaman rasional dan fungsi ideologis-epirtermologis yang diembannya.[12]
d.      Spesifikasi Ilmiah; maksudnya seorang pengkaji harus memperhatikan karakter pemikiran tokoh dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Sebab selain dengan kritik ideologi kita harus mampu membedakan terma-terma khusus yang menjadi identitas suatu disiplin ilmu tertentu ─seperti pada disiplin ilmu fikih dan ushul fikih─ dalam penggunaan istilah-istilah dan olah-pikir yang ada. Pendekatan ini diberlakukan dengan alasan sering kalinya para penelaah kontemporer lebih terarah pada kesimpulan umum hasil dari pencitraan tiga pendekatan sebelumnya yang kami nilai masih kurang mewakili.[13]         

Empat metode pendekatan di atas menjadi pijakan umum dalam analisa turats ushul fikih yang kami maksud, dan diimplementasikan secara acak menurut gaya telaah personal dan kepekaan intelektual masing-masing bahitsin. Sedangkan yang menjadi motivasinya adalah untuk memperkaya khazanah intelektual fikih dari para fuqaha’ di masa klasik dengan lika-liku olah pemikirannya yang cerdas, unik, dan tak jarang yang kontrofersial. Sehingga dalam melatih penerapan ijtihad di era keninian, dan untuk merespons ragam bentuk fatwa yang berkembang di masa ini agar kita dapat bersikap bijak dan tidak mudah terombang-ambing oleh isu-isu provokatif. Dan, dari sini diharapkan dapat menjadi bagian dari wujud pengamalan tradisi kemadzhaban yang bertanggung-jawab, dengan prinsip tawasuth (jalan tengah), tawazun (keseimbangan dan keselarasan), tasamuh (toleran), dan amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran). Wallahu Waliyu al-Taufiq.... Wa Akhiru Da’wana Wallahu A’lam bi al-Shawab....!!   




Daftar Buku Bacaan :

1.      Abu Zahrah, Syekh Muhammad, Ushul al-Fiq,  (Kairo, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 2004).
2.      ___________________________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, (Kairo, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1996).
3.      Ali Jum’ah, Prof. Dr.,al-Thariq ila al-Turats al-Islamiy, (Kairo, Nahdlah Mashr, 2004).
4.      Al-Dahlawi, Syah Waliyullah, Hujjatullah al-Balighah, (Kairo, Maktabah Dar al-Turats, TT.).
5.      Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 2006).
6.      Abdurraziq, Dr. Musthafa, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, (Kairo, al-Hay’ah al-Maishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2007).
7.      Al-Zuhaili, Dr. Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, (Damaskus, Dar al-Fikr, cet. III, 2005).
8.      Al-Jabiri, Dr. Muhammad Abid, al-Turats wa al-Hadatsah, (Beirut, Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, cet. III, 2006).
9.      Al-Nasyar, Prof. Dr. Ali Sami, Manahij al-Bahts ‘inda Mufakkiriy al-Islam, (Kairo, Dar al-Salam, cet. I, 2008).
10.  Al-Marzuqi, Dr. Abu Ya’rab & Al-Bouthi, Dr. M. Sa’id Ramadlan, Isykaliyyah Tajdid Ushul al-Fiqh, (Damaskus, Dar al-Fikr, cet. I, 2006).       
11.  Balaji, Dr. Abdussalam, Tathawwur ‘Ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, (Mansuria, Dar al-Wafa’, cet. I, 2007).
12.  Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah; Tahqiq Dr. Ali Abdul Wahid Wafi, (Kairo, al-Hay’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2006).
13.  Khalaf, Syekh Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo, Dar al-Hadits, 2003).
14.  Khudlari Bik, Syekh Muhammad, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, (Kairo, Mu’assasah al-Mukhtar, cet. I, 2007).


[1] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, jilid 1, Dar al-Fikr, cet. III, Damaskus, 2005, hal. 33
[2] Dan dalam karya-karya kontemporer diantaranya- Syekh Muhammad Khudlari; Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, Ahmad Amin; Fajr al-Islam, Dr. Musthafa Abdurraziq; Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, Syekh Muhammad Abu Zahrah; Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, serta yang lain.
[3] Dari contoh-contoh hukum di atas secara urut merupakan hasil ijtihad Qiyas, Istishlah, dan terakhir berupa Istishhab. Tetapi di sini perlu diperhatikan bahwa hukum-hukum yang ditetapkan oleh Sunnah Rasul tidak semuanya berupa hasil ijtihad, tapi ada yang berupa wahyu Sunnah yang murni.
[4] Menurut perhitungan angka yang diberikan oleh Abdul Wahab Khalaf dalam buku ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo, Dar al-Hadits, 2003, hal. 29), ayat-ayat ahkam berjumlah 368 ayat, dengan rincian : hukum ibadah = 140 ayat, hukum rumah-tangga = 70 ayat, hukum perdata = 70 ayat, hukum pidana = 30 ayat, acara pidana = 13 ayat, sistem negara = 10 ayat, aturan internasional = 25 ayat, dan sistem ekonomi = 10 ayat. Dari jumlah 368 ini, hanya 228 atau 31,5 % merupakan ayat yang mengurus soal hidup kemasyarakatan umat. Sedangkan hadits-hadits ahkam banyak tertuang diantaranya dalam kitab Shahih Bukhari, Nailul Authar; al-Saukani, Bulugh al-Maram dan syarahnya Subul al-Salam; al-Shan’ani, dll., yang jumlahnya pun terbatas jika dibandingkan problema sosial yang terus berkembang. Maka dengan fakta ini menuntut sebuah gerakan ijtihad baik tempo dulu maupun di masa sekarang ini.    
[5] Dr. Musthafa Abdurraziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, al-Hay’ah al-Mashriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, Kairo, 2007, hal.237
[6] Dr. Ali Sami al-Nasyar, Manahij al-Bahts ‘inda Mufakkiriy al-Islam, Dar al-Salam, cet. I, Kairo, 2008, hal. 61
[7] Adapun para ulama yang menuliskan kitab ushul pada periode ini beserta judul-judul kitabnya adalah sebagai berikut:
(a)      Dari madzhab Syafi’iyyah 11 orang; Yusuf al-Buwaithi (231 H.): المختصر الكبير , المختصر الصغير , كتاب الفرائض . Isma’il al-Mazni (264 H.); الجامع الصغير , الجامع الكبير , مختصر كتاب الأمّ , الترغيب فى العلم . Ahmad ibn Suraij (306 H.); التقريب بين المزنى والشافعى , الرد على محمد بن الحسن , الرد على عيسى بن أبان , جواب القاشانى . Abu Bakar al-Shairafi (330 H.); الإجماع , شرح الرسالة . Al-Qadli Muhammad ibn Sa’id   (343 H.); الهداية فى الأصول , الرد على المخلفين . Hasan ibn Abu Hurairah (345 H.); لمسائل فى الفقه , شرح مختصر المزنى الكبير , شرح مختصر المزنى الصغير . Husain Abu Ali al-Thabari (350 H.); كتاب الأصول , المحرر فى الخلاف , الإيضاح فى المذهب . Abu Hamid al-Mazurudi (362 H.); شرح مختصر المزنى , الجامع فى الفقه الشافعية , الإشراف على اصول الفقه . Abu Bakar al-Qafal (365 H.); شرح الرسالة , اصول الفقه , محاسن الشريعة . Abu Bakar al-Shaimari (386 H.); القياس والعلل , أدب المفتى والمستفتى . Abu Bakar al-Daqaq (392 H.); أصول الفقه على مذهب الشافعى , فوائد الفوائد .
(b)     Dari madzhab Malikiyah 9 orang; Isma’il al-Juhdlami (282 H.); أحكام القرأن , الرد على محمد بن الحسن , الرد على الشافعى , كتاب فى الأصول . Abul Hasan al-Asy’ari (340 H.); إثبات القياس , اختلاف الناس فى الاسماء والاحكام والخاص والعام . Al-Qadli Abul Faraj (331 H.); اللمع فى أصول الفقه . Bakar ibn Muhammad al-Qusyairi (344 H.); كتاب القياس , أصول الفقه , مآخذ الأصول , الرد على المزنى . Abu Bakar al-Abhari (375 H.); كتاب الأصول , إجماع أهل المدينة , الرد على المزنى , شرح المختصر لإبن عبد الحكم . Ibnu Khuwaiz Miqdad (390 H.); الجامع فى الأصول , كتاب الخلاف . Abul Hasan ibn al-Qishar (397 H.); عيون الأدلة فى مسائل الخلاف بين علماء الأمصار , المقدمة فى أصول الفقه . Sa’ad ibn Muhammad al-Qairuwani (400 H.); المقالاات فى الأصول . Al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani (403 H.); التقريب والارشاد , التمهيد فى أصول الفقه , المقنع فى اصول الفقه .
(c)      Dari madzhab Mu’tazilah 5 orang; Ibrahim al-Nidham (231 H.); كتاب النكت ( أبطل فيه حجية الإجماع بما فى ذلك إجماع الصحابة ) . Abu Ali al-Jubba’i (303 H.); تفسير القرأن , متشابه القرأن . Abu Hasyim al-Jubba’i (324 H.); الجامع الكبير  الابواب الكبير , الابواب الصغير , الإجتهاد . Muhammad ibn Abdullah al-Barda’i (350 H.); المرشد فى الفقه , الجامع فى الأصول , الناسخ والمنسوخ فى القرأن . Al-Qadli Abdul Jabbar al-Hamdani (415 H.); العهد فى أصول الفقه , العمد فى أصول الفقه , المغنى ( قسم الشرعيات ) .
(d)     Dari madzhab Hanafiyah 5 orang; Isa ibn Abad (wafat 221 H.); إثبات القياس , خبر الواحد , اجتهاد الرأى . Ishaq al-Syasyi (325 H.); أصول الشاشى . Abu Manshur al-Maturidi (333 H.); من أخذ الشرائع فى الأصول , تأويلات القرأن فى التفسير . Ubaidillah al-Kurkhi (340 H.); رسالة فى الأصول . Abu Bakar al-Jashosh (370 H.); أحكام القرأن , شرخ مختصر الكرخى فى الفقه , شرح مختصر الطحاوى , شرح الجامع الكبير والصغير السيبانى .
(e)      Dari madzhab Dhahiriyah 2 orang; Dawud ibn Ali (270 H.); إبطال القياس , خبر الواحد , الخبر الموجب للعلم , كتاب الحجة , كتاب العموم , المفسر والمجمل الكافى فى مقالة المطلبى ( اى: الامام الشافعى ) . Muhammad ibn Dawud ibn Ali (297 H.); الوصول الى معرفة الأصول . Kemudian ada satu orang lagi tetapi ia beralih madzhab kepada madzhab Syafi’iyyah, yaitu Muhammad ibn Ishaq (wafat setelah tahun 300 H.);  الرد الى كتاب داود فى ابطال القياس , الفتيا الكبير , أصول الفتيا .
(f)      Dari madzhab Thabariyah 1 orang, yaitu Al-Mu’afi ibn Zakariya al-Nahrawani (390 H.); الحدود والعقود فى أصول الفقه , شرح كتاب الخفيف للطبرى , الرد على الكرخى , الرد على داود الظاهرى , أجوبة الجامع الكبير للشيبانى .
(g)     Dari madzhab Hanabilah 1 orang, yaitu Abu Abdullah al-Waraq (403 H.); الجامع فى المذهب , شرح أصول السنة , أصول الفقه .
[8] Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah (Tahqiq; Dr. Ali Abdul Wahid Wafi), jilid 3, al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, Kairo, 2006, hal. 963
[9] Ibid., jilid 3, hal. 962
[10] Dr. Abdussalam Balaji, Tathawwur ‘Ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, Dar al-Wafa’, Mansuria, cet. I, 2007, 87
[11] Semenjak abad kelima hingga kedelapan Hijriyah tercatat dalam sejarah sebagai “masa tertutupnya pintu ijtihad”, tetapi dalam terma pemikiran ushul di kalangan ulama masih tetap segar dengan dialektika pemikiran antara satu dengan yang lainnya. Dan, munculnya adagium pintu ijtihad telah tertutup hanyalah sebagai bentuk tindak preventif (Sad al-Dzari’ah) yang ditujukan untuk kalangan awam. Yaitu demi menjaga ajaran Islam dari berbagai penyimpangan dan kesalah-pahaman yang dimunculkan oleh pihak-pihak yang kurang dalam kapabilitas keilmuannya. Waliyullah al-Dahlawi dalam al-Inshaf fi Bayani Masa’il al-Khilaf memberikan contoh lain berupa pengharaman talfiq (pindah madzhab) di periode ini, yang didasarkan dengan pertimbangan kemaslahatan untuk masyarakat secara umum.      
[12] Dr. Muhammad Abied al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah, Markaz Dirasat al-Wihdad al-Arabiyah, cet. III, Beirut, 2006, hal. 32-33
[13] Dr. Ali Jum’ah Muhammad, al-Thariq ila al-Turats al-Islamiy, Nahdlah Mashr, Kairo, 2004, hal. 190

Komentar

PERPECAHAN POLITIK ISLAM DAN DAMPAKNYA DI BIDANG TEOLOGI

A.   Pengantar Sukses Nabi membangun sistem pemerintahan baru di Madinah dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya dengan mengembangkan sistem politik Islam dan melakukan perluasan wilayah secara besar-besaran. Bersamaan dengan itu, jalan peyebaran dakwah Islam semakin licin dan terbuka. Tidak ada rintangan lagi bagi bangsa manapun untuk berbodong-bondong memeluk Islam. Karena hambatan-hambatan struktural dan politis yang sering mengintimidasi psikologi masyarakat awam dalam menentukan pilihan keyakinannya telah berhasil dilumpuhkan oleh umat Islam yang telah tumbuh menjadi kekuatan alternatif menggantikan imperium Romawi dan Persia yang sudah kropos. [1] Keberhasilan kaum muslimin membangun imperium yang luas, maju dan tangguh memberi kesan yang kuat bahwa, mengutip kata-kata Nurcholish Madjid, “salah satu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal penampilannya, ialah kejayaan dibidang politik”.“Kendati demikian…”, lanjut Nurcholish, “sejarah mencatat dengan penuh kesedi...