SEJARAH KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM SEJAK AL-SHAFI’IY HINGGA AL-SHATIBY
A. Pendahuluan
Teori
hukum fikih atau yang dikenal dengan ’Ilm Ushul al-Fiqh merupakan suatu
cabang disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah atau metode yang
dipergunakan oleh para praktisi hukum (Fuqaha’) di dalam memutuskan
segala bentuk perkara hukum berdasarkan syariat Islam. Dalam ushul fikih juga
akan mengulas latar-belakang lahirnya sebuah teori hingga dimasukkan ke dalam
satuan-satuan normatif yang ada. Sejarah teorisasi pemikiran fikih ini perlu
kita telusuri dan butuh kita ketahui sebagai wawasan, sebab watak dasar
pemikiran fikih dari para praktisi hukum semuanya berpijak pada prinsip-prinsip
dasar ini.
Secara
etimologi, “Ushul al-Fiqh” terdiri dari dua suku kata, yaitu : kata “al-Ushul”
bentuk jamak dari “al-Ashl” (artinya; pokok atau asal), dan kata “al-Fiqh”
(pemahaman atau ilmu pengatahuan tentang hukum-hukum fikih). Sedangkan dalam
terminologi syariat para ulama dari madzhab Syafi’iyah menetapkan definisi : ( معرفة دلائل الفقه اجمالا , وكيفية الاستفادة منها , وحال
المستفيد ). Yaitu disiplin ilmu pengetahuan tentang dalil-dalil fikih
secara global, tata-cara untuk memahami dalil-dalil tersebut, dan bahasan
kreteria pihak-pihak yang berhak untuk melangsungkan penggalian hukum.
Sementara menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah tentang definisi ilmu ini menyebutkan dengan kalimat : ( القواعد التى يوصل البحث فيها
الى استنباط الاحكام من ادلتها التفصيلية , او علم بهذه القواعد )
. Yaitu kaidah-kaidah pembahasan yang dapat
mengantarkan seseorang menuju praktek istinbath hukum dengan berlandas pada
dalil-dalil secara rinci, atau ilmu tentang kaidah-kaidah istinbath.[1]
Dari dua definisi di atas sekalipun berbeda dalam bentuk
kalimatnya, tetapi dari keduanya menginginkan makna yang sama terutama pada
cakupan tema yang terbahas di dalamnya. Disiplin ilmu ini berisi tiga bahasan
utama, yaitu; (i) dalil-dalil hukum, (ii) tata-cara memahami dalil-dalil hukum,
dan (iii) pihak-pihak yang berhak melangsungkan penggalian hukum.
Praktek
Istinbath Hukum Fikih sebelum Masa Perumusan
Praktek penggalian hukum fikih (Istinbath
al-Ahkam al-Fiqhiyyah) telah dimulai semenjak zaman Rasulullah. Rasulullah
sebagai penyampai risalah langit akan memberikan jawaban-jawaban hukum sesuai
dengan wahyu yang telah diturunkan oleh Allah kepada-Nya, dan apabila
belum/tidak diturunkan maka Rasul akan berijtihad dengan akal pribadinya yang tersucikan
dari kesalahan dan dosa. Setelah Rasul melakukan ijtihad, ada kalanya seketika
itu diturunkan wahyu untuk lebih membenarkan hasil ijtihad tersebut, dan ada
kalanya tidak diturunkan sehingga hasil ijtihad Rasul ditetapkan sebagai
putusan hukum yang final. Sebab dari pribadi Rasul tidak akan keluar sesuatu
kecuali berupa wahyu.
Banyak riwayat yang menjadi bukti atas kelangsungan
ijtihad Rasul, baik berupa terapan Qiyas (analogi), Istishhab
(mengembalikan hukum kepada asal masalah), ataupun Istishlah (pencapaian
maslahat). Kiita akan banyak menjumpai
riwayat-riwayat ini di dalam al-Ihkam; al-Amidi, Irsyad
al-Fuhul; al-Syaukani, dan beberapa kitab ushul lainnya.[2]
Sebagai contoh Rasul pernah ditanya oleh budak perempuan Khasy’amiyah mengenai
tanggungan wajib haji untuk seorang Ayah yang meninggal dunia dan ia belum
sempat menunaikannya di masa hidupnya. Rasul mengkiasan dengan hukum kewajiban
membayar hutang kepada sesama, maka hutang kepada Allah lebih wajib hukumnya
untuk diselesaikan. Dan, diriwayatkan juga Rasul sering bersabda dengan
menyebutkan ‘Illah (sebab-musabab) ditetapkannya sebuah hukum, seperti
larangan Rasul untuk menimbun daging kurban jika masih ada orang yang membutuhkan,
larangan berziarah kubur yang kemudian diperbolehkan jika tidak menimbulkan
kemusyrikan dan mengingatkan kita pada kematian, serta riwayat-riwayat lainnya.[3]
Di masa kehidupan Rasulullah ini praktek ijtihad
juga dilakukan oleh para Sahabat, baik ketika bersama Rasul maupun saat mereka berlainan
tempat. Seperti ijtihad Abu Bakar dalam memberikan hak rampasan perang (ghanimah)
kepada Abu Qatadah yang berhasil menebas leher seorang lelaki musyrik, dan
Rasul pun membenarkan fatwa tersebut. Demikian halnya hadits masyhur tentang
diutusnya Mu’ad ibn Jabal ke Yaman, kisah ini menunjukkan bahwa Sahabat
benar-benar melakukan ijtihad semasa hidup Rasul. Dari sini dapat kita pahami
bahwa dalil-dalil hukum di masa Nabi Saw. terdiri dari al-Quran, Sunnah dan
juga ijtihad.
Sepeninggal Rasul, sebelum para Sahabat terpencar ke
berbagai wilayah, sejarawan mencatat dalil-dalil yang dijadikan pijakan dalam
beristinbath bersandar pada al-Quran, Sunnah, dan ijtihad personal. Dan, mulai
muncul terma Ijma’ (konsensus ulama) yang merupakan kesepakatan hasil ijtihad
dari selurh Sahabat yang hidup kala itu. Hasil konsensus ini diangkat sebagai
dalil hukum yang menempati urutan ketiga di atas ijtihad personal, dengan dalih
bahwa ‘Illah (indikator) hukum yang semula samar telah terungkap jelas
melalui upaya ijtihad dari golongan Sahabat Nabi secara menyeluruh.
Selanjutnya di akhir masa Sahabat, tepatnya mulai
tahun 41 Hijriyah, ketika Islam melakukan propaganda ke berbagai wilayah
menjadikan kelompok Sahabat tidak lagi menetap di Makkah dan Madinah saja. Mereka
tersebar ke beberapa daerah, seperti di Kuffah, Bashrah, Yaman, Mesir dan
lain-lain. Dengan kondisi semacam ini memulai babak baru dalam dinamika
pemikiran fikih, terutama dengan lahirnya dua madrsah yang dikenal dalam
sejarah dengan sebutan “Ahli Ra’yi” yang berkembang pesat di wilayah Iraq (Bashrah-Kuffah)
dan “Ahli Hadits” di wilayah Hijaz (Makkah-Madinah).
Karakteristik pemikiran fikih dari madrasah Ahli
Ra’yi cenderung menggunakan nalar rasio dengan porsi yang lebih daripada
merujuk pada hadits-hadits ahkam (atau Sunnah; dalam itradisi fuqaha’)
di dalam melangsungkan praktek istinbath hukumnya. Hal ini ditengarai oleh minimnya
jumlah Sahabat yang menetap di wilayah Bashrah dan Kuffah sehingga kapasitas
hadits yang ada sangatlah minim. Para Sahabat dan murid-muridnya yang berada di
wilayah ini mengembangkan pola ijtihad akal dari bentuk semula yang sedrhana
menjadi semakin komplek dengan tidak keluar dari pola dasar yang diterapkan pada
periode kenabian. Polarisasi ijtihad ini mencuat ke permukaan dengan ragamnya
─seperti; Istihsan (pencapaian kebaikan tanpa rujukan nash), ‘Urf
(adat-istiadat), pengembangan metode Qiyas (analogi) dan sebagainya─
muncul dari tokoh muda madrasah ini, bernama; Abu Hanifah al-Nu’man (80-150 H.).
Sedangkan karakteristik pemikiran yang dikembangkan
Ahli Hadits banyak merujuk kepada riwayat-riwayat hadits daripada pengembangan
pola ijtihad akal. Hal ini dilator-belakangi oleh banyaknya para perowi hadits
yang beredar di wilayah tersebut, sebagaimana mayoritas golongan Sahabat
berdomisili di negeri Hijaz itu. Namun kondisi semisal bukan berarti pengembangan
pola ijtihad akal sama sekali diabaikan oleh mereka. Pergeseran zaman dengan
bertambahnya problema yang dihadapi menjadikan ayat-ayat ahkam yang
dalam jumlahnya hanya 5,8% dari 6.360 ayat, dan dengan ditambah jumlah riwayat
hadits ahkam yang ada, masih belum mencukupi untuk merespon segala problematika
sosial yang terus berkembang.[4]
Sehingga menuntut mujtahid-mujtahid Hijaz untuk ikut serta mengembangkan
polarisasi ijtihad akal sebagaimana para mujtahid Iraq. Diantara yang menjadi
bukti ialah munculnya terma Mashalih Mursalah (pencapaian kemaslahatan
tanpa rujukan nash),‘Urf (adat-istiadat), dan Sad al-Dzara’i
(tindak preventif) yang digulirkan oleh seorang imam besar kota Madinah, Malik
ibn Anas al-Ashbuhi (93-179 H.).
Dari praktek-praktek istinbath yang telah diterapkan
semenjak masa kenabian dan kemudian berkembang dengan polarisasi yang ada, belum
pernah terkonsepkan secara sistematis dan terkodifikasi dalam satuan-satuan
yang utuh. Dalam kinerja istinbath mereka hanya berpedoman pada
tuntunan-tuntunan seorang guru yang disampaikan secara lisan. Maka, dari terapan-terapan
istinbath tersebut akan menjadi embrio ditelorkannya teori hukum fikih di masa
berikutnya yang dapat kita simak dalam uraian di bawah ini.
Al-Syafi’i;
Sang Teorisi Fikih Pertama
Teorisasi pertama fikih Islam hadir dari seorang
mujtahid dengan pola pikir ideologi wasathiyyah, yakni di tangan Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204
H.). Ia mencoba menuangkan terma
istinbath fikih ke dalam satuan-satuan teori yang utuh. Yaitu dalam kitab al-Risalah
yang dalam penulisannya kitab ini terselesaikan oleh bantuan seorang murid
terdekatnya Abdurrahman ibn Mahdi. Upaya teorisasi ini juga tersirat di dalam
kitabnya yang berjudul Jima’ al-‘ilm, Mukhtalif al-Hadits, serta Ibthal
al-Istihsan pada jilid ke-7 dari kitab al-Umm. Dengan tujuan untuk
menciptakan sebuah standaritas baku dalam kinerja istinbath hukum fikih yang
menurut al-Syafi’i sudah banyak terselewengkan.
Gaya pemikiran baru yang berpijak pada ideologi
oplosan ─gabungan antara ideologi pemikiran Ahli Ra’yi dan Ahli Hadits─ ini mencoba
untuk menggugat tradisi pemikiran fikih lama yang banyak terselewengkan untuk direkonstruksi
dengan formulasi barunya itu. Sedangkan metode pendekatan yang dipergunakan
ialah dengan menggunakan silogisme-silogisme filsafat. Dr. Musthafa Abdurraziq menyebutkan
dari gaya nalar fikih al-Syafi’i mencerminkan pola pemikiran rasional ilmiah
yang sama sekali tidak melibatkan produk-produk hukum dalam bentuknya yang
partikular, analisanya tertuju pada kesimpulan umum hingga kemudian disajikan
ke dalam satuan-satuan teori. [5]
Maka inilah yang dinamakan dengan metode analisa filosofis. Sebagaimana Ahmad
ibn Hambal mengidentikkan al-Syafi’i sebagai seorang filsof pada empat bidang,
yaitu pada terma gramatikal Arab, dinamika sosial, semantika bahasa, dan fikih.[6]
Kerangka teori fikih yang dihadirkan al-Syafi’i latar-belakang
pendekatan tersebut di atas termaktub dalam karya-karyanya, dan yang paling
dapat mewakili ialah di dalam kitab al-Risalah. Bagaimana bentuk riil
dari silogisme filsafat yang tertsirat pada teori-teori hukum al-Syafi’i? Adakah
pengaruh dari pemikiran filsafat klasik non-Islam? Dan apa plus-minus
dari terma semacam ini dalam implementasi istinbath hukumnya? Akan kami
urai-jelaskan dalam buku ini pada topik bahasan tersendiri.
Gerakan
Teoritisasi Hukum Fikih pasca al-Syafi’i
Gerakan teorisasi pemikiran fikih selepas masa
al-Syafi’i tidak banyak mengalami perkembangan. Upaya yang dilakukan para ulama
hanya berupa penguraian-ulang yang semakna (syarah), memberikan koreksi
dan anorasi (hasyiyyah), serta kritik atau bantahan terhadap isi kitab (ta’liq
wa naqd). Upaya penulisan syarah kitab baru muncul hampir seabad
sepeninggal al-Syafi’i, yaitu oleh sepuluh orang; Muhammad ibn Abdullah
al-Shairafi (230 H.), Hisan ibn Muhammad al-Naisaburi (349 H.), Muhammad ibn
Ali ibn Ismail al-Qafal al-Kabir al-Syasyi (365 H.), dan al-Hafidz Abu Bakar
al-Juzafi al-Syaibani (388 H.). kemudian oleh lima orang yang lain; Abu Zaid
al-Jazuli, Yusuf ibn Umar, Jamaluddin Afqahasi, Ibnu Fakahani, Abu Qasim Isa
ibn Naji, tetapi kelima nama ini belum dapat terdeteksi biografinya secara
ilmiah.
Selain dari itu, para ulama yang lain merasa
terdorong untuk menuangkan pikiran-pikiran ushuliyyah-nya ke dalam
sistematika ilmiah, baik dalam bentuk satuan yang utuh maupun hanya memuat topik-topik
khusus. Upaya penulisan kitab ushul secara ideologis kemadzhaban lebih
didominasi oleh madzhab Syafi’iyah yang mencapai 11 orang, dan ditambah 5 orang
Mu’tazilah yang dalam pemikiran fikih banyak mengikuti tradisi Syafi’iyah;
kecuali Muhammad ibn Abdullah al-Barda’i yang potensi intelektualnya sudah
mencapai kapabilitas mujtahid mutlak. Hal ini patut dimaklumi sebab peletak
konseptualisasi pertama adalah imam al-Syafi’i. Disusul madzhab Malikiyah
sebanyak 9 orang, Hanafiyah 5 orang, Dhahiriyah 2 orang, serta dari madzhab
Thabariyah dan Hanabilah masing-masing 1 orang.[7]
Sedangkan secara esensial dari tokoh-tokoh tersebut
berupaya untuk memperkuat gagasan pemikiran masing-masing madzhab dengan
melakukan kritik bahkan kecaman terhadap madzhab yang berseberangan dengan
mereka. Dan juga sebagai wujud dari usaha pemurnian kembali syariat Islam dari
segala penyimpangan ajaran, baik yang datang dari luar maupun atau dari
internal Islam sendiri. Maka perhatian para ulama lebih terarah untuk
menengarai pemikiran-pemikiran yang meragunakn ke-hujjah-an al-Quran,
kelompok ingkar Sunnah, para penggugat otoritas Ijma’ Shahabiy, serta
bagian-bagian lain yang menjadi sakralitas ajaran agama.
Dengan situasi semacam itu, disiplin ushul fikih
tidak banyak mengalami pergeseran dari kerangka teorisasi sebelumnya. Sebagaiman5a
yang termaktub pada lembar-lembar awal kitab Bahr al-Muhith, Badruddin
al-Zarkasyi (794 H.) menjelaskan ushul fikih sebagai disiplin ilmu pemikiran
fikih selepas masa al-Syafi’i hanya berupa pen-syarah-an dan geliat
intelektual ulama hanya berputar pada ruang dialektis antar-ideologi
kemadzhaban. Hingga datangnya dua orang tokoh ahli kalam (teolog) yang cukup
berpengaruh di dunia Islam, yaitu; seorang hakim Asy’ariyah al-Qadli Abu Bakar
al-Baqilani (403 H.) dan seorang hakim Mu’tazilah al-Qadli Abdul Jabbar
al-Hamdani (415 H.).
1.
Periode
Re-Konseptualisasi
Dari al-Baqilani dengan penulisan kitab al-Taqrib
wa al-Irsyad, al-Tamhid, dan al-Muqna’, dan dari al-Hamdani dengan
kitab al’Amd, al-‘Ahd, dan al-Mughniy (bagian al-Syar’iyyat)
telah memulai babak baru dalam dialektika pemikiran fikih. Mereka berdua
mengacungkan tangan dengan menawarkan formulasi baru di dalam lika-liku
nalaritas fikih yang mereka sadur dengan logika-logika teologi dan filsafat. Karakteristik
dalam mengformat satuan-saturan teori fikih ini sama sekali tidak melibatkan
produk-produk fikih dari madzhab tertentu, seperti yang dikembangkan
al-Syafi’i, dan bahkan lebih parah lagi. Mereka lebih mengedepankan olah rasio dan
mengembangkan lebih jauh terhadap teori fikih dari satuan-satuan normatif yang
sudah ada. Hal ini dilatar-belakangi oleh corak ideologi dan watak intelektual
yang melekat di benak mereka, tak lain adalah seorang pakar filsafat-teologi,
al-Baqilani terbentuk dari bidikan Abu Hasan al-Asy’ari (340 H.), sedangkan
al-Hamdani dari teolog-teolog Mu’tazilah yang hidup di masa sebelumnya. Metode pendekatan
filosofis semacam ini kemudian dikenal dengan istilah “Thariqah
Mutakallimin” atau “Thariqah Syafi’iyyah” (Metode Deduktif). [8]
Gaya konseptualisasi pemikiran fikih dengan metode
deduktif ini selanjutnya diikuti oleh murid-murid kedua tokoh tersebut. Dari
al-Baqilani melahirkan Imam Haramain al-Juwaini (478 H.) dengan kitab ushulnya al-Burhan,
yang dilanjutkan oleh generasi berikutnya yaitu di tangan Abu Hamid al-Ghazali
(505 H.) dengan kitab al-Mustashfa. Sedangkan dari jalur al-Hamdani melahirkan
seorang murid Abul Husain al-Bashri (436
H.) dengan karyanya al-Mu’tamad. Dari kedua tokoh ini ─yaitu; al-Ghazali
dan al-Bashri─ tidak serta-merta mengadopsi buah pikiran sang guru, mereka
berdua berupaya melakukan koreksi terhadap satuan-satuan teori yang tercampur basic
filsafat-teologi tersebut yang sama sekali tidak dibutuhkan di dalam praktek
istinbath fikih. Namun faktanya, upaya koreksi itu masih terkesan lambat sebab ideologi
intelektual yang membingkai otak mereka pun tiada lain adalah warisan para
teolog di masa sebelumnya.
Pergeseran nalar fikih terbaca jelas dari hasil-hasil
konseptualisasi yang mereka lakukan. Para teorisi kelompok teologi ini menambahkan
teori-teori baru dalam satuan-satuan normatif ushuliyyah, baik dari Imam
Haramain, al-Bashri dan al-Ghzali. Diantara bentuknya adalah menambahkan “teori
definitif” (Mabhats al-Had), “teori semantik” (Dilalah al-Nushush)
dengan ragam-pecahannya ─seperti; Dilalah al-Muthabaqah, Dilalah
al-Tadlamun, Dilalah al-Iltizam, dan juga termasuk Mafhum Muwafaqah
dan Mafhum Mukhalafah─ , dan terlihat dari pengembangan “teori analogi” (Qiyas)
─seperti pada penetapan ‘Illah hukum; al-Sibr wa al-Taqsim,
al-Dauran, al-Thard, Tanqih al-Manath, dst.─ , serta serpihan-serpihan
kecil yang tersirat dalam katagori “teori al-Istidlal” (penetapan hukum
dengan bertendensi pada kaidah-kaidah kulliyyah). Ragam teori tersebut
merupakan formulasi baru yang secara normatif belum terjamah oleh para teorisi
fikih di abad kedua, kecuali hanya berupa indikasi-indikasi samar yang terbaca
dari produk-produk hukum fikih mereka. Bagaimanakah kejelasan selanjutnya
tentang teori-teori tersebut? Adakah keterlibatan filsafat Yunani khususnya
logika-logika Aristoteles dalam perumusannya? Dan, bagaimana respons para ulama
mengenai hal itu? Akan kita kaji bersama dalam buku ini pada topik bahasannya.
Di lain pihak telah bergulir gerakan konseptualisasi
fikih dengan gaya pendekatan terbalik. Yaitu konseptualisasi yang diusung oleh
para ulama dari madzhab Hanafiyah, seperti; Isa ibn Aban (221 H.), Ishaq
al-Syasyi (325 H.), Abu Manshur al-Maturidi (333 H.), Ubaidillah al-Kurkhi (340
H.), Abu Bakar al-Jashosh (370 H.), dan Abu Zaid al-Dabbusi (430 H.). Dalam
merumuskan teori fikih pengamatan awal mereka tertuju pada produk-produk hukum
jadi yang telah ditelorkan oleh para mujtahid madzhab mereka, yang kemudian
ditelorkan ke dalam satuan-satuan teori. Dan, metode teorisasi ini selanjutnya
dikenal dengan “Thariqah Fuqaha’” atau “Thariqah Hanafiyyah” (yakni;
Metode Induktif).[9]
Model serupa ini juga dilakukan oleh beberapa
ulama dari madzhab Hanabilah sebagaimana yang pertama digulirkan oleh Abu
Abdullah al-Waraq (403 H.), al-Qadli Abu Ya’la (458 H.), Abul Khuthab
al-Kalwadzani (510 H.), Ibnu ‘Uqail (513 H.), dan seterusnya.
Dari para teorisi yang menerapkan metode pendekatan
induktif ini secara esensial tidak banyak mengalami pergeseran pemikiran. Hal
ini digeneralisir karena motivasi utama mereka adalah sebagai upaya konsolidasi
atas pengesahan praktek istinbath hukum menurut tuntunan imam madzhabnya yang
semula belum terkonseptualisasikan. Namun demikian ini tidak menutup munculnya
inovasi-inovasi baru ─berupa penambahan dan pengembangan teori-teori fikih
dalam formulasi ushul madzhab─ yang dilakukan para teorisi muda ini. Dr.
Abdussalam Balaji dalam telaah metodologinya menemukan diantara penambahan
terma-terma baru yang sebelumnya belum pernah digulirkan oleh imam madzhab mereka,
yaitu; teorisasi tentang makna-makna huruf, syariat sebelum nabi Muhammad Saw. (Syar’u
Man Qablana), dan keberlakuan hukum taklif sebelum datangnya dakwah
Islam.[10]
Sepintas pengamatan, dapat diindikasikan ketiga terma tersebut terkait erat
dengan dialektika ilmu kalam (teologi), dan keterlibatan Abu Manshur
al-Maturidi (333 H.) ─pendiri madzhab teologi Maturidiyah yang juga pernah
menulis kitab ushul fikih dengan judul Man Akhadza al-Syara’i’ fi al-Ushul
dan Ta’wilat al-Qur’an fi al-Tafisr─
dalam dinamika pemikiran fikih madrasah ini tidak dapat kita nafikan
begitu saja. Dan, untuk melihat lebih dekat bagaimana karakteristik
konseptualisasi nalar fikih yang dilakukan oleh para pemungut metode pendekatan
induktif ini akan kita baca pada buku ini, dengan lebih spesifik kepada Abu
Zaid al-Dabbusi dalam penulisan kitab Ta’sis al-Nadhar.
2.
Periode
Syarah, Talkhish, dan Hasyiyyah
Periode ini dimulai selepas masa al-Ghazali dan al-Bashri
sebagaimana terurai sebelumnya. Para ulama selain menerapkan metode yang sama
dalam mengkonseptualisasi pemikiran fikih, pada periode ini kebanyakan hanya
mengumpulkan qaul-qaul dari para pendahulu untuk disajikan ke dalam
sebuah kitab. Seperti usaha yang dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi (606 H.)
dengan kitab al-Mahshul merupakan kumpulan teori-teori ushul dari kitab al-Mustashfa;
al-Ghazali dan kitab al-Mu’tamad; al-Bashri. Demikian halnya Saifuddin
al-Amidi (631 H.) dengan kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Shafiyuddin
al-Armuwi (644 H.); al-Tahshil, Tajuddin al-Armuwi (656 H.); al-Hashil,
Syihabuddin al-Qarafi (684 H.); Nafa’is al-Ushul fi Syarhi al-Mahshul, Badruddin
al-Zarkasyi (794 H.); Bahr al-Muhith, serta yang lainnya.
Dari ringkasan-ringkasan tersebut tidak jarang yang
masih diringkas dalam bentuk yang cukup sederhana. Dari ringkasan kedua ini
selanjutnya disyarah lagi, dan dari syarah masih disyarah
lagi dan seterusnya. Seperti kitab al-Hashil karya Tajuddin al-Armuwi (656
H.) yang merupakan ringkasan dari al-Mahshul; Fakhruddin al-Razi
diringkas lagi oleh al-Baidlowi (685 H.) dalam Minhaj al-Wushul,
selanjutnya disyarah oleh al-Asnawi (773 H.) dalam Nihayah al-Suul,
dari syarah al-Asnawi tersebut kemudian diberi anorasi oleh al-Badakhsyi
dalam Manahij al-‘Uqul. Demikian tradisi para ulama pada periode ini
yang masih stagnan dalam pola pemikiran fikihnya. Dari kitab induk selanjutnya
bercabang, lalu beranting, kemudian dari ranting bercabang lagi, beranting
lagi, bercabang lagi, dan seterusnya.
Tradisi jalan di tempat ini bukan hanya terlihat pada
madzhab Syafi’iyah saja, melainkan juga pada madzhab-madzhab yang lain. Kenyataan
semacam ini bukan berarti potensi intelektual mereka yang terbatas sehingga
kurang mampu merancang formulasi baru dalam ranah pemikiran fikih.[11]
Melainkan ada alasan yang cukup mendasar mengapa mereka hanya memberikan
ringkasan (mukhtashar), penjelasan (syarah), atau anorasi (hasyiyyah),
yaitu; pertama, sebagai fasilitator bagi para pemula di dalam mempelajari
kerangka dasar ilmu ijtihad dengan alur pemahaman yang benar, ringkas dan mudah
dihafal, serta dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Kedua, sebagai
upaya pemurnian kembali ilmu ushul fikih sebagaimana tujuan semula, yaitu
sebagai sebuah disiplin ilmu yang berisikan rumusan-rumusan untuk menelorkan
sebuah hukum syariat. Ketiga, demi menetralisir pencampur-adukan
terma pemikiran filsafat non-Islam di dalam ushul fikih untuk menutup
fitnah-fitnah agama yang berasal dari oknum-oknum yang sengaja menghancurkan
Islam dari jalur intelektual.
3.
Periode
Rekonstruksi
Fase
rekonstruksi yang dimaksud adalah upaya pembaharuan dalam
mengkonseptualisasikan pemikiran fikih dari bagan teori sebelumnya yang dinilai
kurang sempurnah. Jika kita mengamati dua madrasah di atas, maka dari madrasah Fuqaha’
─dengan metode induktifnya─ lebih terkesan statis yang mencerminkan sikap fanatisme
yang berlebih terhadap suatu ideologi madzhab tertentu, sehingga teori ushul
yang semestinya berfungsi sebagai panduan beristinbath harus menyesuaian diri
dengan produk-produk hukum yang sudah jadi. Akibatnya, tidak ada standaritas
baku yang dapat dijadikan penilaian atas keabsahan sebuah hasil ijtihad.
Sedangklan dari madrasah Mutakallimin ─dengan terapan metode deduktif─ lebih
cenderung memenangkan nalar rasio sehingga pada beberapa masalah kurang dapat
menunjukkan bukti-bukti yang rinci sebagai bentuk satuan-satuan teori pemikiran
Islami yang murni.
Oleh
sebab itu, setelah meninjau plus-minus dari dua madrasah tersebut, para
ulama berusaha menjembatani kesenjangan antara kedua belah-pihak dengan
mengkombinasikan antara metode induktif (Fuqaha’) dan metode deduktif (Mutakallimin)
sekaligus. Diantara ahli ushul yang menggunakan metode kombinasi dalam
merumuskan teori ushulnya ialah; Ahmad ibn Ali al-Sa’ati (694 H.) dalam kitab Badi’
al-Nidham yang mengkombinasikan antara al-Ihkam; al-Amidi dengan
kitab al-Ushul; al-Bazdawi, Shadrus
Syari’ah Abdullah ibn Mas’ud al-Bukhari (747 H.) dengan kitabnya al-Tanqih
Syarh al-Taudlih yang mengkombinasikan antara kitab al-Ushul;
al-Bazdawi, al-Mahshul; al-Razi, dan al-Mukhtashar; Ibnu Hajib.
Metode kombinasi ini sebagaimana juga diterapkan oleh Tajuddin Ibnu Sibki (771
H.) dalam Jam’ul Jawami’, dan oleh seorang pembaharu fikih yang tak
asing lagi di telinga kita, yaitu Abu Ishaq al-Syathibi (790 H.) di dalam
penulisan kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah.
Dalam
al-Muwafaqat, imam al-Syathibi berupaya menghadirkan kerangka baru dalam
terma istinbath hukum Islam yang lebih terarah pada pokok-pokok bahasan dan
tujuan utama dari teorisasi istinbath itu sendiri. Hal ini terrefleksikan pada
metode penulisan ilmiah pada setiap topik bahasan, memberikan pengantar
metodologis terhadap ilmu pemikiran fikih pada mukadimah kitabnya hingga
mencapai tiga belas pokok pikiran, dan mencantumkan terma maqashid
sebagai pengganti dari terma “teori semantik” teks-teks wahyu. Penggantian
terma tersebut sebagai bentuk dari hasil pencitraan atas pembacaan fikih secara
menyeluruh, yang tak lain bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi segenap
penduduk dunia. Oleh sebab itu, al-Syathibi berjuang sepenuhnya dalam melakukan
penyatu-atapan antara hukum-hukum syariat dengan nilai-nilai kemanusiaan, yang
bergandeng-tangan dengan keakraban, yang terkonsep dan tersaji secara
sistematis, sehingga menjadi tumpuan praktek istinbath fuqaha’ agar
fikih benar-benar dapat membumi.
Demikian
peta epistermologi pemikiran fikih yang kami sajikan secara ringkas, dari
tangan al-Syafi’i abad ke-2 hingga al-Syathibi di abad ke-8 Hijriyah, sebagai
pengantar dalam studi telaah turats ushul fikih yang dapat disimak lebih
jauh lagi pada bahasan-bahasan selanjutnya. Adapun metode pendekatan dan
sistematika penulisan yang kami hadirkan sebagaimana telah kita rancang di
bawah ini. Dengan tujuan agar mudah dicerna oleh para pemula, dapat dipahami
tepat sasaran, dan sebagai wahana dialogtopis bagi para muda yang memiliki
kecenderungan dalam khazanah pemikiran fikih Islam.
Metode Pembacaan Turats
Ushul Fikih dan Manfaatnya dalam Terapan Ijtihad Kontemporer
Ushul
fikih dengan tiga cakupan tema yang ada ─yaitu; dalil-dalil hukum, cara beristinbath,
dan prasyarat bagi para mustanbith─
merupakan sebuah disiplin ilmu produk pemikiran dari tradisi para ahli
yang tidak terlepas dari dimensi ruang dan waktu. Hal ini tidak menutup
terjadinya pergeseran pemikiran atas hasil kerangka teori anatara satu tokoh
dengan tokoh yang lain. Maka perlu adanya telaah kritis mengenai terma-terma
yang mereka usung dengan menggunakan metode pendekatan yang obyektif,
sistematis, dan bertanggung-jawab. Beberapa satuan metode yang kami pakai dalam
membedah tradisi dari pemikir-pemikir klasik adalah dengan mengadopsi
satuan-satuan metode sebagaimana berikut ini :
a. Metode Strukturalis;
maksudnya dalam mengkaji pemikiran seorang tokoh kita berangkat dari teks-teks sebagaimana
adanya. Pada pendekatan ini mengahruskan kita untuk melokalisasi pemikiran si
empunya teks pada suatu fokus persoalan tertentu (isykaliyyah).
b. Analisis Sejarah;
ini berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan pemikiran si empunya teks, yang
telah dianalisis pada pendekatan pertama, dengan lingkup sejarahnya, dengan
segenap ruang lingkup budaya, politik, dan sosiologinya. Metode ini penting
karena pertama; keharusan memahami historitas dan geologi sebuah
pemikiran yang sedang dikaji, dan kedua; keharusan menguji seberapa jauh
validitas konklusi-konklusi pendekatan strukturalis di atas.
c. Kritik Ideologi;
maksudnya mengungkap funmgsi ideologis, termasuk fungsi sosial-politik, yang
dikandung sebuah teks atau pemikiran tertentu, atau yang sengaja dibebankan
kepada teks tersebut dalam satu sistem pemikiran (episterme)
tertentuyang jadi rujukannya.
Setelah
melakukan proses obyektifitas ini, barulah kita berujuk kepada kontinuitas,
yaitu kesinambungan dengan obyek kajian. Proses ini mengharuskan kita pada
untuk memisahkannya sebagai bagian dari kita dengan beberapa tujuan; pertama,
untuk merekonstruksinya, untuk membangunnya kembali dalam bentuk yang baru
dengan pola-pola hubungan yang baru pula. Kedua, untuk menjadikannya
kontekstual dan “membumi” dengan keberadaan kita, terutama pada tingkat
pemahaman rasional dan fungsi ideologis-epirtermologis yang diembannya.[12]
d. Spesifikasi Ilmiah;
maksudnya seorang pengkaji harus memperhatikan karakter pemikiran tokoh dalam
suatu disiplin ilmu tertentu. Sebab selain dengan kritik ideologi kita harus mampu
membedakan terma-terma khusus yang menjadi identitas suatu disiplin ilmu
tertentu ─seperti pada disiplin ilmu fikih dan ushul fikih─ dalam penggunaan
istilah-istilah dan olah-pikir yang ada. Pendekatan ini diberlakukan dengan
alasan sering kalinya para penelaah kontemporer lebih terarah pada kesimpulan
umum hasil dari pencitraan tiga pendekatan sebelumnya yang kami nilai masih kurang
mewakili.[13]
Empat
metode pendekatan di atas menjadi pijakan umum dalam analisa turats
ushul fikih yang kami maksud, dan diimplementasikan secara acak menurut gaya
telaah personal dan kepekaan intelektual masing-masing bahitsin. Sedangkan
yang menjadi motivasinya adalah untuk memperkaya khazanah intelektual fikih
dari para fuqaha’ di masa klasik dengan lika-liku olah pemikirannya yang
cerdas, unik, dan tak jarang yang kontrofersial. Sehingga dalam melatih penerapan
ijtihad di era keninian, dan untuk merespons ragam bentuk fatwa yang berkembang
di masa ini agar kita dapat bersikap bijak dan tidak mudah terombang-ambing
oleh isu-isu provokatif. Dan, dari sini diharapkan dapat menjadi bagian dari
wujud pengamalan tradisi kemadzhaban yang bertanggung-jawab, dengan prinsip tawasuth
(jalan tengah), tawazun (keseimbangan dan keselarasan), tasamuh
(toleran), dan amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan
mencegah kemunkaran). Wallahu Waliyu al-Taufiq.... Wa Akhiru Da’wana Wallahu
A’lam bi al-Shawab....!!
Daftar
Buku Bacaan :
1. Abu Zahrah, Syekh Muhammad, Ushul
al-Fiq, (Kairo, Dar al-Fikr
al-‘Arabiy, 2004).
2. ___________________________, Tarikh
al-Madzahib al-Islamiyyah, (Kairo, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1996).
3. Ali Jum’ah, Prof. Dr.,al-Thariq ila
al-Turats al-Islamiy, (Kairo, Nahdlah Mashr, 2004).
4. Al-Dahlawi, Syah Waliyullah, Hujjatullah
al-Balighah, (Kairo, Maktabah Dar al-Turats, TT.).
5. Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut,
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 2006).
6. Abdurraziq, Dr. Musthafa, Tamhid li
Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, (Kairo, al-Hay’ah al-Maishriyyah
al-‘Ammah li al-Kitab, 2007).
7. Al-Zuhaili, Dr. Wahbah, Ushul al-Fiqh
al-Islamiy, (Damaskus, Dar al-Fikr, cet. III, 2005).
8. Al-Jabiri, Dr. Muhammad Abid, al-Turats
wa al-Hadatsah, (Beirut, Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, cet. III,
2006).
9. Al-Nasyar, Prof. Dr. Ali Sami, Manahij
al-Bahts ‘inda Mufakkiriy al-Islam, (Kairo, Dar al-Salam, cet. I, 2008).
10. Al-Marzuqi, Dr. Abu Ya’rab &
Al-Bouthi, Dr. M. Sa’id Ramadlan, Isykaliyyah Tajdid Ushul al-Fiqh, (Damaskus,
Dar al-Fikr, cet. I, 2006).
11. Balaji, Dr. Abdussalam, Tathawwur
‘Ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, (Mansuria, Dar al-Wafa’, cet. I, 2007).
12. Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah; Tahqiq
Dr. Ali Abdul Wahid Wafi, (Kairo, al-Hay’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li
al-Kitab, 2006).
13. Khalaf, Syekh Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul
al-Fiqh, (Kairo, Dar al-Hadits, 2003).
14. Khudlari Bik, Syekh Muhammad, Tarikh
al-Tasyri’ al-Islamiy, (Kairo, Mu’assasah al-Mukhtar, cet. I, 2007).
[1] Dr. Wahbah
Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, jilid 1, Dar al-Fikr, cet. III,
Damaskus, 2005, hal. 33
[2] Dan dalam
karya-karya kontemporer diantaranya- Syekh Muhammad Khudlari; Tarikh
al-Tasyri’ al-Islamiy, Ahmad Amin; Fajr al-Islam, Dr. Musthafa
Abdurraziq; Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, Syekh Muhammad
Abu Zahrah; Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, serta yang lain.
[3] Dari
contoh-contoh hukum di atas secara urut merupakan hasil ijtihad Qiyas,
Istishlah, dan terakhir berupa Istishhab. Tetapi di sini perlu
diperhatikan bahwa hukum-hukum yang ditetapkan oleh Sunnah Rasul tidak semuanya
berupa hasil ijtihad, tapi ada yang berupa wahyu Sunnah yang murni.
[4] Menurut
perhitungan angka yang diberikan oleh Abdul Wahab Khalaf dalam buku ‘Ilm
Ushul al-Fiqh (Kairo, Dar al-Hadits, 2003, hal. 29), ayat-ayat ahkam
berjumlah 368 ayat, dengan rincian : hukum ibadah = 140 ayat, hukum
rumah-tangga = 70 ayat, hukum perdata = 70 ayat, hukum pidana = 30 ayat, acara
pidana = 13 ayat, sistem negara = 10 ayat, aturan internasional = 25 ayat, dan
sistem ekonomi = 10 ayat. Dari jumlah 368 ini, hanya 228 atau 31,5 % merupakan
ayat yang mengurus soal hidup kemasyarakatan umat. Sedangkan hadits-hadits ahkam
banyak tertuang diantaranya dalam kitab Shahih Bukhari, Nailul
Authar; al-Saukani, Bulugh al-Maram dan syarahnya Subul
al-Salam; al-Shan’ani, dll., yang jumlahnya pun terbatas jika dibandingkan
problema sosial yang terus berkembang. Maka dengan fakta ini menuntut sebuah
gerakan ijtihad baik tempo dulu maupun di masa sekarang ini.
[5] Dr. Musthafa
Abdurraziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, al-Hay’ah
al-Mashriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, Kairo, 2007, hal.237
[6] Dr. Ali Sami
al-Nasyar, Manahij al-Bahts ‘inda Mufakkiriy al-Islam, Dar al-Salam,
cet. I, Kairo, 2008, hal. 61
[7] Adapun para
ulama yang menuliskan kitab ushul pada periode ini beserta judul-judul kitabnya
adalah sebagai berikut:
(a) Dari
madzhab Syafi’iyyah 11 orang; Yusuf al-Buwaithi (231
H.): المختصر الكبير , المختصر الصغير , كتاب الفرائض . Isma’il al-Mazni (264 H.); الجامع الصغير , الجامع الكبير , مختصر كتاب الأمّ ,
الترغيب فى العلم
. Ahmad ibn Suraij (306 H.); التقريب
بين المزنى والشافعى , الرد على محمد بن الحسن , الرد على عيسى بن أبان , جواب
القاشانى .
Abu Bakar al-Shairafi (330 H.); الإجماع , شرح
الرسالة .
Al-Qadli Muhammad ibn Sa’id (343 H.); الهداية فى الأصول , الرد على المخلفين . Hasan ibn Abu Hurairah (345 H.); لمسائل فى الفقه , شرح مختصر المزنى الكبير , شرح مختصر المزنى الصغير . Husain Abu Ali al-Thabari (350
H.); كتاب الأصول , المحرر فى الخلاف , الإيضاح فى المذهب . Abu Hamid al-Mazurudi (362 H.); شرح مختصر المزنى , الجامع فى الفقه الشافعية , الإشراف على اصول الفقه . Abu Bakar al-Qafal (365 H.); شرح الرسالة , اصول الفقه , محاسن الشريعة . Abu Bakar al-Shaimari (386 H.); القياس والعلل , أدب المفتى والمستفتى . Abu Bakar al-Daqaq (392 H.); أصول الفقه على مذهب الشافعى , فوائد الفوائد .
(b) Dari
madzhab Malikiyah 9 orang; Isma’il al-Juhdlami (282
H.); أحكام القرأن , الرد على محمد بن الحسن , الرد على
الشافعى , كتاب فى الأصول . Abul Hasan al-Asy’ari (340 H.); إثبات القياس , اختلاف الناس فى الاسماء والاحكام
والخاص والعام
. Al-Qadli Abul Faraj (331 H.); اللمع فى أصول
الفقه .
Bakar ibn Muhammad al-Qusyairi (344 H.); كتاب القياس ,
أصول الفقه , مآخذ الأصول , الرد على المزنى . Abu Bakar al-Abhari (375 H.); كتاب الأصول , إجماع أهل المدينة , الرد على المزنى , شرح المختصر لإبن عبد
الحكم .
Ibnu Khuwaiz Miqdad (390 H.); الجامع فى الأصول , كتاب
الخلاف .
Abul Hasan ibn al-Qishar (397 H.); عيون الأدلة فى
مسائل الخلاف بين علماء الأمصار , المقدمة فى أصول الفقه . Sa’ad ibn Muhammad al-Qairuwani (400 H.); المقالاات فى الأصول . Al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani (403 H.); التقريب والارشاد , التمهيد فى أصول الفقه , المقنع فى اصول الفقه .
(c) Dari
madzhab Mu’tazilah 5 orang; Ibrahim al-Nidham (231
H.); كتاب النكت ( أبطل فيه حجية الإجماع بما فى ذلك إجماع
الصحابة ) .
Abu Ali al-Jubba’i (303 H.); تفسير
القرأن , متشابه القرأن . Abu Hasyim al-Jubba’i (324 H.); الجامع الكبير
الابواب الكبير , الابواب الصغير , الإجتهاد . Muhammad ibn Abdullah al-Barda’i (350 H.); المرشد فى الفقه , الجامع فى الأصول , الناسخ والمنسوخ فى القرأن . Al-Qadli Abdul Jabbar
al-Hamdani (415 H.); العهد فى أصول الفقه , العمد فى أصول الفقه ,
المغنى ( قسم الشرعيات ) .
(d) Dari
madzhab Hanafiyah 5 orang; Isa ibn Abad (wafat 221
H.); إثبات القياس , خبر الواحد , اجتهاد الرأى . Ishaq al-Syasyi (325 H.); أصول الشاشى . Abu Manshur al-Maturidi (333 H.); من أخذ الشرائع فى الأصول , تأويلات القرأن فى التفسير . Ubaidillah al-Kurkhi (340 H.);
رسالة فى الأصول . Abu Bakar al-Jashosh (370 H.); أحكام القرأن , شرخ مختصر الكرخى فى الفقه , شرح مختصر الطحاوى , شرح
الجامع الكبير والصغير السيبانى .
(e) Dari
madzhab Dhahiriyah 2 orang; Dawud ibn Ali (270 H.); إبطال القياس , خبر الواحد , الخبر الموجب للعلم ,
كتاب الحجة , كتاب العموم , المفسر والمجمل الكافى فى مقالة المطلبى ( اى: الامام
الشافعى ) .
Muhammad ibn Dawud ibn Ali (297 H.); الوصول الى معرفة الأصول . Kemudian ada satu orang lagi tetapi ia beralih madzhab kepada
madzhab Syafi’iyyah, yaitu Muhammad ibn Ishaq (wafat setelah tahun 300
H.); الرد الى كتاب داود فى ابطال القياس , الفتيا الكبير , أصول الفتيا .
(f) Dari madzhab Thabariyah 1 orang, yaitu Al-Mu’afi ibn
Zakariya al-Nahrawani (390 H.); الحدود والعقود
فى أصول الفقه , شرح كتاب الخفيف للطبرى , الرد على الكرخى , الرد على داود
الظاهرى , أجوبة الجامع الكبير للشيبانى .
(g) Dari madzhab Hanabilah 1 orang, yaitu Abu Abdullah
al-Waraq (403 H.); الجامع فى المذهب , شرح أصول السنة , أصول الفقه .
[8] Ibnu
Khaldun, al-Muqaddimah (Tahqiq; Dr. Ali Abdul Wahid Wafi), jilid 3,
al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, Kairo, 2006, hal. 963
[9] Ibid.,
jilid 3, hal. 962
[10] Dr.
Abdussalam Balaji, Tathawwur ‘Ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, Dar
al-Wafa’, Mansuria, cet. I, 2007, 87
[11] Semenjak
abad kelima hingga kedelapan Hijriyah tercatat dalam sejarah sebagai “masa tertutupnya
pintu ijtihad”, tetapi dalam terma pemikiran ushul di kalangan ulama masih
tetap segar dengan dialektika pemikiran antara satu dengan yang lainnya. Dan,
munculnya adagium pintu ijtihad telah tertutup hanyalah sebagai bentuk tindak
preventif (Sad al-Dzari’ah) yang ditujukan untuk kalangan awam. Yaitu
demi menjaga ajaran Islam dari berbagai penyimpangan dan kesalah-pahaman yang
dimunculkan oleh pihak-pihak yang kurang dalam kapabilitas keilmuannya.
Waliyullah al-Dahlawi dalam al-Inshaf fi Bayani Masa’il al-Khilaf
memberikan contoh lain berupa pengharaman talfiq (pindah madzhab) di
periode ini, yang didasarkan dengan pertimbangan kemaslahatan untuk masyarakat
secara umum.
[12] Dr. Muhammad
Abied al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah, Markaz Dirasat al-Wihdad
al-Arabiyah, cet. III, Beirut, 2006, hal. 32-33
[13] Dr. Ali
Jum’ah Muhammad, al-Thariq ila al-Turats al-Islamiy, Nahdlah Mashr,
Kairo, 2004, hal. 190
Komentar
Posting Komentar