WALI NIKAH DALAM HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya dibumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun.
Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawian. Allah tidak menjadikan manusia seperti mahkluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa beraturan. Maka dari itu, Agama Islam sangat memperhatikan tentang perakawinan, terlebih pada syarat dan rukun perkawinan, diantaranya adalah adanya pasangan (calon suami dan istri), Ijab Qabul, Wali, dan dua orang saksi yang adil.
Akan tetapi, pembahasan dalam malakah ini, penulis akan mencoba untuk menjelaskan salah satu dari syarat dan rukun perkawinan tersebut, yaitu tentang Wali dan berbagai macam problematikanya. Karena, Ada sebagian ulama'  berpendapat pernikahan tanpa wali adalah tidak sah, maka otomatis wali sangat di butuhkan dalam pernikahan (wajib adanya wali). Sedangkan pada sisi lain mengatakan bahwa tanpa wali pernikahan tetap sah dengan syarat harus memuhi kriteria lain.


B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian wali dalam perkawinan?
2.      Bagaimana kedudukan wali sebagai salah satu rukun nikah dalam pandangan ulama?
3.      Apa sajakah syarat dan macam-macam wali dalam perkawinan?



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Wali dalam Perkawinan
Secara umum wali adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertidak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak atas harta atau atas dirinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong.[1] Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan  pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).[2] Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian  bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.[3]

B.  Kedudukan Wali Sebagai Salah Satu Rukun Nikah
Di dalam hukum islam perkawinan tidak sah jika tidak dilasanakan oleh wali dan disaksikan oleh dua orang saksi. Karena itu sudah menjadi syarat dan rukun dalam pernikahan. Begitu juga dalam keteranga KHI pasal 19 menyatakan bahwa “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.[4]
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan.  Imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali berpendapat, jika wanita yang baligh dan berakal sehat tersebut masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya itu ada pada wali. Akan tetapi jika ia janda, maka hak tersebit ada pada keduanya; wali tidak boleh mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itupun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali. Namun, pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang diucapkan hanya oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuan.[5] Begitupun juga pendapat para jumhur ulama’ yang menetapkan bahwa wali merupakan salah satu dari rukun perkawinan. Dengan tidak adanya wali pekawinan tersebut di anggap batal bahkan tidak sah.
Adapun dasar dari pendapat Mazhab dan para jumhur ulam’ tersebut adalah berlandasan pada Hadis Nabi dari Abu Burdsah bin Abu Musa menurut riwayat Ahmad dan lima perawi hadis yang bunyinya:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
 “tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali”
Disamping itu sebagaimana juga disebutkan pada Hadis Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadis selain Nasa’i:

يُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا.
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali”

Kemudian Hadis Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi:

لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِيْ تُزَوِّجُ نَفْسَهَا
Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak boleh pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri”.
Penafikan di dalam hadis teresebut tertuju kepada keabsahan pernikahan. Karena ia merupakan makna yang paling dekat dari pokok persoalan ini.[6]
Sedangkan dalam prespektif Mazhab Hanafi tidak mensayratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi. Wali dalam  pandangan Hanafi adalah syarat untuk mengawinkan perempuan dari keturunan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan awam. Anak kecil, budak dan dan orang gila tidak mendapatkan wali. Karena bagaimana mereka akan menjadi wali, sedangkan untuk menjadi wali dirinya sendiri mereka sendiri tidak mampu. Adapun alasan golongan Hanafiah tidak mewajibkan adanya wali bagi perempuan dewasa dan sehat akal, menanggapi hadis yang tertera di atas dengan menyatakan bahwa hadis tersebut mengandung dua arti: pertama, tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali, buakn berarti tidak sah. Kedua, bila kata tidak itu di artikan tidak sah, maka arahnya kepada perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya, karena terhadap dua peremuan tersebut ulama Hanafiah seperti ulama jumhur, juga mewajibkan adanya wali.
Sedangkan pandang terhadap Hadis Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadis selain Nasa’i ulama hanafiyah mengatakan bahwa perkawinan yang batal itu adalah bila perkawinan dilakukan tanpa seizin wali, bukan yang mengawinkannya hanyalah wali. Hadis yang melarang perempuan mengawinkan dirinya atau perempuan lain itu adalah perempuan yang masih kecil sedangkan yang sudah dewasa boleh saja mengawinkan dirinya sendiri.[7]
Adapun dasar hukum yang dipakai dalam pandangan mazhab Hanfiyah adalah:
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 232:
Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør&  .......
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya..”[8]

Hadis Nabi dari Ibn Abbas menurut riwayat Muslim:
الأ يِّمُ  اًحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِهَا
“ orang lajang (Aiyim) lebih berhak atas diri mereka ketimbang walinya”
Al-aiyim: adalah orang yang tidak punya pasangan hidup, perawan maupun janda, laki-laki maupun perempuan.
Juga hadis dari ibn Abbas menurut riwayat Abu Daud, al-Nasa’i dan disahkan oleh ibn Hibban:
ليس للو لي مع الثيب امر
tidak urusan wali terhadap perempuan yang sudah janda”[9]
Dua hadis di atas digunakan oleh ulama Hanafiyah dan pengikutnya untuk menguatkan pendapatnyadalam memahami ayat al-Qur’an di atas.

C.  Syarat dan Macam-macam Wali dalam Perkawinan
1.      Syarat-syarat menjadi wali
Wali sangat bertanggung jawab atas sah dan tidaknya perkawinan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali. Dan hendaklah orang-orang yang memenuhi syarat berikut ini:


·         Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinnya”(HR. Ibnu Majah dan Daruquthni ).
·         Muslim
Tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Imran ayat 28:
žw ÉÏ­Gtƒ tbqãZÏB÷sßJø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# uä!$uŠÏ9÷rr& `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$# ( `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ }§øŠn=sù šÆÏB «!$# Îû >äóÓx« HwÎ) br& (#qà)­Gs? óOßg÷ZÏB Zp9s)è? 3 ãNà2âÉjyÛãƒur ª!$# ¼çm|¡øÿtR 3 n<Î)ur «!$# 玍ÅÁyJø9$# ÇËÑÈ  
“janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).”
·         Baligh dan berakal
Dalam arti anak kecil (kurang dari 15 tahun) atau orang gila (tidak berakal) tidak berhak menjadi wali. Sebagaiman hadis Nabi yang artinya: “ diangkatlah kalam (tidak diperhitungkan secara hukum) seseorang yang tertidur sampai ia bangun, seseorang yang masih kecil sampai ia dewasa, dan orang gila sampai ia sehat.”
·         Orang yang merdeka (tidak dalam pengampuan)
Alasannya ialah bahwa orang yang berada dalam pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.[10]
·         Adil
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak  bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang
adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
·         Tidak sedang ihram untuk haji ataupun umrah. Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi dari Usman menurut riwayat muslim:
“orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang”.[11]
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa  persyaratan wali nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah: merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam.[12]



2.      Macam-macam wali
Secara umum wali dalam pernikahan ada tiga macam, yaitu:
a.      Wali nasab
Wali nasab urutannya adalah sebagai berikut:
·         Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
·         Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
·          Saudara laki-laki sebapak
·          Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
·          Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
·          Paman (saudara dari bapak) kandung
·          Paman (saudara dari bapak) sebapak
·          Anak laki-laki paman kandung
·          Anak laki-laki paman sebapak
Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib. [13]
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai  perempuan yang mempunyai hubungan darah patrinial dengan calon mepelai perempuan. Wali nasab terbagi menjadi dua:
a)    wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya utnuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta izin kepada wanita yang bersangkutan hak yang di miliki oleh mujbir di sebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini menurut imam syafi'i hanya ayah, kakek dan seterusnya keatas. Para ulama' berpendapat bahwa wali mujbir dapat mempergunakan hak ijbar, apabila terpenuhi yarat sebagai berikut:
·         Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada  permusuhan.
·         Laki-laki pilihan wali harus sekufu' dengan wanita yang akan di kawinkan .
·         Di antara calon mempelai tidak ada permusuhan.
·         Maharnya tidak kurang dari mahar mistsil.
·         Laki-laki pilihan wali akan memenuhi kewajiban terhadap istri dan tidak ada kekawatiran menyengsarakan.
b)      wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menikah tanpa izin/ persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wal ini tidak memunyai kewenangan mempergunakan hak ijbar.[14]

b.      Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk  bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:
·         Wali nasab memang tidak ada.
·         Wali nasab bepergian jauh atau tidak ditempat, tetapi tidak memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada di tempat.
·         Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
·         Wali nasab sedang berihram haji/umrah.
·         Wali nasab menolak bertindak sebagai wali.
·         Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan di bawah  perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorangperempuan dengan saudara laki-laki sepupunya,kandung atau seayah.[15]
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.


c.       Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calonsuami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lainyang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentangmunakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[16]

Selain yang sudah dijelaskan secara umum di atas, terdapat juga beberapa macam wali dalam pernikahan. Akan tetapi wali tersebut masih dalam kategori wali nasab. Seperti yang terjadi dalam kasus sekarang ini, selain wali mujbir, terdapat juga wali adhal, wali ghoib. Adapun pengertian dari wali-wali dalam penikahan tersebut adalah:
1.      Wali ghoib (wali yang tidak ada ditempat)
Seperti wali-wali yang sudah dijelaskan di atas, yang lebih dekat hubungan kerabatnya didahulukan dari pada yang lebih jauh. Mapabila wali yang lebih dekat (akrab) itu ghoib (ada tapi jauh) dari perempuan yang akan dinikahi, sejauh perjalanan qhosor, dan ia tidak mempunyai wakil, maka perempuan itu boleh dinikahkan oleh hakim karena wali yang ghoib masih tetap wali, belum berpindah kepada yang lebih jauh hubungannnya. Ini menurut mazhab Syafi’i.
Sedagkan pendapat Abu Hanifah, perenpuan itu dinikahkan oleh wali yang jauh hubungannya dari wali yang ghoib, menurut susunan wali yang sudah dijelaskan di atas. Seandainnya wali yang ghoib itu bapak, maka yang menikahkan perempuan itu adalah kakeknya, bukan hakim. Atau yang ghoib itu kakeknya, maka yang menikahkannya adalah saudara seibu sebapakdan seterusnya menurut susunan wali. Alasan mazhab ini adalah: pertama, karena wali yang jauh hubungannya itu juga seperti wali yang dekat, hanya yang dekat itu lebih didahulukan karena ia lebih utama. Maka apabila ia tidak dapat menjalankannya, keutamaannya itu hilang dan berpindah kekuasaanya kepada wali yang lain meurut susunan yang semestinya. Kedua, hakim itu wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali, sedangkan dalam hal ini selain yang ghoib itu ada, maka hakim belum berhak menjadi wali karena walinya masih ada.[17]
2.      Wali adhal
Pada dasarnya hak untuk menjadi wali dalam perkawinan ada ditangan wali aqrab, atau norang yang mewakili wali aqrab atau orang yang diberi wasiat untuk menjadi wali. Hanya wali aqrab saja yang berhak mengawinkan perempuan yang dalam perwaliannyan dengan orang lain. demikian pula ia berhak melarangnya kawin dengan seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima, misalnya suami tidak sekufu atau karena si perempuan sudah dipinang orang terlebih dahulu, atau jelek akhlaqnya, atau cacat badan yang menyebabkan perkawinannya dapat difasakhkan. Dalam hal ini wali aqrab adalah yang berhak menjadi wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada orang lain, hingga kepada hakim sekalipun.
Tetapi apabila wali tidak bersedia mengawinkan tanpa alasan yang sudah yang dapat diterima, padahal si perempuan sudah mencintai betul bakal suaminya karena telah mengenal kafa’ahnya, baik agamanya, budi perketinya. Wali yang enggan menikahkannya ini dinamakan wali adhal zhalim.
Para ulama sepndapt bahwa wali tidak boleh enggan menikahkan perempuan yang dalam perwaliannya, tidak boleh menyakitinya atau melarangnya kawin, padahal yang akan mengawininya itu sudah sejufu (sepadan) dan sanggup membayar maskawin. Dalam hal seperti ini jika walinya enggan menikahkan, maka si perempuan berhak mengadukan kepada hakim untuk dinikahkan. Dalam hal ini wali yang enggan menikahkan itu tidak berpindah kepada wali yang lain yang lebih rendah tingkatannya, tetapi langsung berpindah kepada hakim.[18]
Sedangkan urutan-urutab wali dalam pandangan Imam Mazhab adalah sebagai berikut:
1.    Menurut Mazhab Hanafi adalah sebagai berikut:
·         Anak laki-laki, cucu laki-laki seterusnya sampai ke bawah
·         Ayah, kakek (ayah dari ayah) dan seterusnya sampai ke atas
·         Saudara laki-laki yang sekandung
·         Saudara laki-laki yang seayah
·         Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung;
·         Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah;
·         Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung;
·         Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah;
·         Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung
·         Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah.
2.    Mazhab Maliki
·         Ayah (al-Ab)
·         Al-Washi yaitu orang yang menerima wasiat dari ayah (al-Ab) untuk menjadi wali nikah.
·         Anak laki-laki, meskipun itu hasil dari hubungan perzinaan.
·         Cucu laki-laki.
·         Saudara laki-laki yang sekandung.
·         Saudara laki-laki yang seayah;
·         Anak laki-laki dari saudara yang sekandung;
·         Anak laki-laki dari saudara yang seayah;
·         Kakek yang seayah;
·         Paman yang sekandung dengan ayah;
·         Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah;
·         Anak laki-laki dari paman yang seayah dengan ayah;
·         Ayah dari kakek.
3.    Mazhab Syafi’iyyah
·         Ifiiu Ayah kandung
·         Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalam garis laki-laki;
·         Saudara laki-laki sekandung;
·         Saudara laki-laki seayah;
·         Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
·         Anak laki-laki saudara laki-laki yang seayah;
·         Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;
·         Anak laki-laki dari anak laki-laki seayah;
·         Saudara laki-laki ayah kandung;
·         Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah);
·         Anak laki-laki paman sekandung;
·         Anak laki-laki paman seayah
·         Saudara laki-laki kakek sekandung;
·         Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung;
·         Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.
4.    Mazhab Hanbali
·         Bapak (al-Ab)
·         Washi dari bapak setelah meninggalnya
·         Hakim ketika dalam keadaan tertentu
Ketiga wali inilah yang dijadikan sebagai wali mujbir, menurut Imam Hambali.

Sedangkan wali aqrāb dari nasab menurut Imam Hambali adalah sebagaimana dalam hal waris antara lain:

·         Bapak
·         Kakek (ayah bapak) sampai derajat ke atas
·         Anak laki-laki
·         Cucu laki-laki dari anak laiki-laki sampai derajat ke bawah
·         Bapak Kakek (ayah bapak) sampai derajat ke atas
·         Anak laki-laki
·         Cucu laki-laki dari anak laiki-laki sampai derajat ke bawah
·         Paman (saudara laki-laki bapak sekandung)
·         Paman (saudara laki-laki dari ayah yang seayah)
·         Saudara sepupu (anak laki-laki saudara laki-laki ayah sekandung)
·         Saudara sepupu (anak laki-laki saudara laki-laki yang seayah)ke bawah
·         Paman-pamannya kakek
·         Anak-anak pamannya kakek[19]
Pendapat pemakalah:
Sebagai pinjakan awal pembahasan masalah ini perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang syarat-rukun pernikahan seperti halnya yang sudah dijeaskan di atas. Bahwa yaang menentukan sah tidaknya suatu akad adalah: adanya calon suami dan calon istri yang saling rela untuk menak, wali dari calon istri, dua orang saksi yang adli dan lafad ijab qabul yang jelas. Dari ketentuan tersebut yang lebih urgen dibahas saat ini adalah mengenai wali.
Memang tidak ada satu ayat al-qur’an pun yang jelas secara ibarat al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Namun dalam al-Qur’an terdapat nash ibarat-nya tidak menunjukan kepada keharusan adanya wali, tetapi dari ayat tersebut dari isyarat nash dapat dipahami menghendaki adanya wali. Disamping itu, terdapat pula ayat-ayat al-Qur’an yang dipahami bahwa perempuan dapat melaksanakan sendiri perkawinannya.
Diantaranya adalah al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya wali adalah  surat a-Baqarah ayat 232.
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4s1ør& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇËÌËÈ  
apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Surat al-Baqarah ayat 221:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ  
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Surat an-Nur ayat 32:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ  
dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian  diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
Ibarat nash ketiga ayat tersebut di atas tidak menunjukan keharusan adanya wali, karena yang pertama larangan menghalangi perempuan yang habis iddahnya untuk kawain, ayat kedua larangan perkawinan antara perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik, sedangkan ayat ketiga suruan untuk mengawinkan orang-orang yang masih bujang. Namun karena dalam ketiga ayat tersebut berkenaan dengan perkawinan dialamtkan kepada wali, dapt pula dipahami daripada keharusan adanya wali dalam perkawian.
Sebagaiamana pendapat para jumhur ulama dan ulama mahzab syafi’i yang mewajibkan adanya wali dalam akad nikah. Artinya pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali, nikahnya tidak sah. Karena berkenaan dengan kawin dan mengawinkan menurut jumhur ulama dan ulama mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali  bahwa Allah mengalamatkan ayat di atas titahnya kepada wali. Sebab dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat Arab waktu turun ayat tersebut perkawianan itu berada ditangan wali. Ayat-ayat tersebut sepertiya memberikan pengukuan (taqrir) adanya wali. Dan kemudian didukung juga denga beberapa hadis yaang sudah dijelaskan di atas, antara lain:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
 “tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali”
Disamping itu sebagaimana juga disebutkan pada Hadis Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadis selain Nasa’i:

يُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا.
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali”

Kemudian Hadis Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi:

لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِيْ تُزَوِّجُ نَفْسَهَا
Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak boleh pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri”.
Disamping itu pemakalah mencoba menambahi tentang hal  ini bahwa pemakalah berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun  perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu  perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal). Selain itu,perkawinan itu mempunyai  beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini  benar-benar tercapai dengan sempurna.
Kemudian menanggapi pendapat ulama Mazhab Hanbali yang berpendapat bahwa tidak mensayratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi. Wali dalam  pandangan Hanafi adalah syarat untuk mengawinkan perempuan dari keturunan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan awam. Dengan berlandasan pada ayat dan hadis yang telah di jelaskan di atas: “wa la ta’duluuhunna an yankihna azwajahunna” dan hadis : “al aimu ahaqqu binafsihaa min waliyyiha”. Menurut sepahaman pemakalah disamping dari dasar ayat dan hadis tersebut Ulama’ Mazhab Hanifa pada saat itu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan  dalam menetapkan suatu hukum. Yaitu Kufah tempat kelahiran Imam Hanafi.
Berbeda dengan  masyarakat di Madianah yang mana masyrakat Madinah berpegang teguh pada konsep hukum kekuasan Arab, sementara di Kufah tradisi tersebut tidak ada, karena suasana disana lebih kosmopolitan dan masyarakatnta heterogen. Meskipun kaum perempuan kendati menduduki posisi yang lebih rendah dibanding pria perempuan yang sudah cakap atau yang pernah melakuakn perkawinan dan gagal( janda) boleh menikahnkan dirinya sendiri tanpa menyertakan wali. Jadi keimpulannya, perbedaan pendapat tersebut di samping berdasarkan hukum di atas tapi juga di pengaruhi oleh keadaan masyarakat atau adat yang tidak bertentangan dengan syari’at.




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.    Pengertian  bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.
2.    Pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan.  Imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali berpendapat, jika wanita yang baligh dan berakal sehat tersebut masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya itu ada pada wali. Akan tetapi jika ia janda, maka hak tersebit ada pada keduanya; wali tidak boleh mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itupun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali. Namun, pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang diucapkan hanya oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuan.[20] Begitupun juga pendapat para jumhur ulama’ yang menetapkan bahwa wali merupakan salah satu dari rukun perkawinan. Dengan tidak adanya wali pekawinan tersebut di anggap batal bahkan tidak sah.
Sedangkan dalam prespektif Mazhab Hanafi tidak mensayratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi. Wali dalam  pandangan Hanafi adalah syarat untuk mengawinkan perempuan dari keturunan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan awam. Anak kecil, budak dan dan orang gila tidak mendapatkan wali. Karena bagaimana mereka akan menjadi wali, sedangkan untuk menjadi wali dirinya sendiri mereka sendiri tidak mampu.
Disamping itu pemakalah mencoba menambahi tentang hal  ini bahwa pemakalah berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun  perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu  perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal). Selain itu,perkawinan itu mempunyai  beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini  benar-benar tercapai dengan sempurna.
3.    Adapun syarat-syarat menjadi wali adalah Laki-laki, Muslim, Baligh dan Berakal, Merdeka, tidak dalam Ihram, adil.
Sedangkan macam-macam wali adalah wali nasab, wali hakim  dan wali muhakkam.


DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin , Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009.
Hadi Kusuma , Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Undang-undang Hukum Adat Hukum Agama. Bandung: CV Bandar Maju, 2007.
Kompilasi Hukum Islam......Pasal 19.
Jawad  Mughniyah, Muhammad. Fiqh Lima Mazdhab. Jakarta: Penerbit Shaff, 2011.
Syaid Sabiq, Muhammad Tarjamah Fiqh Sunnah jilid 3. Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013.
Al Hamidi. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 2011.
Anshori ,Abdul Ghofur. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2011.
Ramulyo ,Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara,1999.
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqy. Fiqh Empat Mazhab, terjemaha. Jakarta: Pustaka Amani, 2012.


[1] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), 69.
[2] Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Undang-undang Hukum Adat Hukum Agama, (Bandung: CV Bandar Maju, 2007),88-89.
[3] Ibid, 69.
[4] Kompilasi Hukum Islam......Pasal 19.
[5] Muhammad Jawad  Mughniyah, Fiqh Lima Mazdhab, (Jakarta: Penerbit Shaff, 2011), 374.
[6] Muhammad Syaid Sabiq, Tarjamah Fiqh Sunnah jilid 3,( Tinta Abadi Gemilang, 2013), 327-328.
[7] Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),60-61.
[8] Ibid, 375.
[9] Ibid 73.
[10] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), 383-384.
[11] Ibid, 77-79.
[12] Ibid, 371.

[14] Al Hamidi, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2011), 113-114.
[15] Abdul Ghofur Anshori,Hukum Perkawinan Islam,(Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 42
[16] M. Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999, cet. Ke-2), hal. 25
[17] Ibid, 388.
[18] Ibid, 120-121.
[19] Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqy, Fiqh Empat Mazhab, terjemaha. (Jakarta: Pustaka Amani, 2012), hlm 79.
[20] Muhammad Jawad  Mughniyah, Fiqh Lima Mazdhab, (Jakarta: Penerbit Shaff, 2011), 374.

Komentar

PERPECAHAN POLITIK ISLAM DAN DAMPAKNYA DI BIDANG TEOLOGI

A.   Pengantar Sukses Nabi membangun sistem pemerintahan baru di Madinah dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya dengan mengembangkan sistem politik Islam dan melakukan perluasan wilayah secara besar-besaran. Bersamaan dengan itu, jalan peyebaran dakwah Islam semakin licin dan terbuka. Tidak ada rintangan lagi bagi bangsa manapun untuk berbodong-bondong memeluk Islam. Karena hambatan-hambatan struktural dan politis yang sering mengintimidasi psikologi masyarakat awam dalam menentukan pilihan keyakinannya telah berhasil dilumpuhkan oleh umat Islam yang telah tumbuh menjadi kekuatan alternatif menggantikan imperium Romawi dan Persia yang sudah kropos. [1] Keberhasilan kaum muslimin membangun imperium yang luas, maju dan tangguh memberi kesan yang kuat bahwa, mengutip kata-kata Nurcholish Madjid, “salah satu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal penampilannya, ialah kejayaan dibidang politik”.“Kendati demikian…”, lanjut Nurcholish, “sejarah mencatat dengan penuh kesedi...