PREODESASI PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, sangatlah penting untuk kita ketahui agar bisa memahami betul sumber dan dasar hukum Islam itu sendiri, karena dengan mempelajari sejarah kita bisa merasakan betapa dekat dan besar perjuangan para ulama dahulu terhadap  perkembangan hukum  Islam sekarang dengan menggali ilmu-ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an maupun Sunnah.
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara estensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa tertanggulangi, dengan bersumber pada Al Qur’an sebagai al wahyu al matlu dan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa’urrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara periodik sesuai dengan kesepakatan para ulama. Tasyri’ islam, telah melalui beberapa periode. Para Ulama yang memperhatikan sejarah tasyri’ hukum  islam berbeda pendapat tentang membagi periode-periode yang telah dilalui oleh hukum islam itu, demikian juga jangka lamanya.
Maka dari itu pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang periodesasi pembentukan Hukum Islam.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana periodesasi  pembentukan tasyri’?


BAB II
PEMBAHASAN
Periodesasi pembentukan Tasyri’
Tasyri’ dalam pengertian terminologi adalah pembentukan undang-undang untuk menentukan hukum-hukum perilaku dan kegiatan orang dewasa, beberapa problema dan peristiwa yang terjadi pada mereka. Apabila sumber penetapan undang-undang ini adalah Allah SWT melalui Rasul dan Kitab-Nya, maka disebut perundang-undangan (hukum Tuhan ) “at-Tasyri’ al-Illahi”. Kemudian apabila sumber penetapan Undang-undang  ini adalah manusia baik secara perorangan maupun kolektif, maka disebut undang-undang (Hukum Positif).[1]
Adapun yang dimaksud dengan Tasyri’ (proses legislasi) dalam hukum Islam ini adalah proses pembentukan perundang-undangan (hukum). Oleh karena itu, perundang-undangan hukum islam terbagi menjadi beberapa periode, antara lain:[2]
1.      Periode pertama, periode Rasulallah. Yaitu periode pertumbuhan dan pembentukan hukum islam sejak tahun 610 M sampai tahun 632 M. Periode ini berlangsung selama 22 tahun dari mulai diutusnya menjadi Rasul hingga wafatnya beliau. Meskipun hanya 22 tahun, akan tetapi pengaruhnya sangat besar dan dominan. Karena periode ini mewariskan ketetapan hukum dalam al-Qur’an  dan hadis, meninggalkan berbagai dasar umum penetapa hukum dan telah menunjuk berbagai sumber dan dalil yang dapat digunakan untuk mengetahui hukum pengaduan yang tidak ada ketepan hukumnya.
Para ahli hukum Islam biasanya membagi periode ini menjadi dua bagian, yaitu tasyri’ Makkah dan tasyri’ Madinah.[3] Periode Makkah, berlangsung selama 12 tahun 2 bulan 22 hari[4], sejak diangkatnya Nabi SAW. ketika itu umat Islam masih terisolir, minoritas, lemah dan belum terbentuk satu umat yang memiliki pemerintahan yang kuat. Karenanya, perhatian Rasulullah lebih diarahkan kepada dakwah tauhid, di samping membentengi diri dan pengikutnya dari gangguan dan tantangan orangorang yang sengaja menghalangi dakwah Islam. Sehingga pada fase ini tidak ada kesempatan ke arah pembentukan hukum-hukum amaliah dan penyusunan undang-undang keperdataan. Singkatnya, periode Makkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata.
Disamping itu, periode ini kaum muslim hanya terdiri dari beberapa orang saja dan dalam keadaan tertindas, belum membentuk suatu umat dan belum mempunyai pemerintahan maupun kekuasaan. Perintah Rasulallah Saw pada periode ini terfokus pada proses penyebaran dakwah seperti mengesaakan Allah SWT dan mencegah orang-orang menyembah berhala dan patung, mengantisipasi gangguan orang yang berupaya menghentikan dakwahnya dan berlebihan dalam memperdaya dan orang-orang beriman kepadanya, sehingga dalam peride ini tidak ada ruang dan dorongan untuk merumuskan hukum yang bersifat praktikal dan pembuatan perundang-undang sipil, peraturan dagang dan lainnya. Karena itu, di dalam surat-surat yang diturunkan di Makkah tidak ada yang bersifat praktikal. Tetapi sebagian besar ayat-ayat dalam tersebut khusus menjelaskan tentang akidah, moral dan hisab orang-orang terdahulu untuk diteladani.[5]
Contoh:
Tentang akidah (QS. al-Ikhlas ayat 1-4):
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  
“ Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Kemudian tentang hisab (hari kiamat sebagai hari pembalasan) yaitu “QS. al-Qari’ah 1-11”:
èptãÍ$s)ø9$# ÇÊÈ   $tB èptãÍ$s)ø9$# ÇËÈ   !$tBur y71u÷Šr& $tB èptãÍ$s)ø9$# ÇÌÈ   tPöqtƒ ãbqä3tƒ â¨$¨Y9$# ĸ#txÿø9$$Ÿ2 Ï^qèZ÷6yJø9$# ÇÍÈ   ãbqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$Ÿ2 Â\qàÿZyJø9$# ÇÎÈ   $¨Br'sù ÆtB ôMn=à)rO ¼çmãZƒÎºuqtB ÇÏÈ   uqßgsù Îû 7pt±ŠÏã 7puŠÅÊ#§ ÇÐÈ   $¨Br&ur ô`tB ôM¤ÿyz ¼çmãZƒÎºuqtB ÇÑÈ   ¼çmBé'sù ×ptƒÍr$yd ÇÒÈ   !$tBur y71u÷Šr& $tB ÷muÏd ÇÊÉÈ   î$tR 8puŠÏB%tn ÇÊÊÈ  
Hari kiamat, Apakah hari kiamat itu?  tahukah kamu Apakah hari kiamat itu? pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan, dan Adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, Maka Dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. dan Adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. tahukah kamu Apakah neraka Hawiyah itu? (yaitu) api yang sangat panas.”
Serta kesucian jiwa (Q.S. Asy-Syams,ayat 9-10):
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Dan juga tentang persaudaraan dan persatuan (Q.S. Al-Ma’un, 107: 1-7):
|M÷ƒuäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ムÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ   šÏ9ºxsù Ï%©!$# íßtƒ zOŠÏKuŠø9$# ÇËÈ   Ÿwur Ùçts 4n?tã ÏQ$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÈ   ×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ   tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ   tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#tãƒ ÇÏÈ   tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ  
“tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
Serta hadis Nabi:
Tidak dianggap beriman seorang Muslim di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya, seperti rnencintai dirinya.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)”[6]
Berbeda dengan periode Makkah, yang lebih mengarah kepada revolusi akidah, pada periode Madinah pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur'an berubah menjadi spesifik. Pada periode ini umat Islam sudah mempunyai kekuasaan dan jumlahnya yang semakin bertambah banyak kemudian mampu membentuk pemerintahan yang gilang gemilang dan media dakwah pun semakin lancar. Keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya atau dengan negara yang bukan Islam. Untuk kepentingan itulah, maka di Madinah disyari’atkan hukum, seperti hukum perkawinan, perceraian, warisan, perjanjian, hutang piutang, kepidanaan dan lain-lain. misalnya: Surat al-Baqarah, al-Imran, an-Nisa’, al-Ma’idah, al-Anfal, al-Taubat, an-Nur dan al-Azhab, semuanya memuat ayat-ayat hukum, disamping itu juga memuat tentang aqidah, akhlak dan cerita-cerita.[7]
Contoh surat al-Baqarah yang memuat tentang hukum keluarga (talak) ayat 229:
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿwur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$sƒs žwr& $yJŠÉ)ムyŠrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydrßtG÷ès? 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ  
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Otoritas tasyri’ legislatif (pembuatan undang-undang) pada era Rasul ini adalah ditangan Rasulallah SAW sendiri. Tidak seorangpun kaum muslim selain beliau dapat membuat hukum, baik untuk dirinya maupun orang lain. Sebab, keberadaan Rasul di tengah-tengah mereka dan kemudahan mereka merujuk pada beliau dalam mengatasi semua kasus yang mereka hadapi, membuat siapa saja kaum muslim tidak berani memutuskan hukum dengan ijtihadnya sendiri terhadap suatu kasus atau persengketaan. Tetapi apabila menghadapi suatu kasus , persengketaan, pertanyaan atau permintaan fatwa, maka langsung mengembalikan kepada Rasulallah Saw.[8]
2.      Periode kedeua, periode Sahabat. Yaitu periode penafsiran dan penyempurnaan yang berlangsung ketika wafatnya Rasulallah Saw tahun 11 H sampai  abad 41  Hijriah.[9]
Era ini adalah era penafsiran dan penjabaran hukum dan pembukaan pintu penggalian hukum kasus-kasus yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an dan Hadis. Para tokoh sahabat Nabi pada periode ini mengeluarkan pendapat-pendapat (pemikiran-pemikiran) yang banyak dalam menafsirkan  ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an dan Hadis yang dianggap sebagai rujukan dalam penetapan hukum bagi penafsiran dan penjelasan beberapa nas tersebut. Karena sepeninggalan Rasulallah ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis tidak dapat dijangkau oleh setiap orang islam secara sendirian unttk merujuk persoalan kepadanya. Banyak fatwa-fatwa mereka (sahabat) dalam berbagai kasus yang tidak ada ketentuan hukumnya, yang dapat dianggap sebagai dasar ijtihad dan panggilan hukum. Aryinya, bahwa ketentuan hukum bagi suatu masalah hanya terbatas  pada kasus itu saja, tidak merambat pada kasus lain secara teoritis.[10]
Dalam menetapkan suatu hukum, para sahabat menggunakan al- Qur'an dan sunnah Nabi. Mereka mengembalikan setiap peristiwa kepada kedua sumber tersebut. Jika pada keduanya tidak ditemukan suatu hukum, maka mereka melakukan ijtihad. Dalam berijtihad, terkadang mereka menggunakan analogi (qiyas), atau berdasarkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Ijtihad mereka inilah yang menjamin perkembangan hukum Islam sehingga mampu beradaptasi dengan keragaman masyarakat. Mereka juga mempunyai metode dan kemampuan yang berbeda-beda dalam memahami nash hukum. Para sahabat terkenal dalam penggunaannya terhadap ra’y. Dan diantara mereka selalu terjadi perbedaan pendapat. Tetapi meskipun demikian, mereka juga terkadang mengadopsi (sepakat dan memakai) pendapat sahabat lain. Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa pada periode ini ada empat sumber yang dijadikan pegangan oleh para sahabat, yaitu al- Qur'an, sunnah, qiyas (ra’yu) dan ijma’.[11]
Pada kedua periode di atas belum dilakukan pembukuan dan penetapan terhadap hukum yang mungki bakal terjadi, tetapi penetapannya hanya berdasarkan kasus yang terjadi saat itu. Ia hanya merupakan suatu konsekuensi dari suatu perbuatan, belum menjadi disiplin ilmu. Ia belum disebut ilmu fiqih dan ahli dibidang hukum disebut ahli fiqih.
3.      Periode ketiga, yaitu periode tabi’at tabi’in (setelah Masa Kulafa’u ar-Rasyidin sampai awal abad ke 2 H).[12] Generasi setelah sahabat adalah tabi’in. Mereka melanjutkan tradisi sahabat dalam perjalanan hukum Islam. Mereka menetapkan hukum berdasarkan apa yang mereka pahami dari nash, baik dalam al-Qur'an maupun sunnah. Selain itu mereka juga menjalankan ijtihad, seperti yang dijalankan para sahabat. Aktivitas ijtihad yang dilakukan oleh para tabi’in  ada dua cara. Pertama,  mereka tidak takut untuk mengutamakan pendapat seorang sahabat daripada sahabat yang lainnya, bahkan pendapat seorang tabi’in atas pendapat seorang sahabat. Keduan, mereka sendiri melakukan pemikiran asli, bahkan pada masa inilah pembentukan hukum yang sesungguhnya dimulai. Pada periode ini juga ada upaya untuk membukukan hadits, atas inisiatif dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa ini juga terdapat pembagian terhadap aktivitas pemikiran hukum secara bebas yakni Irak, Hijaz dan Syria imamnya masing-masing. Irak memiliki dua madzhab yaitu Basrah dan Kufah. Hijaz juga memiliki dua madzhab yaitu Makkah dan Madinah, namun madzhab Madinah lebih menonjol, sementara di Syria yang kurang populer madzhabnya. Hal inilah yang kemudian para ulama terbagi menjadi dua aliran, Ahli Ra’yu dan Ahli Hadits.[13]
أهل الرأي






أهل الحد يث
Adapun yang dimaksud dengan Alhu ar-Ra’y ialah jika dihadapkan suatu masalah kemudian tidak didapati di dalam hadis maka ia akan terus berfikir dengan akalnya, sedangkan Ahlu al-Hadis hanya terbatas Hadis saja.[14]
4.      Periode ke empat yaitu periode Imam-imam mujtahid (awal abad ke 2 H- pertengahan abad ke 4 H).[15] Kekuasaan Islam semakin berkembang dan banyak dari orang-orang non Arab memeluk agama islam. Sehingga kaum muslimin menghadapi masalah-masalah baru, berbagai kesulitan, bahasa, pandangan, gerakan pembangunan materian dan spiritual, yang kesemuannya itu mendorong kepada para imam mujtahid untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum-hukum syara’ atas kejadian-kejadian tersebut serta membuka pintu bahasan dan pandangan baru bagi mereka. Semakin luasnya medan penetapan hukum-hukum fiqh, dan ditetapkan pula hukum-hukum yang mungkin akan terjadi dengan didasarkan kepada hukum-hukum pada periode sebelumnya.
Pada abad inilah dimulai pembukuan hukum-hukum syara’ seiring dengan pembukuan hadis. Hukum-hukum tersebut dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu karena telah disertai dengan dalil, alasan, dan dasar umum yang menjadi pokok dari hukum tersebut. ahlinya disebut ahli fiqih dan disiplinya disebut ilmu fiqih.[16]
Adapun warisan hukum terpenting dari era kodifikasi dan Imam-imam mujtahid di atas adalah sebagai berikut:[17]
a.       Penulisan hadis
As-Sunnah (hadis-hadis) sahih yang dibukukan pada era ini sebagian ada yang ditulis dengan metodologi penulisan hadis berdasarkan sanad, kemudian secara tematis atau menurut bab-bab fiqh. Para ulama’ ahli hadis berlomba-lomba mengumpulkan hadis, membuat syarat-syarat khusus penerimaan riwayat hadis dan kajian kritis terhadap para perawi.
b.      Penulisan Fiqh
Penulisan fiqh, hukum-hukum syar’iyyah dan pembukuan beberapa masalah yang terkait dengan suatu tema, sebab-sebab hukum dan penguraian dalil hukum yang ditetapkan. Sebagaimana pada periode ini bahwasanya beberapa ensiklopedi fiqh senantiasa menjadi rujukan kaum muslim samapai sekarang.
Ensiklopedi fiqh yang terkemuka dalam Mazhab Imam Abu Hanifa yang ditulis pada periode ini ialah Zahir  Ar-Riwayah As-Sittah, karya Muhammad bin Al-Hasan, dari Abu Yusuf, dari Abu Hanifah.
Ensiklopedi fiqh dalam mazhab Malikiyang terkemuka adalah kitab Al-Mudawwanah yang diriwayatkan oleh Sahnun dari Ibnu Al-Qosim, dari Imam Malik.
Kemudian dalam Imam Syafi’i terdapat al-Umm karya beliau yang disampaikan secara lisan kepada murid-muridnya di Mesir. Dan termasuk juga Imam Hanbali.
c.       Penulisan Usul Fiqh
Penulisan kaidah-kaidah usul fiqh ini muncul ketika tiap-tiap mujtahid pada periode ini mengunakan metodologi tertentu. Setiap mujtahid mengutamakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dasarnya di tengan dia melakukan bahasanya tentang berbagai persoalan dan hukum. Seperti Imam Abu Hanifah, menyusun metodologi hukum yang belum dirumuskan oleh ulam’sebelumnya adalah, al-istihsan. Kemudian Imam Malik merumuskan metodologi al-Maslahah al-Mursalah, al-Urf dan amal ahli Madianh. Sedangkan Imam Syafi’i merumuskan metodologi analogi (Qiyas).[18]
5.      Periode ke lima, periode taqlid, yaitu periode kebekuan dan stagnan yang berlangsung mulai pertengahan abad ke 4 H.[19]
a.       Tasryi’ dalam Era Taqlid 
Era ini adalah era menurunnya semangat para ulama dalam melakukan ijtihad mutlak dan merujuk pada sumber-sumber hukum yang pokok untuk menggali hukum-hukum dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunah, serta mencari hukum kasus-kasus yang belum ada ketentuan hukumnya dengan dalil-dalil syar’iyah. Tetapi, mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah disimpulkan para imam mujtahid.[20]
Disamping itu, pada Periode taqlid atau era kemandekan ini terjadi setelah masa keemasan. Era yang ditandai dengan munculnya iklim penjelasan permasalahan yang telah dikaji sebelumnya tanpa memberikan pemikiran baru, merumuskan kembali metode para pendiri madzhab dan mencapai puncaknya pada pembelaan fanatik terhadap pendapat para imam Madzhab.
Faktor lain yang menyebabkan hukum Islam mengalami kemandekan adalah perselisihan teologis yang mengakar pada fanatisme madzhab. Kondisi ini diperburuk oleh situasi politik yang tidak stabil yang membuat para ulama sibuk dalam urusan negara dan melakukan urusan fiqh. Selain itu juga disebabkan adanya perang salib di bawah arahan Gereja Katolik Romawi, dan serbuan tentara Barbar di bawah kepemimpinan Holago Khan dari Tartar.
Periode ini juga bersamaan dengan saat beberapa persoalan yang dihadapi. Yaitu,  politik, intelektual, moral dan sosial yang mempengaruhi prinsip-prinsip kebangkitan mereka dan menghalangi aktivitas mereka dalam berijtihad.[21]
b.      Sebab-sebab kemandegan Aktifitas Ijtihad
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtigad dan keharusan taklid kepada ulama pendahulunya, antara lain:
Pertama: terpecahnya daulah islamiyah menjadi beberapa kerajaan kecil, yang raja penguasa dan rakyatnya saling bersaing dan perang.
Kedua: setelah imam-imam mujtahid pada periode ketiga terbagi menjadi kelompok-kelompok dan tiap-tiap kelompok memiliki lembaga kajian hukum kecenderungan dan metodologi sendiri. Atau lebih dikenal dengan Munculnya sikap ta'assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad.
Ketiga: ketika orang-orang Islam mengabaikan tatanan otoritas hukum, dan tidak meletakkan peraturan yang menjamin, bahwa ijtihad hanya boleh bagi orang yang memiliki keahlian saja, maka kacaulah hukum dan ijtihad. Banyak orang yang tidak memiliki keahlian ijtihad mengaku berijtihad, orang-orang yang tidak mengerti hukum  Islam berani memberikan fatwa-fatwa dan memutuskan hukum kepada orang-orang tanpa mengindahkan nash-nash syari’at, hak-hak dan kemaslahatan manusia.
Buruknya keadaan penetapan hukum yang demikian itu membuat para ulama khawatir dan pada akhir abad ke-empat Hijriyyah, mereka bersepakat mengeluarkan fatwa bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan memaksa para mufti dan hakim untuk mengambil hukum-hukum yang telah ditetapkan para imam masa lalu secara penuh, terutama para imam mazhab empat. Mereka mengobati kesemrawutan dan kekacauan tersebut dengan cara membekukan (ijtihad).
Keempat: ulama-ulama pada masa ini sedang dilanda krisis moral, yang mengahalangi mereka mencapai martabat ijtihad, karena mereka saling menghasud dan egois. Oleh sebab itu, orang yang alim selalu mengatakan bahwa dia adalah seorang penganut taqlit, penukil, bukan mujtahid dan bukan pula pembuat hukum. Hal ini dilakukan hanya untuk menghindari tipu daya dan cemoohan dari yang lainnya. Dengan kondisi seperti ini, kepercayaan para ulama pada diri sendiri melemah, begitu pula kepercayaan orang-orang kepeda mereka. Para ulama hanya memutuskan perhatiannya kepada mazhab-mazhab imam mujtahid.[22]
c.       Kerja Ulama dibidang hukum pada era taqlid
Betapapun faktor-faktor dalam periode ini membuat ulama-ulama betul-betul berada dalam keterpakuan tekstual yang sangat mencekap, tidak berdaya untu berijtihad secara mutlak dan menggali hukum-hukum syar’iyah dari sumber-sumber yang pertama, bukan berarti tidak bekerja sama sekali dalam upaya menata hukum, mereka masih mencurahkan tenaga menata hukum meskipun dalam lingkup yang terbatas. Karena itu, ulama-ulama mazhab dapat dikelompokkan menjadi beberapa thobaqoh atau tingkatan sebagai berikut:
·      Mujtahid dalam mazhab
Para imam mujtahid mazhab ini antara lain: al-Hasan bin Ziyad, mujtahid dalam mazhab Hanafi, Ibnu Qosyim dan Asyhad, mujtahid dalam mahzab Maliki, al-Buwaithi dan al-Mazani, mujtahid dalam mazhab Syafi’i. Mereka ini sebenarnya mampu menggali hukum-hukum syara’ dari sumber pertama, akan tetapi mereka mewajibkan diri dan mengupayakan pengambilan dan dasar-dasar hukum mereka sesuai dengan pengambilan dan dasar hukum imam-imam mereka. Sesuai dengan tingkatannya Mujtahid dalam mahzab yang berarti tidak berijtihad mencari hukum secara mutlak, tetapi mereka hanya berijtihad mencari hukum beberapa kasus dari asas-asas ijtihad yang telah ditetapkan oleh imam-imam mujtahid (imam empat).
·      Mujtahid dalam kasus-kasus yang tidak ada riwayat dari Imam Mazhab
Ulama’ ahli ijtihad dlam persoaln-persoalan yang tidak ada riwayat tentang hukumnya dari imam mazhab itu tidak berbeda pendapat dengan para imam, baik dalam hukum-hukum far’iyah maupun dasar-dasar ijtihad. Mereka hanya menggali hukum kasus-kasus yang tidak ada riwayat tentang hukum menurut kaidah-kaidah imam mereka, dengan cara mengkiaskan kasus-kasus furu’ imam-imam mereka.
Ulama-ulama yang tergolong dalam tingkatan ini adalah: al-Khosaf, at-Thohawi, al-Karkhi dari mazhab Hanfi, al-Lakhomi, Ibnu al-Arobi dan Ibnu Rusyid dari mazhab Malik, Abu Hamid al-Ghozali dan Abu Ishaq al-Isfirayini dari mazhab Syafi’i.
·      Ahlut Takhrij
Ulama ahli takhrij ini tidak melakukan ijtihad untuk menggali hukum-hukum dari beberapa kasus, tetapi mereka hanya membatasi diri menjelaskan ucapan-ucapan imam yang masih global atau menetapkan maksud yang jelas terhadap satu hukum yang masih mengandung dua pengertian. Karena, memrekan memahami kaidah-kaidah mazhab yang dianutnya.
Ulama’ yang tergolong dalam tingkatan ini adalah al-Jasshas dari mazhab Hanafi.
·      Ahlut Tarjih
Ulama ahli tarjih ini membandingkan berbagai riwayat yang berbeda-beda dari imam mereka, kemudian meguatkan salah satuya. Cara mereka pergunakan dalam mentarjih berbagai pendapat atau riwayat imam mazhab ini adakalanya tarjih dari segi peiwayatan ( al-riwayat) dan adakalanya juga dari segi pemikiran (al-Diroyah). Dan riwayat yang paling shahih itulah riwayat yang berhak diterima, paling sesuai dengan qiyas dan paling sesuai dengan kemaslhatan orang banyak
·      Ahlut Taqlit Murni
Tingkatan yang kelima, yaitu golongan ulama’ yag bertaqlit secara murni. Meskipun demikian mereka ini mampu membedakan antara riwayat-riwayat yang nawadir (kurang dikenal) dan riwayat-riwayat yang zhahir (jelas), antara dalil-dalil yang kuat dan dhoif. Di antara golongan seperti in adalah para pengarang matan-matan kitab terkenal dan mu’tabar dalam mazhab Hanafi, seperti pengarang kitab al-Kanzu dan al-Wakoya.
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa usaha para ulama’ dalam bidang fiqh atau hukum pada era ini terpusat perhatiannya pada ucapan-ucapan para imam dan hukum-hukum yang telah mereka terapkan, sebagai ganti mereka mempelajari nash-nash syar’iyah, mencari ilatnya dan mengkompromikan zhahir nash-nash yang berlawanan dan menggali hukum-hukum lansung dari nash-nash tersebut. mereka membatasi kajian fiqih mereka pada pendapat-pendapat para imam, mencari ilatnya dan mentarjih pendapat-pendapat yang berlawanan. Umat islam periode ini tidak seperti periode sebelumnya. Dalam periode sebelumnya orang-orang awam saja yang bertaqlit sedangkan para ulama ditaqlidi (diikuti). Tetapi, pada periode ini semua umat islam, baik awam maupun yang elit bertaqlid.[23]
6.      Periode ke enam (Tasyi’ dalam ntanda-tanda kebangkitan kembali).
Pada akhir abad ke 13 H, pemerintah Utsmaniyah mengumumpulkan sekelompok ulama besar dan mengintruksikan mereka membuat undang-undang tentang muamalat modern yang bersumber pada fiqh islam, meskipun dari mazhab-mazhab dari yang sudah terkenal, asal hukum tersebut sejalan dengan perkembangan zaman. Para ulama tersebut sepakat dan mulai menyusun undang-undang yang kemudian diberi nama Majalah Hukum ( Majalah al-Ahkam al-Adliyah) pada tahun 1286 M dan diberlakukan secara resmi pada tahun 1292 M. Dalam undang-undang muamalat modern tersebut, para ulama menetapkan hukum transaksi jual beli menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan mazhab Ibnu Syibrimah. Hal ini merupakan terobosan pertama yang mendobrak sistem taklid ang hanya terbatas pada empat mazhab.
Di mesir, ketika banyak pengaduan masyrakat tentang keharusan hukum mazhab Hanafi dalam beberapa pengadilan agama, maka pada tahun 1920 M pemerintah membuat rumusan sebagi langkah pertama untuk merespon keluhan masyarakat tersebut dengan menerbitkan Undang-undang No. 25 tahun 1920 ysng memust sebagian hukum perdata (al-Ahwal al-Syahsiyah) yang berbeda dengan mazhab Hanafi, tetapi masih dalam lingkup empat mazhab.
Pada tahun 1929 M pemerintah membuat langkah kedua yang lebih maju dari langkah pertama dan lebih banyak sesuai dengan tuntutan, yaitu dikeluarkannya Undang-undang No. 25 tahun 1929 M yang membuat butir-butir hukum perdata yang berbeda dengan mazhab Hanafi dan berbeda sama sekali dengan mazhab imam empat, tetapi tidak keluar dari mazhab-mazhab Islam.
Pada tahun 1936 M pemerintah membuat rencana ketiga dan membentuk team yang terdiri dari pemuka-pemuka ulama ahli hukum fiqh dan undang-undang untuk menyusun suatu undang-undang yang mencakup hukum-hukum perdata yang meliputi hukum tata rumah tangga, waqaf, waris, wasiat dan hukum-hukum lainnya dalam Mahkamah Syar’iyah dan Majelis Hasbiyah (Badan yang mengesahkan surat-surat wasiat/perjanjian) yang tidak terkait mazhab manapun, tetapi berdasarkan pendapat-pendapat fuqoha yang lebih sesuai dngan kepentingaan manusia dan perkembangan sosial.
Pada periode inilah yang dinamakan periode gerakan-gerakan pembaruan hukum Islam yang  muncul guna merespon terhadap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.[24]





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Adapun yang dimaksud dengan Tasyri’ (proses legislasi) dalam hukum Islam ini adalah proses pembentukan perundang-undangan (hukum). Oleh karena itu, perundang-undangan hukum islam terbagi menjadi beberapa periode, antara lain:
  1. Periode Rasulallah, yaitu periode pertumbuhan dan pembentukan hukum islam yang berlangsung selama 22 tahun beberapa bulan yang berada di Makah dan Madinah (mulai diutusnya menjadi Rasul 610 M sampai wafatnya tahun 632 M.
  2. Periode sahabat Yaitu periode penafsiran dan penyempurnaan yang berlangsung ketika wafatnya Rasulallah Saw tahun 11 H sampai  abad 41  Hijriah.
  3. Periode tabiin (setelah Masa Kulafa’u ar-Rasyidin sampai awal abad ke 2 H). Generasi setelah sahabat adalah tabi’in. Mereka melanjutkan tradisi sahabat dalam perjalanan hukum Islam.
  4. Periode imam mujtahid (awal abad ke 2 H- pertengahan abad ke 4 H). Pada abad inilah dimulai pembukuan hukum-hukum syara’ seiring dengan pembukuan hadis. Hukum-hukum tersebut dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu karena telah disertai dengan dalil, alasan, dan dasar umum yang menjadi pokok dari hukum tersebut. ahlinya disebut ahli fiqih dan disiplinya disebut ilmu fiqih
  5. Periode taqlit. Periode ini tebagi menjadi 2 yaitu:
·      Periode kemuduran yaitu periode kebekuan dan stagnan yang berlangsung mulai pertengahan abad ke 4 H yang di sebabkan oleh kemandegan ijtihad, dan kerja ulama di bidang hukum yang hanya berperan sebagai taklid.
·      Periode kebangkitan  (Tasyi’ dalam tanda-tanda kebangkitan kembali) yaitu pada akhir abad ke 13 H Pada periode inilah yang dinamakan periode gerakan-gerakan pembaruan hukum Islam yang kemudian muncul beberapa undang-undang guna untuk merespon terhadap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Bik, Hudhari. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Terj. Mohammad Zuhr., Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Indonesi. Dar al-Ihya, 1980.
Khallaf, Abdul Wahab. Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami. op. cit.. Bandingkan Muhammad Khudhari Bik, Ibid., Riyanta, op. Cit
.
Khallaf, Abdul Wahab.  Terjamah Sejarah Fiqh Islam. Surabaya: Al-Hidayah. Tt.

Sayis, Muhammad Ali. Tarikh al-fiqh al-Islamy, terj. Nurhadi, Sejarah Fikih Islam. Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2003.
Khalaff, Abdul Wahab. Tarjamah Ilmu Usul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani, 2003

Sopyan, Yayan. Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramata Publishing, 2010
Syafiq Mahmadah, Hanafi dan Amilia, Fatma. “Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Periode Taqlid” . Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.




[1] M. Hasbi as-Shidiqqi, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm 17.
[2] Muhammad Ali al-Syais, Tarikh Tasryi’ al-Islam, (Mesir: Ma’tabah, t.t), hlm. 78
[3] M. Hudhari Bik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Terj. Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Indonesi, ( Dar al-Ihya, 1980), hlm. 27-30
[4] Manan al-Qatthan, Tarikh Tasyri’, ( Riyadh: Maktabatul Ma’arif, 1996), hlm. 67.
[5]Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh Tasyri’ al-Islami, op. cit., hlm. 9-10, Bandingkan Muhammad Khudhari Bik, Ibid., Riyanta, op. cit., hlm. 73-74
[6] Muhammad Yusuf Musa, al-Islam wa Hajat al-Insyaniyah Ilahi, penerjemah: Malik Madani, (Jakarta: Rajawali, 1988), hlm. 45.
[7] Abdul Wahab Khallaf, Khulashah, op. cit., hlm. 10, Riyanta, Legislasi Pada Masa Rasulullah, op. cit., hlm. 74.
[8] Abdul Wahab Khallaf,  Terjamah Sejarah Fiqh Islam, ( Surabaya: Al-Hidayah), 10.
[9] Muhammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Prespektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pustaka, 1998), hlm. 72.
[10] Ibid, 55
[11] Hudhari Bik, Tarikh Tasyri’ al-Islami, hlm.259
[12] Muhammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Prespektif Sejarah...., hlm. 78.
[13] Muhammad Ali Sayis, Tarikh al-fiqh al-Islamy, terj. Nurhadi, Sejarah Fikih Islam, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2003),  111-116.
[14] Abdul Wahab Khalaff, Tarjamah Ilmu Usul Fikih,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 59
[15] Muhammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Prespektif Sejarah...., hlm. 78.
[16] Abdul Wahab Khalaff, Tarjamah Ilmu Usul Fikih,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 6-7.
[17] Abdul Wahab Khalaff, Tarjamah Fqh Islam Fikih,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 160.
[18] Abdul Wahab Khallaf, Terjamah Sejarah Fiqh Islam, (Surabaya: Al-Hidayah), 165-167.
[19] Ibid, hlm. 80.
[20] Ibid, 195.
[21] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publishing, 2010), 137.
[22] Ibid, 199-201.
[23] Syafiq Mahmadah Hanafi dan Fatma Amilia, “Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Periode Taqlid” Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002, hlm. 82
[24] Ibid 213-214.

Komentar

PERPECAHAN POLITIK ISLAM DAN DAMPAKNYA DI BIDANG TEOLOGI

A.   Pengantar Sukses Nabi membangun sistem pemerintahan baru di Madinah dilanjutkan oleh para Khalifah sesudahnya dengan mengembangkan sistem politik Islam dan melakukan perluasan wilayah secara besar-besaran. Bersamaan dengan itu, jalan peyebaran dakwah Islam semakin licin dan terbuka. Tidak ada rintangan lagi bagi bangsa manapun untuk berbodong-bondong memeluk Islam. Karena hambatan-hambatan struktural dan politis yang sering mengintimidasi psikologi masyarakat awam dalam menentukan pilihan keyakinannya telah berhasil dilumpuhkan oleh umat Islam yang telah tumbuh menjadi kekuatan alternatif menggantikan imperium Romawi dan Persia yang sudah kropos. [1] Keberhasilan kaum muslimin membangun imperium yang luas, maju dan tangguh memberi kesan yang kuat bahwa, mengutip kata-kata Nurcholish Madjid, “salah satu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal penampilannya, ialah kejayaan dibidang politik”.“Kendati demikian…”, lanjut Nurcholish, “sejarah mencatat dengan penuh kesedi...