NASAB DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam konsteks
hukum perdata islam kita tidak akan pernah lepas dari yang namanya hubungan
nasab. Karena dari sebab nasab tersebut kita akan mengetahui perwalian
seseorang dan kewarisan seseorang.
Persoalan nasab
merupakan masalah yang sangat penting, tidak saja dalam kajian-kajian akademik,
tetapi juga di dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pemahaman yang berkembang
di tengah-tengah masyarakat Indonesia secara umum adalah bahwa setiap anak yang
terlahir dari hasil perzinaan, maka anak itu dipahami sebagai anak yang tidak
memiliki hubungan nasab dengan laki-laki (bapak zinanya) yang menzinai ibu anak
tersebut. Meskipun sebelum anak itu terlahir, sang ibu telah melakukan
pernikahan dengan laki-laki yang menzinai ibu anak tersebut.
Disamping itu,
Kedudukan nasab anak sah dan tidak sah sampai saat ini masih menjadi
kontroversi. Pandangan mainstream mengatakan bahwa konsep agama tentang anak
sah telah jelas, yaitu ketika telah memenuhi dua syarat: pertama, adanya ikatan
perkawinan yang sah, dan kedua, adanya masa minimal kehamilan, yaitu 6 bulan.
Sedangkan dalam Hukum Indonesia, baik dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), mendefinisikan anak yang sah
sebagai anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Tentu saja ketentuan ini menimbulkan kegelisahan dan keberatan di kalangan ahli
hukum Islam Indonesia.
Persoalan
menjadi bertambah kompleks seiring dengan realitas zaman yang terus berubah.
Arus globalisasi pada berbagai aspek kehidupan manusia telah membuka
sekat-sekat budaya masyarakat dunia antar satu dengan lainnya. Kemajuan
teknologi dan kebebasan informasi membawa implikasi, baik positif maupun
negatif. Maka dari itu, dalam pembahasan makalah ini penulis akan mencoba
menjelaskan tentang sebab-sebab penentuan nasab, kemudian tentang nasab bayi
tabung serta nasab dalam kajian Maqasid al-Syari’ah.
B. Rumusan masalah
1. Apa
pengertian Nasab dalam Pandangan Islam?
2. Apa
yang menjadi dasar hukum nasab?
3. Bagaimana
sebab-sebab penentuan nasab?
4. Bagaimana
nasab bayi tabung ?
5. Bagaimana
kajian Maqasid al-Syari’ah tentang nasab?
BAB
II
PEMBSHASAN
A. Pengertian Nasab
Kata nasab
berasal dari bahasa Arab yakni kata “an-Nasab” yang memiliki arti dalam bahasa
Indonesia yakni keturunan atau kerabat. Kata nasab juga berarti memiliki ciri
atau atau memberikan karakter keturunannya. Adapun dalam kamus besar bahasa
Indonesia kata nasab itu sendiri tidak memiliki perbedaan arti atau pergeseran
makna. Nasab dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya keturunan terutama
keturunan dari pihak bapak.[1]
Dalam al-Qur’an
disebutkan dalam tiga tempat tentang nasab, antara lain: peetama: surat
al-Furqon ayat 54:[2]
uqèdur
Ï%©!$#
t,n=y{
z`ÏB
Ïä!$yJø9$#
#Z|³o0
¼ã&s#yèyfsù
$Y7|¡nS
#\ôgϹur
3 tb%x.ur
y7/u
#\Ïs%
ÇÎÍÈ
“Artinya:dan
Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.”
Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang
berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua dan sebagainya.
Kedua: surat
as-Shaffat 158:[3]
(#qè=yèy_ur
¼çmuZ÷t/
tû÷üt/ur
Ïp¨YÅgø:$#
$Y7|¡nS
4 ôs)s9ur
ÏMyJÎ=tã
èp¨YÅgø:$#
öNåk¨XÎ)
tbrç|ØósßJs9
ÇÊÎÑÈ
“Artinya:
Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. dan
Sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka
).”
Ketiga: al-Mu’minun
ayat 101:[4]
#sÎ*sù
yÏÿçR
Îû
ÍqÁ9$#
Ixsù
z>$|¡Sr&
óOßgoY÷t/
7ͳtBöqt
wur
cqä9uä!$|¡tFt
ÇÊÉÊÈ
“Artinta:
Apabila sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara
mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.”
(Maksudnya: pada hari
kiamat itu, manusia tidak dapat tolong menolong walaupun dalam kalangan
sekeluarga).
Sedangkan
menurut istilah, Muhammad Ali Ash-Shabuni mengartikan bahwa nasab adalah
legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertaliandarah, sebagai salah
satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid , atausenggama syubhat
(zina). Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubunganseorang anak
dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebutmenjadi salah
seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak
mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. Sepertihukum waris,
pernikahan, perwalian dan lain sebagainya.[5]
Selain itu, Abi
Husain Ahmad Ibnu Faris Zakaria, menyebutkan bahwa arti nasab ialah ittishâlu
syai’in bi syai’in (اتصال بشئ شئ) “hubungan sesuatu dengan sesuatu yang
lain”.[6]
M. Mutawali Sya’rawi memahaminya sebagai berikut, disebabkan nasab adalah
proses pindahnya dari bawah ke atas dari pria, menjadilah si fulan bin fulan.
Nasab berasal dari pihak pria.[7]
Kemudian M. Quraish Shihab mengartikan nasab hanya sebagai bentuk keturunan
dari laki- laki.[8]
Sementara itu,
Wahbah az-Zuhayli mendefinisikan nasab sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk
meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau
pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya, seorang
anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya.
Dengan demikian, orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu
pertalian darah. Lebih lanjut, Wahbah al-Zuhayli menegaskan bahwa “hubungan
nasab seorang anak ditetapkan kepada ibunya dalam keadaan apapun baik dilahirkan
secara syar’i atau tidak.[9]
Pendapat Wahbah az-Zuhayli tersebut hasil dari pemikiran beliau ketika menafsirkan surah al-Furqân ayat 54.
Penjelasan dan
pengertian nasab tersebut dapat dipahami bahwa nasab itu berarti hubungan darah
antara seseorang dengan yang lainnya, baik jauh maupun dekat. Namun, jika
membaca literatur hukum Islam, maka kata nasab itu akan menunjuk pada hubungan
keluarga yang sangat dekat, yaitu hubungan anak dengan orang tua, terutama
orang tua laki-laki. Kemudian jika Nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat
didefinisikan sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak
dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah.
B. Dasar hukum Nasab
Dalam pembahasan
mengenai nasab, urgensi yang sangat penting dilihat dari ketika Nabi Muhammad
SAW pada waktu itu telah mengangkat anak yang bernama Zaid bin Haritsah.
Setelah itu, Nabi menasabkan anak tersebut kepadanya. Lalu ketika itu juga Nabi
mendapat teguran dari Allah SWT dan kemudian turunlah ayat sebagai berikut:[10]
$¨B
@yèy_
ª!$#
9@ã_tÏ9
`ÏiB
Éú÷üt7ù=s%
Îû
¾ÏmÏùöqy_
4 $tBur
@yèy_
ãNä3y_ºurør&
Ï«¯»©9$#
tbrãÎg»sàè?
£`åk÷]ÏB
ö/ä3ÏG»yg¨Bé&
4 $tBur
@yèy_
öNä.uä!$uÏã÷r&
öNä.uä!$oYö/r&
4 öNä3Ï9ºs
Nä3ä9öqs%
öNä3Ïdºuqøùr'Î/
( ª!$#ur
ãAqà)t
¨,ysø9$#
uqèdur
Ïôgt
@Î6¡¡9$#
ÇÍÈ öNèdqãã÷$#
öNÎgͬ!$t/Ky
uqèd
äÝ|¡ø%r&
yZÏã
«!$#
4 bÎ*sù
öN©9
(#þqßJn=÷ès?
öNèduä!$t/#uä
öNà6çRºuq÷zÎ*sù
Îû
ÈûïÏe$!$#
öNä3Ï9ºuqtBur
4 }§øs9ur
öNà6øn=tæ
Óy$uZã_
!$yJÏù
Oè?ù'sÜ÷zr&
¾ÏmÎ/
`Å3»s9ur
$¨B
ôNy£Jyès?
öNä3ç/qè=è%
4 tb%2ur
ª!$#
#Yqàÿxî
$¸JÏm§
ÇÎÈ
“Allah
sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan
Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang
demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”(QS. al-Ahzab ayat 4-5).
Zhihar ialah
Perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti
punggung ibuku atau Perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat
kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila Dia berkata demikian kepada
Istrinya Maka Istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi
setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan
istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).
Maula-maula
ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah
dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula
Huzaifah.
Adapun dasar
hukum mengenai nasab telah dijelaskna dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 72 :[11]
ª!$#ur
@yèy_
Nä3s9
ô`ÏiB
ö/ä3Å¡àÿRr&
%[`ºurør&
@yèy_ur
Nä3s9
ô`ÏiB
Nà6Å_ºurør&
tûüÏZt/
Zoyxÿymur
Nä3s%yuur
z`ÏiB
ÏM»t6Íh©Ü9$#
4 È@ÏÜ»t6ø9$$Î6sùr&
tbqãZÏB÷sã
ÏMyJ÷èÏZÎ/ur
«!$#
öNèd
tbrãàÿõ3t
ÇÐËÈ
Artinya:“Allah menjadikan bagi kamu
isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri
kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik.
Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah
?"
Kemudian
terdapat juga dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
عن
ابى هريره رضي الله عنه , ان النبي صلى الله عليه وسلم , قال: الولد للفراش وللعاهر
الحجر
Artinya:“Dari Abi Hurairah r.a.
bahwasanya Nabi saw. Pernah berkata: Anak zina itu ialah untuk ibunya dan
laki-laki yang berzina itu berhak dilempar batu”. (HR. Muslim).[12]
Begtiu juga dijelaskan dalam KHI pasal
99 dijelaskan anak yang sah adalah:
1. Anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
2. Hasil
pembuahan suami istriyang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Kemudain Pasal 100 Kompilasi Hukum
Islam bahwa :”anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”[13]
Serta dalam UU
Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 42 dan
pasal 43 ayat 1 sebagai berikut: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Adapun anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.[14]
Sementara itu,
Amir Syarifuddin menyebutkannya dengan “kalau nasab kepada ibunya bersifat
alamiah, maka (nasab) anak kepada ayah adalah hubungan hukum; yaitu terjadinya
peristiwa hukum sebelumnya, dalam hal ini adalah perkawinan”.[15]
C. Sebab-sebab Penentuan Nasab dalam Hukum Islam
Dalam ketentuan
syari’at islam ada beberapa point dasar yang menjadi sebab-sebab penentuan
nasab, antara lain:
1. Hubungan
perkawinan yang sah
Perkawinan yang
dimaksud di sini ialah perkawinan yang resmi antara laki-laki dan perempuan
yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum serta agama.[16]
Sebagaimana dijelasakan dalam KHI pasal 4 yaitu:[17]
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sengan pasal 2
ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi:[18]
(Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu). Dan juga KHI pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: “agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus
dicatatkan”, ayat (2) yang berbunyi: “pencatatan perkawinan tersebut pada ayat
(1) dilakukan oleh pegawai pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang No.22 Tahun 1946 Undang-undang No.32 Tahun 1954.[19]
Jadi, jika hubungan
antara laki-laki dan perempuan tersebut kemudian menghasilkan seorang anak,
maka anak yang dilahirkan tersebut adalah anak sah. Dengan arti bahwa bapak dan
ibu dari anak tersebut telah diketahui pasti sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum
dan agama.[20]
Dalam pandangan fuqoha sebgaimana
penjelasan di atas, bahwa dasar hukum yang digunakan ialah hadis Nabi yang
berbunyi:
الولد
للفراش وللعاهر الحجر
Anak zina itu ialah untuk ibunya dan
laki-laki yang berzina itu berhak dilempar batu”. (HR. Muslim).[21]
Akan tetapi, dalam
pendapat fuqoha tidak hanya terbatas pada penjelasan di atas saja. Ada beberapa
syarat dan ketentuan anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dinasabkan
kepada suami wanita tersebut harus memenuhi beberapa point di bawah ini, antara
lain:
· Anak
tersebut dilahirkan enam bulan setelah perkawinan dari kedua orang tuanya. Jika
kelahiran anak tersebut kurang dar enam bulan setelah pernikahan tersebut, maka
anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Akan tetapi
ada perbedaan pendapat antara Mazhab Hanafi dengan tiga Mazhab lainnya. Menurut
Hanafi, anak yang dilahirkan tersebut dilahirkan setelah enam bulan akad dari
kedua orang tuanya, sedangan menurut tiga Mazhab lainnya ialah anak yang
dilahirkan tersebut bukan setelah akad, tetapi setelah adanya hubungan intim
dari kedua orang tuanya.[22]
Pendapat di atas
berdasarkan pada al-Qur’an surat al-Ahqaf ayat 15:[23]
$uZø¢¹urur
z`»|¡SM}$#
Ïm÷yÏ9ºuqÎ/
$·Z»|¡ômÎ)
( çm÷Fn=uHxq
¼çmBé&
$\döä.
çm÷Gyè|Êurur
$\döä.
( ¼çmè=÷Hxqur
¼çmè=»|ÁÏùur
tbqèW»n=rO
#·öky
4 ...
“Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...”
Dan juga surat al-Luqman ayat 14:[24]
$uZø¢¹urur
z`»|¡SM}$#
Ïm÷yÏ9ºuqÎ/
çm÷Fn=uHxq
¼çmBé&
$·Z÷dur
4n?tã
9`÷dur
¼çmè=»|ÁÏùur
Îû
Èû÷ütB%tæ
Èbr&
öà6ô©$#
Í<
y7÷yÏ9ºuqÎ9ur
¥n<Î)
çÅÁyJø9$#
ÇÊÍÈ
“Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
Al-Ahqaf : 15 menginformasikan
bahwa masa hamil dan menyusui adalah 30 bulan, sedangkan Luqman : 14
menginformasikan bahwa masa hamil sampai anak disapih itu dua tahun (24 bulan).
Dari sini disimpulkan bahwa minimal masa hamil adalah 6 bulan.
· Suami
telah matang secara biologis (memungkinkan dapat memberi keturunan.
· Adanya
pertemuan antara suami dan istri setelah melangsungkan akad. Akan tetapi dalam
pandangan Mazhab Hanafi bependapat bahwa kemungkinan pertemuan tersebut hanya
secara taqdiri (kira-kira) saja. Semisal, suami berada jauh dengan sang
istri, lalu istri melahirkan anak maka anak itu tetap dinasabkan kepada
suami,karena ada orang yang memiliki karomah sehingga dapat menempuh perjalanan
singkat tanpa diketahui orang lain. Pendapat ini menurut az-Zuhayli adalah bentuk
konsistensi mereka dalam mengamalkan hadits “al-waladu lil firāsy”
meskipun tidak terjadi kemungkinan persetubuhan antara suami istri tersebut.
Hal ini merupakan bentuk perhatian terhadap anak agar tidak terjadi
penelantaran terhadapnya dan juga untuk menjaga nama baik serta menutup
kemungkinan terjadinya persoalan atas anak tersebut. Kalaupun memang sang suami
yakin kalau anak tersebut bukan anaknya, maka ia bisa melakukan li’an
(sumpah pengingkaran atas anak). Tentu saja pendapat ini ditolak oleh tiga madzhab
yang lain. Mereka berpendapat bahwa pertemuan itu harus jelas secara lahiriyah
dan memungkinkan terjadinya persetubuhan suami istri tersebut.[25]
· Suami
tidak mengingkari. Jika suami mengingkari dengan pengingkaran yang dapat
diterima maka dia harus mengucapkan lian. Pengingkaran yang dapat
diterima adalah pengingkaran oleh suami yang sebelumnya belum mengakui atau
belum ada indikasi mengakui anak tersebut. Kalau dia sudah mengakui atau
menunjukan indikasi mengakui, seperti mempersiapkan kelahiran anak itu atau mau
menerima ucapan selamat atas kelahiran anak tersebut, maka pengingkarannya
tidak dapat diterima.[26]
· Apabila terjadinya perceraian antara suami
istri setelah anak lahir, maka untuk menentukan nasabnya terdapat beberapa kemungkinan.
Pertama: fuqaha sepakat menyatakan bahwa apabila seorang suami mentalak
istrinya setelah melakukan hubungan seksual dan kemudian anak lahir kurang dari
enam bulan setelah terjadinya perceraian maka anak tersebut bernasab kepada
suami wanita itu. Akan tetapi bila kelahiran lebih dari enam bulan sejak
terjadinya perceraian sedangkan suami tidak melakukan hubungan seksual sebelum
cerai maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya. Kedua: apabila
suami menceraikan istrinya setelah melakukan hubungan, baik cerai tersebut
talak raj‟I maupun talak ba‟in, atau karena kematian suami, maka terdapat dua
kemungkinan. Pertama, apabila anak tersebut lahir sebelum habisnya masa
maksimal kehamilan setelah perceraian atau kematian suami,15 maka nasabnya
dihubungkan kepada suaminya. Kedua, apabila anak lahir melebihi waktu maksimal
kehamilan (yang diperhitungkan sejak terjadinya perceraian atau kematian suami)
menurut jumhur ulama maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita
tersebut.[27]
2. Pernikahan
Fasid
Pernikahan fasid ialah
pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan tidak tepenuhinya syarat dalam
perkawinan/cacat syarat perkawinannya. Para ahli fiqh sepakat bahwa anak yang
dilahirkan sebagai akibat dari nikah fasid nasabnya sama dengan yang dilahirkan
sebagai akibat dari nikah sahih, dengan syarat: Pertama: suami mempunyai
kemampuan untuk memberikan keturunan, Kedua: adanya hubungan suami-istri
antara kedauanya, Ketiga: anak dilahirkan dalam jangka waktu enam bulan
setelah terjadinya hubungan suami-istri.
3. Wati’
bis-syubhat
Wāṭisyubhat adalah
terjadinya persetubuhan antara laki-laki dan perempuan karena kesalahan,
misalnya dalam keadaan malam yang gelap seorang laki-laki menyetubuhi seorang
perempuan di dalam kamarnya yang menurut keyakinannya adalah istrinya. Jawād
al-Mughniyah menyebutkannya dengan seorang laki-laki menggauli seseorang
perempuan yang haram atasnya karena tidak tahu dengan keharaman itu.[28]
Dalam kasus seperti ini, jika perempuan itu hamil dan melahirkan setelah enam
bulan sejak terjadinya persetubuhan tersebut dan sebelum masa maksimal
kehamilan, maka anak yang lahir itu dinasabkan kepada laki-laki yang
menyetubuhinya. Akan tetapi jika anak itu lahir setelah masa maksimal masa
kehamilan maka anak itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki tersebut.
Selain dari
ketentuan yang telah dijelaskan di atas, ada dua ketentuan lagi yang dapat di
jadikan opsi/cara lain untuk menentukan nasab seorang anak, antara lain:
1. Adanya
ikhar (pengakuan)
Di dalam hal pengakuan
ada dua macam pengakuan keturunan, yaitu:
· Pengakuan
yang langsung seperti seorang bapak mengakui bahwa seseorang adalah anak
laki-laki atau anak perempuannya,
· Pengakuan
yang tidak langsung seperti seorang mengakui bahwa seorang adalah cucunya.
2. Adanya
pembuktian (bayyinah)
Menurut fuqaha, nasab
juga dapat ditetapkan berdasarkan kesaksian. Saksi tersebut harus dua orang
laki-laki menurut malikiyah, tetapi bisa satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Sementara Syafi‟iyah, Hanabilah dan
Abu Yusuf memberikan hak kesaksian itu kepada semua ahli waris. Pengakuan nasab
dengan kesaksian ini menurut fukaha lebih kuat dari pada sekedar pendakuan.[29]
Demikianlah
ketentuan nasab anak dalam fiqh klasik. Secara gamblangnya bahwa setiap anak
yang dilahirkan dengan memenuhi ketentuan yang telah dijelaskan di atas adalah
dinasabkan kepada ayahnya. Selain itu, ia hanya dinasabkan kepada ibunya dan
keluarga ibu. Dampak dari nasab ini adalah terjadinya hubungan kekerabatan,
berlakunya ketentuan mahram (larangan pernikahan dengan mahram), dan ketentuan-ketentuan
lainnya seperti, pemberian nafkah, perwalian, dan pewarisan.[30]
D. Nasab Bayi Tabung dalam Pandangan Islam
Sebagai akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan biologi yang canggih,
maka teknologi bayi tabung ini ditangani oleh orang-orang yang kurang beriman
dan bertaqwa, dikhawatirkan dapat merusak perdaban umat manusia, moral dan
budayabangsa serta akibat-akibat negatif lainnya yang tidak terbayangkan oleh
kita sekarang ini. Sebab apa yang telah dihasilkan dengan teknologi, belum
tentu bisa diterima dengan baik menurut agama, etika dan hukum yang hidup di
masyarakat.[31]
Terdapat
beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia
kedokteran, antara lain:[32]
1. Fertilazation in Vitro (FIV)
dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro
(tabung), dan setelah terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri.
2. Gramet Intra Felopian Tuba (GIFT)
dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, dan setelah dicampur terjadi
pembuahan, maka segera ditanam di saluran telur (tuba lupi).
Sebagaimana yang
telah di paparkan di atas bahwa masalah bayi tabung (inseminasi buatan) telah
banyak dibicarakan di kalangan islam dan di luar islam, baik ditingkat nasional
maupun internasional. Kemudian kartono Muhammad, ketua IDI (Ikatan Dokter
Indonesia) mengharap agar masyrakat Indonesia bisa memahami dan menerima bayi
tabung dengan syarat sel sperma dan ovum yang diambil berdasarkan dari
laki-laki dan perempuan yang telah sah dalam perkawinan. Maka dari itu, berikut
adalah penjelasannya.
Dalam pandangan
islam, bayi tabung (inseminasi buatan) apabila dilakukan dengan sel sperma dan
ovum suami istri yang sah dan tidak ditransfer ke dalam rahim wanita lain
termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi laik-laki yang mempunyai istri lebih
dari satu),maka islam membenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami
kemudian disuntikan ke dalam vagina atau uterus istri maupun dengan cara
pembuahan dilakukan diluar rahim. Kemudian buahnya (vertilized ovum)
ditanamdalam rahim istri, dengan sebab keadaan suami istri yang bersangkutan
benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena
dengan cara pembuahan alami suami istri tidak berhasil memperoleh anak.[33]
Hal ini sebagaimana dengan kaidah
hukum Fiqh Islam:
الحاجة
تنزل منزلة الضرورة
"Hajat
(kebutuhan yang sangat penting tersebut)
diperlaakukan seperti dalam keadaan terpaksa.
الضرورة
تبيح المحظورات
“Keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal
yang terlarang”.
Sedangkan jika
inseminasi buatan tersebut dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka
diharamkan dan hukumnya tidak diperbolehkan (haram). Dan akibat hukumnya, anak
hasil inseminasi tersebut tidak sah dan hasil nasabnya hanya pada istri (ibu)
saja.[34]
Adapun dalil
syara’ yang dapat dijadikan sebagi dasar hukum untuk mengharamkan inseminasi
buatan dengan donor ialah sebagai berikut: al-Qur’an Surat al-Israah ayat 70:[35]
*
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPy#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur ÆÏiB ÏM»t7Íh©Ü9$# óOßg»uZù=Òsùur 4n?tã 9ÏV2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
“Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan”.
Kemudian
al-Qur’an Surat at-Tin ayat 4:[36]
ôs)s9
$uZø)n=y{
z`»|¡SM}$#
þÎû
Ç`|¡ômr&
5OÈqø)s?
ÇÍÈ
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Begitu juga
dengan Hadis:[37]
لايحل
لامرئ يؤمن با لله واليوم الأخر ان يسقي ماءه زرع غيره (الحديث)
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman
pada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain
(vagina istri orang lain)”.
Sedangkan dalam
pandang ulama di Indonesia yang berdasarkan dengan dasar hukum di atas ialah
sebagai berikut:[38]
·
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam fatwanya menetapkan 4 keputusan terkait masalah bayi
tabung, diantaranya :
1. Bayi
tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah
(boleh), sebab ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
2. Sedangkan
para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri
yang dititipkan dirahim perempuan lain dan itu hukumnya haram, karena dikemudian
hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan
warisan.
3. Bayi
Tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram. Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik baik
kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan.
4. Bayi
Tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang sah
hal tersebut juga hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan
kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah alias perzinahan.
·
Nahdlatul Ulama
(NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah dalam Forum Munas di
Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada 3 keputusan yang ditetapkan ulama NU
terkait masalah Bayi Tabung, diantaranya :
1. Apabila
mani yang ditabung atau dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut ternyata bukan
mani suami-isntri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan
pada sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rosulallah SAW bersabda
“Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya
(berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya..”
2. Apabila
sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya
tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. Mani Muhtaram adalah mani yang
keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’. Terkait mani
yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari
Kifayatul Akhyar II/113. "Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan
spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut
diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk
bersenang-senang."
3. Apabila
mani yang ditabung itu mani suami-istri yang sah dan cara mengeluarkannya
termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum
bayi tabung menjadi mubah (boleh).
·
Majelis Mujamma’
Fiqih Islami menetapkan sebagai berikut:
1. Lima
perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat
mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta
perkara-perkara lain yang dikecam oleh
syariat.
a. Sperma
yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang
bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Indung
telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari
pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si
wanita.
c. Sperma
dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami istri,
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung
persemaian benih mereka tersebut.
d. Sperma
dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e. Sperma
dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan
istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
2. Dua
perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan setelah
memastikan keamanan dan keselamatan yang harus dilakukan, sebagai berikut:
a. Sperma
tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya
kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Sperma
si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau
langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
·
Ulama di
Malaysia yang tergabung dalam Jabatan Kemajuan Islam Malaysia memberi fatwa
tentang bayi tabung yang menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1. Bayi
Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” adalah
sah di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang
sah bayi tabung itu adalah tidak sah.
2. Bayi
yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak menerima
harta pesaka dari keluarga yang berhak.
3. Sekiranya
benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak
bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat.
Dari beberapa
pernyataan mengenai pandangan bayi tabung yang dikelontarkan oleh beberapa
ulama-ulama diatas dapa di katakan bahwa. Islam membenarkan bayi tabung /
inseminasi buatan apabila dilakukan antara sel sperma dan ovum suami istri yang
sah dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya
sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), baik dengan cara mengambil
sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun
dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim, kemudian buahnya (vertilized
ovum) ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang
bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh
anak, karena dengan cara pembuahan alami suami istri tidak berhasil memperoleh
anak. Sebagai ajaran yang sempurna, Islam selalu mampu menjawab berbagai
masalah yang terjadi di dunia modern saat ini.[39]
E. Kajian Maqasid al-Syari’ah tentang Nasab
Sebelum membahas
lebih lanjut tentang kajian Maqasid al-Syari’ah tentang nasab, alangkah baiknya pemakalah akan
memberi pengertian dan maksud dari Maqasid al-Syari’ah tersebut,
berikut penjelasannya.
1.
Pengertian Maqasid
al-Syari’ah
Maqashid
al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid
dan syari'ah. Kata maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad
yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan syari'ah mempunyai pengertian
hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia maupun di akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah
berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Jadi, maqashid
al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan
hukum.[40]
Sementara
menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid al-Syariah berarti nilai-nilai dan
sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari
hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan
dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari’ dalam setiap ketentuan hukum.[41]
Sedangkan menurut as-Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu
mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.[42]
Jadi
dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Maqasid al-Syar’iah, secara
substansial mengandung kemashlahatan, dan dapat dilihat dari dua sudut pandang.
Pertama maqasid al-syari’ (tujuan Tuhan). Kedua maqasid
al- mukallaf (tujuan mukallaf).
2.
Macam-macam Maqasid
al-Syari’ah
a. al-Muhafazhah ala al-Diin
(memelihara agama)
Agama
merupakan keharusan bagi manusia, dengan nilai-nilai kemanusiaaan yang dibawa
oleh ajaran agama, manusia lebih tinggi derajatnya dari derajat hewan. Sebab
keagamaan adalah ciri khas manusia. Dalam
rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi jiwa
dengan nilai-nilai keagamaan itulah, maka berbagai macam ibadah disyariatkan.
Ibadah-ibadah itu dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat
keberagamaan.
b. al-Muhafazhah ala an-Nafs
(memelihara jiwa)
Ialah
memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar
dari tindakan pengganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun
tindakkan melukai. Termasuk juga memelihara kemuliaan atau harga diri manusia
dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh zina), mencaci maki serta
perbuatan-perbuatan serupa. Atau, berupa pembatasan gerak langkah manusia tanpa
memberi kebebasan untuk berbuat baik, karenanya Islam melindungi kebebasan
berkarya (berprofesi), kebebasan berfikir dan berpendapat, kebebasan bertempat
tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan menegakan pilar-pilar
kehidupan manusia yang terhormat serta bebas bergerak ditengah dinamika sosial
yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain.
c. al-Muhafadzah ala
al-‘Aql (memelihara akal)
Ialah
terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang
bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan, atau
bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat prefentif yang
dilakukan syariat Islam sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan
akal pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakannya.
Diharamkannya meminum arak dan segala sesuatu yang memabukkan/menghilangkan
daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal.
d. al-Muhafadzah ala
an-Nasl (memelihara
keturunan)
Ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia
agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya.
Hal itu dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan
memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan
budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.
e. al-Muhafadzah ala
al-Mal (memelihara harta)
Mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya
ghashab, pencurian. Mengatur sistem muamalah atas dasar keadilan dan kerelaan
serta mengatur berbagai transaksi ekonomi untuk meningkatkan kekayaan secara
proporsional melalui cara-cara yang halal, bukan mendominasi kehidupan
perekonomian dengan cara yang lalim dan curang.[43]
3.
kajian Maqasid
al-Syari’ah tentang nasab
Seluruh
aturan hukum Islam pada prinsipnya didedikasikan untuk mewujudkan tujuan (maqasid)
yang dikehendaki oleh pembuat hukum (Al Hakim) yaitu menciptakan kemanfaatan
dan keteraturan hidup manusia serta terpeliharanya kesejahteraan agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta (mashlahah). Apabila suatu ketentuan hukum sudah
tidak lagi sesuai dan tidak mampu mewujudkan tujuan tersebut, maka ia dipandang
tidak efektif dan karena itu perlu ijtihad untuk mereformulasi bentuk baru dari
hukum yang lebih dapat menjamin terwujudnya tujuan syari’at yakni ”mashlahah”.[44]
Jika pembahasan atau kajian maqasid
al-syari’ah dikaitkan dengan nasab, sebagaimana yang dijelaskan di atas
bahwa nasab adalah hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah,
sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau
senggama syubhat (zina). Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan
seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut
menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian
anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab.
Seperti hukum waris, pernikahan, perwalian dan lain sebagainya.[45]
Maka dari itu, Islam mengatur sedemikian rupa tentang nasab (sebab-sebab
penentuan nasab).
Sebagaimana
jika ditinjau dari segi Maqasid al-Syaria’h nasab tersebut termasuk salah satu dari tujuan terciptanya
kesamslahatan, keteraruan, dan kemanfaatan demi menjaga keturunan. Yang dalam Maqasid
as-Syari’ah dijelaskan dalam bagian ke tiga dari macam-macam Maqasid as-Syari’ah: al-Muhafadzah ala an-Nasb (memelihara keturunan) yaitu: jaminan kelestarian populasi umat manusia
agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya.
Hal itu dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan
memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan
budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.[46] Selain
itu, juga demi menjaga keutuhan nasab sebagaimana yang sudah ditentukan dalam
syari’at islam dan untuk agar dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan yang
akan merusak tatanan hubungan nasab (perzinaan).
Selain
hal tersebut, problematika lain yang akan berdampak pada kerusakan hubungan
nasab di era modern seperti sekarang ini ialah inseminasi buatan (Bayi Tabung).
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya setiap keluarga pasti menginginkan kehadiran
seorang anak. Akan tetapi, tidak semuanya bisa mendapatkan keturuan dengan cara
alami (mandul). Maka dari itu, mereka rela mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit demi mendapatkan keturunan melalui inseminasi buata (bayi tabung)
tersebut.
Oleh
karenanya, urgensi ijtihad Maqasid di era modern ini sangat diperlukan
untuk mengatasi berbagai problema yang ada. Sebagaimana yang sudah dijelaskan
di atas, mengenai inseminasi buatan (bayi tabung) kadar kebolehannya apabila
dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri yang sah dan tidak ditransfer
ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi laik-laki
yang mempunyai istri lebih dari satu),maka islam membenarkan, baik dengan cara
mengambil sperma suami kemudian disuntikan ke dalam vagina atau uterus istri
maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim. Kemudian buahnya (vertilized
ovum) ditanamdalam rahim istri, dengan sebab keadaan suami istri yang
bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh
anak.[47]
Sedangkan
kalau inseminasi buatan tersebut dilakukan dengan bantuan donor sperma dan
ovum, maka diharamkan dan hukumnya tidak diperbolehkan (haram). Dan akibat
hukumnya, anak hasil inseminasi tersebut tidak sah dan hasil nasabnya hanya
pada istri (ibu) saja[48]
Jadi,
kesimpulannya bahwa Premis ini menunjukkan bahwa upaya mewujudkan maqasid al
syar’at tersebut senantiasa berkaitan dengan etika (moralitas). Karena
persoalan kebaikan dan kesejahteraan tidak semata-mata persoalan material,
tetapi lebih kepada aspek keteraturan dalam menjaga keturunan (nasab) untuk
menciptakan kemaslahatan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Nasab
adalah hubungan darah antara seseorang dengan yang lainnya, baik jauh maupun
dekat. Namun, jika membaca literatur hukum Islam, maka kata nasab itu akan
menunjuk pada hubungan keluarga yang sangat dekat, yaitu hubungan anak dengan
orang tua, terutama orang tua laki-laki. Kemudian jika Nasab dalam hukum
perkawinan Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah hubungan darah
(keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang
sah.
2. Adapun
dasar hukum tentang nasab terdapat dalam al-Qur’an surat al-Ahzaab ayat 4-5,
Surat an-Nahl ayat 70, dan juga dalam Hadis Riwayat Muslim yang artinya : Dari
Abi Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. Pernah berkata: Anak zina itu ialah
untuk ibunya dan laki-laki yang berzina itu berhak dilempar batu”. (HR. Muslim).
kemudian dijelaskan dalam KHI pasal 99 ayat 1 dan 2, pasal 100. Dan juga
dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 42 dan pasal 43 ayat 1.
3. Dalam
ketentuan syaria’at ada lima point penting yang berkaitan untuk menjadi sebab
penentuan nasab, antara lain: pernikahan yang sah kemudian dengan
syarat-syaratnya, penikahan fasid, wati’ as-Syuhat, pengakuan (ikrar), dan
pembuktian.
4. kadar
kebolehannya apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri yang sah
dan tidak ditransfer ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang
lain (bagi laik-laki yang mempunyai istri lebih dari satu),maka islam
membenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikan ke
dalam vagina atau uterus istri maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar
rahim. Kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanamdalam rahim istri,
dengan sebab keadaan suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara
inseminasi buatan untuk memperoleh anak. Sedangkan kalau inseminasi buatan
tersebut dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan
hukumnya tidak diperbolehkan (haram). Dan akibat hukumnya, anak hasil
inseminasi tersebut tidak sah dan hasil nasabnya hanya pada istri (ibu) saja.
5. Jika
ditinjau dari segi Maqasid al-Syaria’h nasab tersebut termasuk salah satu dari tujuan terciptanya
kesamslahatan, keteraruan, dan kemanfaatan demi menjaga keturunan. Yang dalam Maqasid
as-Syari’ah dijelaskan dalam bagian ke tiga dari macam-macam Maqasid as-Syari’ah: al-Muhafadzah ala an-Nasb (memelihara keturunan) yaitu: jaminan kelestarian populasi umat manusia
agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya.
Hal itu dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan
memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan
budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.[49] Selain
itu, juga demi menjaga keutuhan nasab sebagaimana yang sudah ditentukan dalam
syari’at islam dan untuk agar dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan yang
akan merusak tatanan hubungan nasab (perzinaan).
Daftar
Pustaka
A. Azizy, Ahmad Qodrin. Islam
dan Permaslahan Sosial: Mencari Jalan Keluar. Yogyakarta: Lkis, 2000.
Ahmad al-Barry, Zakaria. Hukum Anak-anak
dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Aibak, Kutbuddin. Kajian Fiqh
Kontemporer. Yogyakarta: Kalemedia, 2017.
Al-Ghazali. Al Mustafa min ‘ilm
al-Ushul. Mesir : Al Mathba‟ah Al-Amiriyyah, 1937.
Al-Hamdani. Risala Nikah (Hukum
Perkawinan Islam., Jakarta: Pustaka Amani, 2011.
Al-Mughniyah, Muhammad Jawad. al-aḥwal
asy-Syakhṣīyah ‘alā al-Maẓāhib al-Khamsah. Bairut: Dār al-Islāmī li
al-Malāyin, 1964.
Al-Sun’ani, Subul al-Salam. Bandung:
Maktabah Dahlan, t.th.
Al-Syathibi. Al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syari'ah. Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, tth.
Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul
al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Arief, Abd. Salam. Pembaruan
Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Syaikh Mahmud
Syaltut. Yogyakarta: LESFI, 2003.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Pembagian
Waris Menurut Islam, Penerjemah : AM.Basalamah. Bandung: Gema Insani Press, t.th.
Auda, Jasser. Membumikan Hukum
Islam Melalui Maqasid Syari’ah, terj. Rosidin dan Ali Adl el-Mun’im. Jakarta:
Mizan, 2015.
Az-Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh
al-Islâmî wa Adillatuh. Beirut: Dâr al- Fikr, 1985.
Departemen Agama. Kompilasi
Hukum Islam.
Departemen Agama. Terjemah
al-Qur’an. Bandung: PT al-Ma’arif, 1988.
Departemen Agama. UU Perkawian
No.1 Tahun 1974.
Djamal, Murni. Ilmu Fiqh, Jilid
II. Jakarta: IAIN, 1984.
Ibnu Faris Zakaria, Abi Husain
Ahmad. Maqâyis al-Lughah, Jilid V. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Jalaludin, Akhmad. “Nasab :
Antara Hubungan Darah dan Hukum Serta Implikasinya Terhadap Kewarisan”. Surakarta
: Jurnal Publikasi Ilmiah UMS : Ishraqi, No. 1, Juni X, 2012.
Jaya, Asafri. Konsep Maqashid
al-Syari'ah Menurut al-Syathibi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh
Lima Mazhab. Jakarta: Basrie Press, 1994.
Muhammad al-Jamal, Ibrahim. Tanya
Jawab Fiqh Wanita, penerjemah:Irwan Kurniawan. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2002.
Pada masa modern seperti sekarang,
selain dengan kesaksian, pembuktian nasab tentunya bisa dilakukan dengan tes
DNA (deoxyribo nucleic acid). Namun, meskipun tes DNA bukan hal baru dalam
penyelidikan kepolisian dan pembuktian di pengadilan, para ulama masih berbeda
pendapat antara yang memperbolehkan dan yang tidak memperbolehkan.
Rofik, Ahmad. Hukum Perdata
Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015.
Shihab, M. Qurasih. Tafsir
al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran. Jakarta: Lentera Hati,
2002.
Sya’rawî, Muhammad Mutawali. Tafsîr
Sya’rawî, Jilid 9. Jakarta: PT Khazanah Nusantara Agung, 2011.
Syarifuddin, Amir. Meretas
Kebekuan Ijtihad; Isu-isu penting hukum Islam kontemporer di Indonesia. Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
Zuhdi, Masjfuk. Masail
Fiqhiyah:Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta: Haji Masagung, 1994.
[1]Al-Hamdani, Risala Nikah
(Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2011), hlm. 84
[2] Departemen Agama, Terjemah
al-Qur’an, ( Bandung: PT al-Ma’arif, 1988), hlm. 329.
[3] Departemen Agama, Terjemah
al-Qur’an...,hlm. 408’
[4] Departemen Agama, Terjemah
al-Qur’an..., hlm. 315.
[5]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian
Waris Menurut Islam, Penerjemah : AM.Basalamah, (Bandung: Gema Insani Press, t.th), hlm. 39
[6]Abi Husain Ahmad Ibnu Faris
Zakaria, Maqâyis al-Lughah, Jilid V, (Beirut: Dâr al-Fikr, th), hlm.
423.
[7]Muhammad Mutawali Sya’rawî, Tafsîr
Sya’rawî, Jilid 9, (Jakarta: PT Khazanah Nusantara Agung, 2011), h. 770
[8] M. Qurasih Shihab, Tafsir
al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hlm. 503.
[9] Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqh
al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al- Fikr, 1985),hlm. 7247.
[10] Departemen Agama, Terjemah
al-Qur’an..., hlm. 377.
[11] Departemen Agama, Terjemah
al-Qur’an..., hlm. 248
[12] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh
Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Press, 1994), hlm. 113.
[13] Departemen Agama, Kompilasi
Hukum Islam..., hlm.149.
[14] Departemen Agama, UU
Perkawian No.1 Tahun 197..., hlm. 10.
[15]Amir Syarifuddin, Meretas
Kebekuan Ijtihad; Isu-isu penting hukum Islam kontemporer di Indonesia
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 198.
[16] Zakaria Ahmad al-Barry, Hukum
Anak-anak dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 567.
[17] Departemen Agama, Kompilasi
Hukum Islam..., hlm. 120.
[18] Departemen Agama,
Undang-undang No.1 Tahun 1974..., hlm. 1.
[19] Departemen Agama, Kompilasi
Hukum Islam..., hlm. 120.
[20] Murni Djamal, M.A., Ilmu
Fiqh, Jilid II, (Jakarta: IAIN, 1984), hlm. 172.
[21] Ibid, 113.
[22] Ibid, 675.
[23] Departemen Agama, Terjemah
al-Qur’an..., hlm. 454.
[24] Departemen Agama, Terjemah
al-Qur’an..., hlm. 371.
[25] Ibid, 628-638.
[26] Akhmad Jalaludin, “Nasab :
Antara Hubungan Darah dan Hukum Serta Implikasinya Terhadap Kewarisan”
(Surakarta : Jurnal Publikasi Ilmiah UMS : Ishraqi, No. 1, Juni X, 2012), hlm.
67.
[27] Ahmad Rofik, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 205.
[28] Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-aḥwal
asy-Syakhṣīyah ‘alā al-Maẓāhib al-Khamsah,(Bairut: Dār al-Islāmī li
al-Malāyin, 1964), hlm. 79.
[29] Pada masa modern seperti
sekarang, selain dengan kesaksian, pembuktian nasab tentunya bisa dilakukan
dengan tes DNA (deoxyribo nucleic acid). Namun, meskipun tes DNA bukan hal baru
dalam penyelidikan kepolisian dan pembuktian di pengadilan, para ulama masih
berbeda pendapat antara yang memperbolehkan dan yang tidak memperbolehkan.
[30] Pendapat ini adalah pendapat
fiqh Sunni. Sedangkan dalam pemahaman ulama Syiah, anak zina tidak mempunyai
hubungan nasab dengan ibu atau bapak zinanya, karena itu pula anak zina tidak
bisa mewarisi keduanya. Lihat: Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm. 220.
[31] Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah:Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1994), hlm.
20
[32]Abd. Salam Arief, Pembaruan
Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Syaikh Mahmud
Syaltut, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm 159.
[33] Ahmad Qodrin A. Azizy, Islam
dan Permaslahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, (Yogyakarta: Lkis, 2000),
hlm. 235-236.
[34] Ibrahim Muhammad al-Jamal, Tanya
Jawab Fiqh Wanita, penerjemah:Irwan Kurniawan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2002), hlm. 158.
[35] Departemen Agama, Terjemah
al-Qur’an..., hlm.. 261.
[36] Departemen Agama, Terjemah
al-Qur’an..., hlm.
[37] Al-Sun’ani, Subul al-Salam,
(Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), hlm. 207.
[38]ibid.
[39] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh
Kontemporer, (Yogyakarta: Kalemedia, 2017), hlm. 114.
[40] Asafri Jaya, Konsep Maqashid
al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm. 5.
[41] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm.198.
[42] Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syari'ah, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, tth), hlm. 6.
[43] Jasser Auda, Membumikan Hukum
Islam Melalui Maqasid Syari’ah, terj. Rosidin dan Ali Adl el-Mun’im, (Jakarta:
Mizan, 2015), hlm. 191-192.
[44]
Al-Ghazali, Al Mustafa min ‘ilm al-Ushul, (Mesir : Al Mathba‟ah
Al-Amiriyyah, 1937), hlm.. 286.
[45]
Ibid,
[46]
Ibid, 191-192.
[47]
Ibid,235-236.
[48]
Ibid, 158.
[49]
Ibid, 191-192.
Komentar
Posting Komentar