USHUL FIQH DAN KEDUDUKANNYA


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat Islam secara garis besar mengandung dasar-dasar tentang akidah, akhlak, dan syariah atau hukum bagi keberlangsungan kehidupan makhluk di jagat raya ini. Penjelasan tentang isi Al-Qur’an dijabarkan oleh Rasulullah SAW sebagai penafsir kalamullah sepanjang hidupnya. Semasa beliau hidup setiap kasus yang timbul dapat segera diketahui jawabanyanya berdasarkan nash al-Quran serta penjelasan dan interpretasi yang kemudian dikenal menjadi sunnahnya. Namun, pada masa berikutnya, kehidupan masyarakat mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring berkembangnya Islam ke antero dunia. Kontak antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain di luar Arab dengan corak budaya yang beragam menimbulkan berbagai kasus baru yang mengharuskan untuk segera dicari solusi dan alternative untuk menjawabnya. Disinilah urgensitas ijtihad untuk mengkontekstualisasikan nash al-Qur an dan Sunnah sebagai sumber pedoman dan panduan hukum bagi alam semesta.
Fiqh yang notabene sebagai ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat praktis(‘amaliyah), merupakan sebuah “jendela” yang dapat digunakan untuk melihat perilaku budaya masyarakat Islam. Definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali (al-Muktasab)menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Proses yang umum kita kenal sebagi ijtihad ini bukan saja memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga pengembangan tak terhingga atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan. Maka dari itulah diperlukan upaya memahami pokok-pokok dalam mengkaji perkembangan fiqh agar tetap dinamis sepanjang masa sebagai pijakan yang disebut dengan istilah Ushul Fiqh.


B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Usul Fiqh?
2.      Apa saja objek pembahasan Usul Fiqh?
3.      Apa tujuan dan kegunaan mempelajari Usul Fiqh?
4.      Bagaimanakah Hubungan Usul Fiqh dengan Fiqh?
5.      Bagaimana sejarah pertumbuhan dan pekermbanga Usul Fiqh?
6.      Bagaimana kedudukan Usul Fiqh?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pngertian Usul Fiqh
Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul (أصول)” dan kata “fiqh (الفقه)”. Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal (الأصل)” secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainya”. Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud definitive dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”.
Kata “fiqh (الفقه)” secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”. Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amali dan kedua tentang dalil-dalil tafsili.[1]
Dengan demikian “ushul fiqh” secara istilah adalah teknik hukum berarti : “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci,” atau dalam artian sederhana adalah: “Kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalinya”. Misalnya, shalat menurut fiqhnya adalah wajib, dan menurut usul fiqhnya adalah dalil syara’ yang menyatakan perintah untuk mendirikan sholat. Hal ini selalu dilaksanakn oleh Rasulallah dan beliau tidak pernah meninggalkannya sekalipun dalam keadaan sakit, sehingga hukum shalat adalah wajib. Dengan demikian, terwujudlah kaidah bahwa pada dasarnya perinta itu wajib (الآصل فى الآمر للوجوب (.[2]
Menurut Al-Baidhawi (w 685 H) dari kalangan ulama’ Syafi’iyah:
معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الإستفاد منها وحال المستفيد
“pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara global, cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil itu, dan tentang hal ihwal pelaku istinbath.”[3]
Kemudian menurut Syekh Muhammad Al-Khudhary Beik, yang diambil dari pendapat Kamaludin Ibnu Humam dari kalangan ulama Hanafiyah. Usul Fiqh adalah sebagai pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqh.[4]
Senada dengan pendapat di atas, Wahbah az-Zuhailli mendifinisikan usul fiqh sebagai berikut:
القواعد التى يوصل البحث فيها الى استباط الأحكام من ادلتها التفصيليه
“kaidah-kaidah yang akan digunakan seorang mujtahid untuk menyimpulkan hukum fiqh dari satu persatu daililnya”.[5]
Sedangakan menurut Jumhur Ulama, mendifinisikan bahwa usul fiqh sebagai himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil dalinya.
Sebagai contoh usul fiqh menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjujan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukan hukum haram, adalah sebagai berikut:
Contoh tentang hukum wajibnya adalah shalat, firman Allah:
واقيمو الصلاة
dirikanlah shalat”
Sementara contoh haramnya zina terdapat dalam firman Allah:
ولا تقربوا الزنى
“janganlah kalian mendekati zina”
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa inti dari usul fiqh adalah metode atau kadah-kaidah yang dipakai untuk mengistinbathkan hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Metode istinbath tersebut ada yang berhubungan dengan kaidah-kaidah kebahasaan, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, ada yang berhubungan dengan tujuan hukum, dan ada pula dalam bentuk penyelesaian dari dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan yang disebut tarjih. [6]

B.  Hubungan Usul Fiqh dengan Fiqh
Jika usul fiqh dikaitkan dengan Fiqh ibarat ilmu manthiq (logika) dengan filsafat. manthiq merupakan kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak terjerumus dalam kehancuran berfikir. Begitu juga ibarat hubungan ilmu nahwu dengan bahasa Arab, ilmu nahwu sebagai grametika yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa Arab. Demikian pula usul fiqh dengan fiqh, usul fiqh merupakan kaidah yang memelihara  fuqoha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistinbathkan  hukum.
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu Usul Fiqh berfungsi sebagai sarana untuk membedakan istinbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu nahwu berfungsi untuk membedakan antara susunan bahasa Arab yang benar dengan yang salah. Dan ilmu manthiq  untuk mengetahui argumentasi yang ilmiah serta kesimpulan yang ilmiah pula.[7]
Di samping itu, ada yang mengartikan bahwa ilmu usul fiqh dengan ilmu fiqh ibarat kakak beradik, sebab keduanya bagaikan takhrij al-ahkam dengan tahbiq al-ahkam. Sebagaimana pengertian usul fiqh yang berasal dari dua kata, yaitu usul berbentuk jamak dari ashl dan kata fiqh, masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik bersifat materi taupun bukan, sedangkan fiqh artinya faham, usul lebih dulu di depan, sedangkan fiqh di belakang yang ada setelah usul. Melaksanakan tuntnan islam seharusnya setelah adanya hasil kerja usul fiqh, sehingga tat cara yang dilakukan, kedudukan hukumnya dan kehujjahan dalilnya telah benar-benar tegas dan jelas.[8]



C.  Obyek pembahasan Usul Fiqh
Dari penjelasan tentang hubungan antara usul fiqh dengan fiqh serta perbedaannya masing-masing, maka jelas pula bahwa obyek usul fiqh berbeda dengan obyek fiqh. Obyek pembahasan ilmu fiqh adalah perbuatan orang mukallaf ditinjau dari ketetapannya terhadap syara’. Maka seorang ahli fiqih membahas masalah jual beli, sewa-menyewa, gadai, perwakilan, shalat, puasa, haji, haji, pembunuhan, tuduhan pencurian, ikrar, wakaf yang kesemuannya dilakukan oleh mukallaf, demi mengetahui hukum syara’ atas perbuatan-perbuatan tersebut.
Sedangkan obyek usul fiqh adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Jadi pada intinya kedua disiplin ilmu tersebut (usul fiqh dan fiqh) sama-sama membahas tentang dalil-dalil syara’, akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan, sedangkan usul fiqh meninjau dari segi metode penetapan hukum, klarifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut.[9]
Sementara menurut Imam al-Ghazali yang menjadi objek kajian usul fiqh dibagi menjadi empat bagian, anatar lain:[10]
1.      Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya,
2.      Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum,
3.      Pembahsan tentang cara mengistinbathkan hukum dari sumber-sumber dan dalil itu,
4.      Pembahsan tentang ijtihad.
Sedangkan menurut Wahbah az-Zuhailli objek kajian usul fiqh  adalah sebagai berikut:[11]
1.      Sumber-sumber hukum syara’, baik yang disepakati seperti al-Qur’an dan sunnah, maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan maslahah mursalah,
2.      Pembahsan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad,
3.      Mencarikan jaln keluar dari dua dalil yang yang bertentangan secara dzahir, ayat dengan ayat atau sunnah dengan sunnah, dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian (Al-jam’u wa at-taufiq), menguatkan slah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut as-dalilain).
4.      Pembahsan hukum syara’yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah).juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum alaih ( orang yang dibebani), dll,
5.      Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistinbathkan hukum dan cara menggunakannya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa objek kajian usul fiqh adalah segala sesuatu yang berhubunga dengan metodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh dlam menggali hukum syara’. Jadi objek usul fiqh meliputi klarifikasi dalil, orang-orang yang dibebani hukum syara’, orang-orang yang tidak berhak taklif, kaidah-kaidah bahsa yang dijadikan petunjuk yang dijadikan petunjuk oleh ahli fiqh untuk menetapkan hukum-hukum syara’ dari nash, kaidah-kaidah dalm menggunakan qiyas dan menetapkan titik persamaan, serta menetapkan titik persamaan antara hukum pokok dan cabang. Selain itu, usul fiqh juga menjelaskan tentang hukum-hukum syara’ beserta tujuannya, pembagiannya, rukhsah, ‘azimah, dan lain-lain sebagai kategori metodoloogi yang dipergunakan oleh ahli fiqh untuk menggali hukum syara’.[12]
Kemudian dari pada itu, seperti yang sudah dijelaskan di atas yaitu tentan pengertian usul fiqh, para ulama’ menyepakati bahwa usul fiqh merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan maslah aqidah, ibadah, muamalat, ‘uqubah, maupun akhlak. Dengan kata lain, usul fiqh bukanlah sebagai tujuan melainkan hanya sebagai alat. Adapun sumber pengambilan usul fiqh berasal dari:[13]
1.      Ilmu kalam (teologi),
2.      Ilmu Bahasa Arab,
3.      Tujuan syara’ (maqasid Asy-syari’ah)
Hal itu disebabkan bahwa sumber hukum (dalil hukum) yang merupakan objek bahsa usul fiqh diyakini dari Allah benbentuk al-Qur’an dan Sunnah. Pembuat hukum adalah Allah, tiada hukum kecuali dari Allah. Hal tersebut merupakan bahsa ilmu kalam.
Selain itu, usul fiqh juga membahas tentang dalalah lafad.penggunaan lafad,ruang lingkup lafad, seperti ‘amm dan khash, dan sebagainya. Ini berarti berkaitan dengan ilmu bahsa Arab. Kemudian, pengetahuan hukum tidak terlepas dari tujuan hukum (maqasid Asy-syari’ah) dan hakikat hukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan mengandung kemaslahatan.[14]

D.  Tujuan dan Kegunaan  Usul Fiqh
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa ilmu usul fiqh dengan ilmu fiqh ibarat kakak  beradik dan tidak bisa untuk dipisahkan. Maka dari itu, sebelum membahas tentang tujuan dari usul fiqh alangkah baiknya penulis akan memaparkan sekilas tentang tujuan ilmu fiqh.
Adapun tujuan ilmu fiqh adalah menerapkan hukum syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga ilmu fiqh menjadi rujukan bagi seorang hakim Pengadilan Agama dalam putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syara’ atas ucapan dan perbuataanya. Ini adalah tujuan dari semua undang-undang yang ada pada umat manusia. Ia tidak memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan hukumnya terhadap ucapan dan perbuatan manusia, juga mengenalkan kepada mukallaf tentang hal-hal yang wajib dan yang haram baginya. Kemudian, tujuan dari usul fiqh adalah menerapkan kaidah dan pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk hukum syara’nya. Sehingga dengan kaidah dan pembahasannya dapat dipahami nash-nash syara’  dan dengan hukum-hukum yang dikandungnya, dapat diketahui sesuatu yang memperjelas kesamaran nash-nash tersebut dan nash mana yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara sebagian nash dengan yang lain.[15]
Dengan kaidah dan pembahasannya itu juga dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishab atau yang lain, dapat benar-benar dipahami hukum yang telah dikeluarkan oleh imam-imam mujtahid, dapat dijadikan penimbang (sebab terjadinya) perbedaan mazhab diantara mereka terhadap satu bentuk kejadian. Karena tidak mungkin memahami hukum dari satu sudut pandang atau membandingkan dua hukum yang berbeda kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan ilmu usul fiqh yang merupakan dasar ilmu fiqh. [16]
Dari uraian di atas, telah tergambar jelas tujuan dari mempelajari usul fiqh, diantaranya adalah:[17]
1.      Menerapkan kaidah-kaidah, teori, pembahasan dalil-alil secara terperinci, dalam menghasilkan hukum syariat islam, yang diambil dari dalil-dalil tersebut.
2.      Untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.
3.      Untuk mempeljari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
4.      Kaum muslimin harus bertafaqquh artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agama baik dalam bidang aqaid dan akhlak maupun dalam bidang ibadah maupun muamalah.

Sedangkan kegunaan dari usul fiqh adalah sebagai berikut: [18]
1.      Mengetahui dalil-dalil dalam menetapkan hukum,
2.      Menghidari sifat taqlid (mengikuti pendapat suatu mazhab tanpa mengetahui dalil yang digunakan),
3.      Memperluas wawasan berpikir/metode bertpikir para ulama dalam menetapkan suatu hukum,
4.      Mampu mengistinbathkan hukum terhadap perkara yang baru muncul,
5.      Mampu berpikir logis dan analisis terhadap suatu perkara.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa kegunaan mempelaajari usul fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syari’at islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhanni (dugaan, perkiraan) untuk menghindari taqlid (mengikuti pendapat suatu mazhab tanpa mengetahui dalil yang digunakan). Hal ini belaku jika memang usul fiqh  benar-benar digunakan semestinya, yaitu mengambil hukum soal-soal cabang dari soal-soal yang pokok atau dengan mengembalikan soal-soal cabang pada soal-soal pokok. Yang pertama adalah pekerjaan ahli ijtihad (mujtahid) dan yang kedua adalah pekerjaan muttabi’. Selain itu, usul fiah juga berguna untuk mengeluarkan ketentuan atau ketetapan dari sumber hukum, yakni al-Qur’an, melalui penerapan kaidah-kaidah usul yang berlaku. Dengan memahami usul fiqh dan menerapkannya, orang-orang islam akan terhindar dari sikap taqlid. Usul fiqh  adalah metode istinbath hukum yang berguna untuk mengeluarkan dali-dalil bagi perbuatan mukallaf, dan menetapkan hukum dalam melaksanakan suatu perintah yang bersangkutan.[19]
Jadi, kegunaan usul fiqh akan terasa bilamana keyakinan bahwa pintu ijtihad yang sudah ditutup pada periode taqlid (era kemunduran Hukum Islam) dapat disingkirkan dari benak umat islam. Jika benar pintu ijtihad pernah ditutup dalam sejarahnya, hal itu tidak lain dengan maksud agar ijthad  tidak dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak berkompeten untuk melakukannya. Bagi orang-orang yang mampu, pintu ijtihad tersebut tetap terbuka.[20]


E.  Sejarah Pertumbuhan dan Perkembanga Usul Fiqh
Setiap ilmu pasti mengalami pertumbuhan dan perkembangan, tidak terkecuali dengan ilmu usul fiqh. Banyak orang yang bertanya tetang tentang peletak dasar ilmu usul fiqh.
Masa pertumbuhan ilmu usul fiqh bersama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukukan lebih dahulu dari pada ilnu usul fiqh. Karena tumbuhnya ilmu fiqh tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. dan metode itu tidak lain adalah ilmu usul fqh.[21]  
Rahmat Syafi’i menyatakan bahwa benih-benih usul fiqh sudah ada sejak zaman Rasulallah dan Sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian usul fiqh, seperti ijtihad, qiyas, nasakh dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulallah dan Sahabat.[22] Sebagaimana sejak zaman Rasulallah sudah ada ijtihad. Salah satu hadis yang masyhur tentang ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal:[23]
وَمِثْلُ مُعَا ذِبْنِ جَبَلٍ الَّذِي بَعَثَهُ الرَّسُوْلُ اِلَى اليَمَنْ وَقَالَ لَهُ: بِمَ تَقْضِى اِذَا عُرِضَ لَكَ قَصَاءٌ وَلَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللَّهِ وَلَا فِى سُنَّةِ رَسُوْلِهِ مَا تَقْضِى بِهِ,  فَقَالَ مُعَاذُ : اَجْتَهِدُ رَأْيِ, فَقَالَ الرَّسُوْلُ : اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللَّهِ لِمَا يَرْ ضَى اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ.
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau bersabda : “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan menghukum dengan apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Beliau bersabda : “Apabila tidak terdapat dalam Kitabullah ?”. Mu’adz menjawab : “Maka (saya akan menghukum) dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Beliau bersabda kembali : “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya.”
Konsekuensi dari ijtihad ini adalah qiyas, karena penerapan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang bersifat juz’iyah harus dengan qiyas.[24] Akan lebih jelasnya berikut ini adalah penjelasan tentang pertumbuhan dan perkembangan usul fiqh:
1.    Praktek Istinbath Hukum Fikih sebelum Masa Perumusan
Praktek penggalian hukum fikih (Istinbath al-Ahkam al-Fiqhiyyah) telah dimulai semenjak zaman Rasulullah. Rasulullah sebagai penyampai risalah langit akan memberikan jawaban-jawaban hukum sesuai dengan wahyu yang telah diturunkan oleh Allah kepada-Nya, dan apabila belum/tidak diturunkan maka Rasul akan berijtihad dengan akal pribadinya yang tersucikan dari kesalahan dan dosa. Setelah Rasul melakukan ijtihad, ada kalanya seketika itu diturunkan wahyu untuk lebih membenarkan hasil ijtihad tersebut, dan ada kalanya tidak diturunkan sehingga hasil ijtihad Rasul ditetapkan sebagai putusan hukum yang final. Sebab dari pribadi Rasul tidak akan keluar sesuatu kecuali berupa wahyu.[25]
Banyak riwayat yang menjadi bukti atas kelangsungan ijtihad Rasul, baik berupa terapan Qiyas (analogi), Istishhab (mengembalikan hukum kepada asal masalah), ataupun Istishlah (pencapaian maslahat). Kiita akan banyak menjumpai  riwayat-riwayat ini di dalam al-Ihkam; al-Amidi, Irsyad al-Fuhul; al-Syaukani, dan beberapa kitab ushul lainnya.[26] Sebagai contoh Rasul pernah ditanya oleh budak perempuan Khasy’amiyah mengenai tanggungan wajib haji untuk seorang Ayah yang meninggal dunia dan ia belum sempat menunaikannya di masa hidupnya. Rasul mengkiasan dengan hukum kewajiban membayar hutang kepada sesama, maka hutang kepada Allah lebih wajib hukumnya untuk diselesaikan. Dan, diriwayatkan juga Rasul sering bersabda dengan menyebutkan ‘Illah (sebab-musabab) ditetapkannya sebuah hukum, seperti larangan Rasul untuk menimbun daging kurban jika masih ada orang yang membutuhkan, larangan berziarah kubur yang kemudian diperbolehkan jika tidak menimbulkan kemusyrikan dan mengingatkan kita pada kematian, serta riwayat-riwayat lainnya.[27]
Di masa kehidupan Rasulullah ini praktek ijtihad juga dilakukan oleh para Sahabat, baik ketika bersama Rasul maupun saat mereka berlainan tempat. Seperti ijtihad Abu Bakar dalam memberikan hak rampasan perang (ghanimah) kepada Abu Qatadah yang berhasil menebas leher seorang lelaki musyrik, dan Rasul pun membenarkan fatwa tersebut. Demikian halnya hadits masyhur tentang diutusnya Mu’ad ibn Jabal ke Yaman, kisah ini menunjukkan bahwa Sahabat benar-benar melakukan ijtihad semasa hidup Rasul. Dari sini dapat kita pahami bahwa dalil-dalil hukum di masa Nabi Saw. terdiri dari al-Quran, Sunnah dan juga ijtihad.[28]
Sepeninggal Rasul, sebelum para Sahabat terpencar ke berbagai wilayah, sejarawan mencatat dalil-dalil yang dijadikan pijakan dalam beristinbath bersandar pada al-Quran, Sunnah, dan ijtihad personal. Dan, mulai muncul terma Ijma’ (konsensus ulama) yang merupakan kesepakatan hasil ijtihad dari selurh Sahabat yang hidup kala itu. Hasil konsensus ini diangkat sebagai dalil hukum yang menempati urutan ketiga di atas ijtihad personal, dengan dalih bahwa ‘Illah (indikator) hukum yang semula samar telah terungkap jelas melalui upaya ijtihad dari golongan Sahabat Nabi secara menyeluruh.
Selanjutnya di akhir masa Sahabat, tepatnya mulai tahun 41 Hijriyah, ketika Islam melakukan propaganda ke berbagai wilayah menjadikan kelompok Sahabat tidak lagi menetap di Makkah dan Madinah saja. Mereka tersebar ke beberapa daerah, seperti di Kuffah, Bashrah, Yaman, Mesir dan lain-lain. Dengan kondisi semacam ini memulai babak baru dalam dinamika pemikiran fikih, terutama dengan lahirnya dua madrsah yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan “Ahli Ra’yi” yang berkembang pesat di wilayah Iraq (Bashrah-Kuffah) dan “Ahli Hadits” di wilayah Hijaz (Makkah-Madinah).[29]
Karakteristik pemikiran fikih dari madrasah Ahli Ra’yi cenderung menggunakan nalar rasio dengan porsi yang lebih daripada merujuk pada hadits-hadits ahkam (atau Sunnah; dalam itradisi fuqaha’) di dalam melangsungkan praktek istinbath hukumnya. Hal ini ditengarai oleh minimnya jumlah Sahabat yang menetap di wilayah Bashrah dan Kuffah sehingga kapasitas hadits yang ada sangatlah minim. Para Sahabat dan murid-muridnya yang berada di wilayah ini mengembangkan pola ijtihad akal dari bentuk semula yang sedrhana menjadi semakin komplek dengan tidak keluar dari pola dasar yang diterapkan pada periode kenabian. Polarisasi ijtihad ini mencuat ke permukaan dengan ragamnya ─seperti; Istihsan (pencapaian kebaikan tanpa rujukan nash), ‘Urf (adat-istiadat), pengembangan metode qiyas (analogi) dan sebagainya─ muncul dari tokoh muda madrasah ini, bernama; Abu Hanifah al-Nu’man (80-150 H.).[30]
Sedangkan karakteristik pemikiran yang dikembangkan Ahli Hadits banyak merujuk kepada riwayat-riwayat hadits daripada pengembangan pola ijtihad akal. Hal ini dilator-belakangi oleh banyaknya para perowi hadits yang beredar di wilayah tersebut, sebagaimana mayoritas golongan Sahabat berdomisili di negeri Hijaz itu. Namun kondisi semisal bukan berarti pengembangan pola ijtihad akal sama sekali diabaikan oleh mereka. Pergeseran zaman dengan bertambahnya problema yang dihadapi menjadikan ayat-ayat ahkam yang dalam jumlahnya hanya 5,8% dari 6.360 ayat, dan dengan ditambah jumlah riwayat hadits ahkam yang ada, masih belum mencukupi untuk merespon segala problematika sosial yang terus berkembang.[31] Sehingga menuntut mujtahid-mujtahid Hijaz untuk ikut serta mengembangkan polarisasi ijtihad akal sebagaimana para mujtahid Iraq. Diantara yang menjadi bukti ialah munculnya terma Mashalih Mursalah (pencapaian kemaslahatan tanpa rujukan nash),‘Urf (adat-istiadat), dan Sad al-Dzara’i (tindak preventif) yang digulirkan oleh seorang imam besar kota Madinah, Malik ibn Anas al-Ashbuhi (93-179 H.).[32]
Dari praktek-praktek istinbath yang telah diterapkan semenjak masa kenabian dan kemudian berkembang dengan polarisasi yang ada, belum pernah terkonsepkan secara sistematis dan terkodifikasi dalam satuan-satuan yang utuh. Dalam kinerja istinbath mereka hanya berpedoman pada tuntunan-tuntunan seorang guru yang disampaikan secara lisan. Maka, dari terapan-terapan istinbath tersebut akan menjadi embrio ditelorkannya teori hukum fikih di masa berikutnya yang dapat kita simak dalam uraian di bawah ini.
2.    Pembukuan Usul Fiqh (Masa Imam Syafi’i)
Teorisasi pertama fikih Islam hadir dari seorang mujtahid dengan pola pikir ideologi wasathiyyah,  yakni di tangan Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H.). Ia  mencoba menuangkan terma istinbath fikih ke dalam satuan-satuan teori yang utuh. Yaitu dalam kitab al-Risalah yang dalam penulisannya kitab ini terselesaikan oleh bantuan seorang murid terdekatnya Abdurrahman ibn Mahdi. Upaya teorisasi ini juga tersirat di dalam kitabnya yang berjudul Jima’ al-‘ilm, Mukhtalif al-Hadits, serta Ibthal al-Istihsan pada jilid ke-7 dari kitab al-Umm. Dengan tujuan untuk menciptakan sebuah standaritas baku dalam kinerja istinbath hukum fikih yang menurut al-Syafi’i sudah banyak terselewengkan.[33]
Gaya pemikiran baru yang berpijak pada ideologi oplosan ─gabungan antara ideologi pemikiran Ahli Ra’yi dan Ahli Hadits─ ini mencoba untuk menggugat tradisi pemikiran fikih lama yang banyak terselewengkan untuk direkonstruksi dengan formulasi barunya itu. Sedangkan metode pendekatan yang dipergunakan ialah dengan menggunakan silogisme-silogisme filsafat. Dr. Musthafa Abdurraziq menyebutkan dari gaya nalar fikih al-Syafi’i mencerminkan pola pemikiran rasional ilmiah yang sama sekali tidak melibatkan produk-produk hukum dalam bentuknya yang partikular, analisanya tertuju pada kesimpulan umum hingga kemudian disajikan ke dalam satuan-satuan teori.   Maka inilah yang dinamakan dengan metode analisa filosofis. Sebagaimana Ahmad ibn Hambal mengidentikkan al-Syafi’i sebagai seorang filosof pada empat bidang, yaitu pada terma gramatikal Arab, dinamika sosial, semantika bahasa, dan fikih.[34]          
Jadi, Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga inilah, Imam Muhammad bin Idris Asy-syafi’i (150-204 H) pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh pada tahun 204 H. Pada masa ini ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad pada masa itu. Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’i yang datang kemudian, banyak mengetahui tentang metode istinbath para mujtahid sebelumnya, sehingga beliau mengetahui di mana keunggulan dan di mana kelemahannya. Beliau merumuskan ushul fiqh untuk mewujudkan metode istinbath yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum Islam, untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran hasil ijtihad di masa sebelumnya.[35]
Beliau merupakan orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh. Kitabnya yang berjudul Al-Risalah. menjadi bukti bahwa beliau telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam kitabnya Imam Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Kitabnya tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan fiqh.[36]
3.    Usul Fiqh pasca Imam Syafi’i
Kandungan kitab Al-Risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Ada yang membahas secara men-syarh (menjelaskan) tanpa mengubah atau mengurangi yang dikemukakan Imam Syafi’i dalam kitabnya. Tapi, ada juga yang membahas bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i.
Masih dalam abad ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini. Salah satunya buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad bin Hanbal (164-241H) pendiri mazhab Hanbali. Pertengahan abad keempat ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dengan pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri membentuk mazhab baru. Namun kegiatan ijtihad dalam bidang ushul fiqh berkembang pesat. Para ahli analisis ushul fiqh mengatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang dihadapi pada zaman masing-masing.[37]
4.    Aliran-aliran Usul Fiqh
a.       Aliran Mutakallim (Syafi’iyah)
Aliran Syafi’iyah atau sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (Ahli Kalam). Aliran ini disebut Syafi’iyah karena Imam Syafi’i adalah tokoh pertama yang menyusun ushul fiqih dengan menggunakan metode ini.Aliran ini berpegang pada analisis-analisis kebahasaan (linguistic). Dalam membangun teori, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik dari naqli (Al-Qur’an dan atau Sunnah) maupun dari aqli (akal pikiran), tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah furu’ dari berbagai mazhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan furu’ dan adakalanya tidak. Ketidakterikatan dengan masalah-masalah furu’ yang telah ada dari suatu mazhab, menjadikan pembahasan mereka lebih bersifat teoritis.[38]
Para ulama Mutakallimin ini menciptakan kaidah-kaidah ushul atas tuntutan ilmiah dan melakukan langkah-langkah secara deduktif. Deduktif merupakan sebuah cara berpikir yang dilakukan dengan cara menyusun kaidah guna mengistinbath hukum dari narasumbernya. Namun demikian, ulama ushul tetap mempelajari masalah fiqhiyah terlebih dahulu sebelum mepelajari ushul. Hal ini untuk mengetahui pemikiran para mujtahid dan mengetahui metode istinbath mereka.
Diantara kitab-kitab ushul fiqh yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut:[39]
·       Kitab Al-‘Ahd, hasil karya Al-Qadhi Abul Hasan Jabbar (wafat 415 H)
·       Kitab Al-Mu'tamad, hasil karya Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu'taziliy asy-Syafi'iy (wafat 463 H).
·      Kitab Al-Burhan, hasil karya Abdul Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy an-Naisaburiy asy-Syafi'iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain (wafat 487 H).
·      Kitab Al-Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi ' iy (wafat 505 H).
b.      Aliran Hanafiyah
Aliran Hanafiyah dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Penetapan kaidah-kaidah ushul berdasarkan hukum-hukum furu’(hukum yang sudah berkembang dimasyarakat).Artinya mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap masalah-masalah furu’ yang ada dalam mereka. Dalam menetapkan teori tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut.[40]
Diantara kitab-kitab ushul fiqh yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut:[41]
·  Kitab Al-Fushul fi al-Ushul, oleh Abu Bakar al-Razi yang lebih dikenal dengan sebutan al-Jashshash (w. 370 H)
·  Kitab Al-Taqwim fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu Zaid al-Dabbusi (w. 430 H)
·  Kitab Ushul al-Sarakhsi, oleh Muhammad al-Sarakhsi (w. 430 H)
·  Kitab Kanz al-Wushul ila ma’rifat al-Ushul, oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482 H)
c.       Aliran Gabungan
Aliran yang menggabungkan kedua metode yang dipakai dalam menyusun ushul fiqih oleh aliran Syafi’iyah dan aliran Hanafiyyah. Aliran ini mengemukakan bahwa alasan-alasan yang kuat dan juga memperhatikan penyesuaiannya dengan hukum-hukum furu’ yang telah ada. Diantara mereka itu adalah: [42]
·        Muzhaffarudin al-Sa’ati (w. 694 H) menulis kitab Badi’u al-Nidzam. Kitab ini perpaduan antara kitab Ushul al- Bazdawi yang ditulis oleh al-Bazdawi dengan kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam yang ditulis al-Amidi.
·        Shadr al-Syari’ah ‘Ubaidillah bin Mas’ud al-Bukhari al-Hanafi (w. 747 H) menulis kitab Tanqih al-Ushul. Kitab tersebut merupakan ringkasan dari kitab Ushul al-Bazdawi, al-Maushul dan Mukhtashar al-Muntaha.

F.   Kedudukan Usul Fiqh
Sebagai salah satu disiplin ilmu syariah, usul fiqh mencakup kajian-kajian tentang sumber-sumber hukum dan metodologi pengembangannya.
Ilmu usul fiqh merupakan suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar’i dan nash. Dan berdasarkan nash pula mereka mengambil ‘illat yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar’i, sebagaimana dijelaskan dan diisyaratkan oleh al-Qur’an maupun sunnah Nabi. Dalam hal ini, ilmu usul fiqh berarti suatu kumpulan kaidah metodologis yang menjelaskan bagi seorang faqih bagaimana cara mengambil hukum dari dalil-dalin syara’. Kaidah itu bisa bersifat lafzdiyah, seperti dilalah (penunjuuk) suatu lafazh terhadap arti tertentu, cara mengompromikan lafazh yang secara lahir bertentangan atau berbeda konsteksnya, dan bisa bersifat maknawiyah, seperti mengambil dan menggeneralisasikan suatu ‘illat dari nash serta cara yang paling tepat untuk penetapannya. Begitulah kandungan ilmu usul fiqh yang menguraikan dasar-dasar serta metode penetapan hukum taklif yang bersifat praktis yang menjadi pedoman bagi para faqih dan mujtahid, sehingga dia akan menempuh jalan yang tepat dalam beristinbath (menggambil hukum).[43]
Karena itulah ilmu usul fiqh merupakan aspek penting yang mempunyai pengaruh paling besar dalam pembentukan pemikiran fiqh. Dengan mengkaji ilmu ini seseorang akan mengetahui metode-metode yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam mengambil hukum hukum yang kita warisi selama ini. Terutama, dari segi yang lebih produktif bila ingin mengembangkan hukum-hukum yang telah diwarisi itu, meski tidak sepadan, maka ilmu usul fiqh itu akan menerangi jalan untuk berijtihad. Dengan begitu seseorang akan tahu tanda-tanda dalam menetapkan hukum syara’ dan tidak menyimpang dari jalan yang benar, disamping itu ia juga akan selalu mampu mengembangkan hukum syar’i dalam memberi jawaban terhadap segala persoalan yang muncul dalam setiap masa. Artinya ilmu usul fiqh merupakan hal hal yang yang harus diketahui oleh orang yang ingin mengenali fiqh (hasil ijtihad para ulama)terdahulu, juga bagi orang yang ingin mencari jawaban hukum syar’i  terhadap persoalan yang muncul pada setiap saat.[44]
Jadi, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan usul fiqh tersebut untuk menjawab berbagai persoalan dan upaya penerapan hukum syar’i yang berkaitan dengan individu atau masyarakat yang dituntut perhatian yang lebih besar terhadap ilmu-ilmu dasarnya (usul fiqh). Maka dari itu, seseorang harus mengetahui sumber-sumber hukumnya, dan metode-metode penerapan yang dipakai para ulama terdahulu untuk kemudian mampu memilih metode yang paling tepat sebagai dasar dalam penetapan hukum dengan tidak menyimpang dari tujuan syari’at islam.selin itu, ilmu usul fiqh bukan hanya berguna untuk memahami syari’at saja, tetapi juga sangat berguna untuk memahami undang-undang seecara tepat. Dengan ilmu ini juga seseorang akan mengetahui tentang pengertian setiap lafadz pada nash, baik secara manthuq (tekstual) maupun mafhum (konstekstual). Juga akan mampu membuat batasan bagaimana menetapkan suat pengertian yang tepat ketika berhadapan dengan lafadz lain yang secara lahir atau tersamar mempunyai persesuaian maupun perbedaan.[45]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.    Usul fiqh adalah metode atau kadah-kaidah yang dipakai untuk mengistinbathkan hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Metode istinbath tersebut ada yang berhubungan dengan kaidah-kaidah kebahasaan, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, ada yang berhubungan dengan tujuan hukum, dan ada pula dalam bentuk penyelesaian dari dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan yang disebut tarjih.
2.    Hubungan usul fiqh dengan fiqh dapat diartikan bahwaibarat kakak beradik, sebab keduanya bagaikan takhrij al-ahkam dengan tahbiq al-ahkam. Sebagaimana pengertian usul fiqh yang berasal dari dua kata, yaitu usul berbentuk jamak dari ashl dan kata fiqh, masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik bersifat materi taupun bukan, sedangkan fiqh artinya faham, usul lebih dulu di depan, sedangkan fiqh di belakang yang ada setelah usul. Melaksanakan tuntnan islam seharusnya setelah adanya hasil kerja usul fiqh, sehingga tat cara yang dilakukan, kedudukan hukumnya dan kehujjahan dalilnya telah benar-benar tegas dan jelas
3.    Objek kajian usul fiqh adalah segala sesuatu yang berhubunga dengan metodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh dlam menggali hukum syara’. Jadi objek usul fiqh meliputi klarifikasi dalil, orang-orang yang dibebani hukum syara’, orang-orang yang tidak berhak taklif, kaidah-kaidah bahsa yang dijadikan petunjuk yang dijadikan petunjuk oleh ahli fiqh untuk menetapkan hukum-hukum syara’ dari nash, kaidah-kaidah dalm menggunakan qiyas dan menetapkan titik persamaan, serta menetapkan titik persamaan antara hukum pokok dan cabang.
4.    Tujuan ilmu fiqh adalah menerapkan hukum syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga ilmu fiqh menjadi rujukan bagi seorang hakim dalam putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syara’ atas ucapan dan perbuataanya. Sedangkan kegunaan mempelaajari usul fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syari’at islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhanni (dugaan, perkiraan) untuk menghindari taqlid (mengikuti pendapat suatu mazhab tanpa mengetahui dalil yang digunakan). Hal ini belaku jika memang usul fiqh  benar-benar digunakan semestinya, yaitu mengambil hukum soal-soal cabang dari soal-soal yang pokok atau dengan mengembalikan soal-soal cabang pada soal-soal pokok. Yang pertama adalah pekerjaan ahli ijtihad (mujtahid) dan yang kedua adalah pekerjaan muttabi’.
5.    Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu usul fiqh bahwa benih-benih usul fiqh sudah ada sejak zaman Rasulallah dan Sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian usul fiqh, seperti ijtihad, qiyas, nasakh dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulallah dan Sahabat.[46] Sebagaimana sejak zaman Rasulallah sudah ada ijtihad. Salah satu hadis yang masyhur tentang ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal. Kemudian lebih jelasnya bahwa ilmu usul fiqh  terdapat beberapa penjelasan antara lain:
  • Praktek Istinbath Hukum Fikih sebelum Masa Perumusan
  • Pembukuan Usul Fiqh (Masa Imam Syafi’i)
  • Usul Fiqh pacsa Imam Syafi’i
  • Aliran-aliran usul fiqh yaitu: aliran mutakallimin (syafi’iah), aliran Hanafiyah, aliran gabungan.
6.    Kedudukan usul fiqh tersebut untuk menjawab berbagai persoalan dan upaya penerapan hukum syar’i yang berkaitan dengan individu atau masyarakat yang dituntut perhatian yang lebih besar terhadap ilmu-ilmu dasarnya (usul fiqh).





[1] Muhammad Abu Zahra, terjemah Usul Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2014), hlm. 1-2.
[2] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid 1, ( Jakarta: Logos WacanaIlmu, 1997), hlm. 35.
[3]Ibid, 2.
[4] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih,  (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2006), hlm.8-9.
[5] Wahbah az-Zuhaili, Usulul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul al-Fiqr, 2003). Hlm. 23.
[6] Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh Usul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 98.
[7] Hasbiyallah, Fiqh dan Usul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 4.
[8] Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh Usul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 114.
[9]Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah Fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah,  (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, t.th.) hlm.43.
[10] Ibid, 5.
[11] Wahbah az-Zuhaili, Usulul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul al-Fiqr, 2003). 46.
[12] Ibid, 5.
[13] Rahmat syafe’i, Ilmu Usul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 23-25.
[14] Ibid, 25.
[15] Abdul wahab khallaf, Terjemah  Ilmu Usul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 5.
[16] Al-Bardisi, Muhammad Zakariya, Usul Al-Fiqh, (Mesir: Dar Al-Nahda Al-‘Arobiyah, 1969), hlm. 56.
[17] Syafi’i Karim, Fiqih/UshulFiqih, (Bandung: PustakaSetia, 1997), hlm. 53.
[18] Ibid, 3-4.
[19] Hanafi, Usul Fiqh, (Bandung: al-Ma’arif, tt), hlm. 14.
[20] Ibid, 4.
[21] Abu Zahro, Usul Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firadaus, 2014), hlm. 8.
[22] Rahmat syafe’i, Ilmu Usul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 115.
[23] Abu Daud, Sunan Abu Daud Jilid IX, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), hlm. 509.
[24] Ibid, 115.
[25] Muhammad Khudari Beik, Usul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 1-2.
[26] Dan dalam karya-karya kontemporer diantaranya- Syekh Muhammad Khudlari; Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, Ahmad Amin; Fajr al-Islam, Dr. Musthafa Abdurraziq; Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, Syekh Muhammad Abu Zahrah; Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, serta yang lain.
[27] Dari contoh-contoh hukum di atas secara urut merupakan hasil ijtihad Qiyas, Istishlah, dan terakhir berupa Istishhab. Tetapi di sini perlu diperhatikan bahwa hukum-hukum yang ditetapkan oleh Sunnah Rasul tidak semuanya berupa hasil ijtihad, tapi ada yang berupa wahyu Sunnah yang murni.
[28] Ibid, 5.
[29] Ibid, 9.
[30] Chaerul Umam, Ushul fiqih 1 (Bandung: PustakaSetia, 2008),hlm. 26-27
[31] Menurut perhitungan angka yang diberikan oleh Abdul Wahab Khalaf dalam buku ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo, Dar al-Hadits, 2003, hal. 29), ayat-ayat ahkam berjumlah 368 ayat, dengan rincian : hukum ibadah = 140 ayat, hukum rumah-tangga = 70 ayat, hukum perdata = 70 ayat, hukum pidana = 30 ayat, acara pidana = 13 ayat, sistem negara = 10 ayat, aturan internasional = 25 ayat, dan sistem ekonomi = 10 ayat. Dari jumlah 368 ini, hanya 228 atau 31,5 % merupakan ayat yang mengurus soal hidup kemasyarakatan umat. Sedangkan hadits-hadits ahkam banyak tertuang diantaranya dalam kitab Shahih Bukhari, Nailul Authar; al-Saukani, Bulugh al-Maram dan syarahnya Subul al-Salam; al-Shan’ani, dll., yang jumlahnya pun terbatas jika dibandingkan problema sosial yang terus berkembang. Maka dengan fakta ini menuntut sebuah gerakan ijtihad baik tempo dulu maupun di masa sekarang ini.    
[32] Ibid, 11.
[33] A. Djazuli, Ilmu Usul Fiqh, (Bandung: Gilang Aditiya Putra, 1997), hlm. 29.
[34] Musthafa Abdurraziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, al-Hay’ah al-Mashriyyah al-‘Ammah li al-Kitab,( Kairo, 2007), hlm. .237.
[35] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 19.
[36] Ibid, 11.
[37] Chaerul Umam, Ushul fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),hlm. 28.
[38] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh Cet-2, (Jakarta: PT  Logos WacanIlmu ,1997), hlm. 12.
[39] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 345.
[40]Ibid, 21-23.
[41] Abdussalam Balaji, Tathawwur ‘Ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, (Dar al-Wafa’, Mansuria, cet. I, 2007), hlm. 87
[42] Ibid, 25-26.
[43] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 2006). hlm. 87
[44] Ibid, 56.
[45]Abu Zahrah, Syekh Muhammad, Ushul al-Fiq,  (Kairo, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 2004). Muqoddimah.
[46] Rahmat syafe’i, Ilmu Usul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 115.

Komentar

SEJARAH KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM SEJAK AL-SHAFI’IY HINGGA AL-SHATIBY

A.     Pendahuluan Teori hukum fikih atau yang dikenal dengan ’Ilm Ushul al-Fiqh merupakan suatu cabang disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah atau metode yang dipergunakan oleh para praktisi hukum (Fuqaha’) di dalam memutuskan segala bentuk perkara hukum berdasarkan syariat Islam. Dalam ushul fikih juga akan mengulas latar-belakang lahirnya sebuah teori hingga dimasukkan ke dalam satuan-satuan normatif yang ada. Sejarah teorisasi pemikiran fikih ini perlu kita telusuri dan butuh kita ketahui sebagai wawasan, sebab watak dasar pemikiran fikih dari para praktisi hukum semuanya berpijak pada prinsip-prinsip dasar ini.   Secara etimologi, “Ushul al-Fiqh” terdiri dari dua suku kata, yaitu : kata “al-Ushul” bentuk jamak dari “al-Ashl” (artinya; pokok atau asal), dan kata “al-Fiqh ” (pemahaman atau ilmu pengatahuan tentang hukum-hukum fikih). Sedangkan dalam terminologi syariat para ulama dari madzhab Syafi’iyah menetapkan definisi : ( معرفة دلائل الفق...