USHUL FIQH DAN KEDUDUKANNYA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran sebagai
petunjuk bagi umat Islam secara garis besar mengandung dasar-dasar tentang
akidah, akhlak, dan syariah atau hukum bagi keberlangsungan kehidupan makhluk
di jagat raya ini. Penjelasan tentang isi Al-Qur’an dijabarkan oleh Rasulullah
SAW sebagai penafsir kalamullah sepanjang hidupnya. Semasa beliau hidup setiap
kasus yang timbul dapat segera diketahui jawabanyanya berdasarkan nash al-Quran
serta penjelasan dan interpretasi yang kemudian dikenal menjadi sunnahnya.
Namun, pada masa berikutnya, kehidupan masyarakat mengalami perkembangan yang
sangat pesat seiring berkembangnya Islam ke antero dunia. Kontak antara bangsa
Arab dan bangsa-bangsa lain di luar Arab dengan corak budaya yang beragam
menimbulkan berbagai kasus baru yang mengharuskan untuk segera dicari solusi
dan alternative untuk menjawabnya. Disinilah urgensitas ijtihad untuk
mengkontekstualisasikan nash al-Qur an dan Sunnah sebagai sumber pedoman dan
panduan hukum bagi alam semesta.
Fiqh yang notabene
sebagai ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat praktis(‘amaliyah),
merupakan sebuah “jendela” yang dapat digunakan untuk melihat perilaku budaya
masyarakat Islam. Definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali
(al-Muktasab)menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses
sebelum akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Proses yang umum kita kenal
sebagi ijtihad ini bukan saja memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga
pengembangan tak terhingga atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya
mengalami perkembangan. Maka dari itulah diperlukan upaya memahami pokok-pokok
dalam mengkaji perkembangan fiqh agar tetap dinamis sepanjang masa sebagai
pijakan yang disebut dengan istilah Ushul Fiqh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Usul Fiqh?
2. Apa
saja objek pembahasan Usul Fiqh?
3. Apa
tujuan dan kegunaan mempelajari Usul Fiqh?
4. Bagaimanakah
Hubungan Usul Fiqh dengan Fiqh?
5. Bagaimana
sejarah pertumbuhan dan pekermbanga Usul Fiqh?
6. Bagaimana
kedudukan Usul Fiqh?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pngertian Usul Fiqh
Kata “ushul
fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul (أصول)” dan kata “fiqh
(الفقه)”.
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal (الأصل)” secara etimologi berarti “sesuatu yang
menjadi dasar bagi yang lainya”. Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud
definitive dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu
ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”.
Kata “fiqh
(الفقه)”
secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Arti fiqh dari segi istilah
hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana
disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”. Dari arti fiqh
secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu
bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amali dan kedua tentang
dalil-dalil tafsili.[1]
Dengan demikian
“ushul fiqh” secara istilah adalah teknik hukum berarti : “Ilmu tentang
kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya
yang terinci,” atau dalam artian sederhana adalah: “Kaidah- kaidah yang
menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalinya”. Misalnya,
shalat menurut fiqhnya adalah wajib, dan menurut usul fiqhnya adalah
dalil syara’ yang menyatakan perintah untuk mendirikan sholat. Hal ini selalu
dilaksanakn oleh Rasulallah dan beliau tidak pernah meninggalkannya sekalipun
dalam keadaan sakit, sehingga hukum shalat adalah wajib. Dengan demikian,
terwujudlah kaidah bahwa pada dasarnya perinta itu wajib (الآصل فى الآمر للوجوب (.[2]
Menurut
Al-Baidhawi (w 685 H) dari kalangan ulama’ Syafi’iyah:
معرفة
دلائل الفقه إجمالا وكيفية الإستفاد منها وحال المستفيد
“pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara global, cara
mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil itu, dan tentang hal ihwal pelaku
istinbath.”[3]
Kemudian menurut
Syekh Muhammad Al-Khudhary Beik, yang diambil dari pendapat Kamaludin Ibnu
Humam dari kalangan ulama Hanafiyah. Usul Fiqh adalah sebagai pengetahuan
tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqh.[4]
Senada dengan
pendapat di atas, Wahbah az-Zuhailli mendifinisikan usul fiqh sebagai berikut:
القواعد
التى يوصل البحث فيها الى استباط الأحكام من ادلتها التفصيليه
“kaidah-kaidah yang akan digunakan seorang mujtahid untuk
menyimpulkan hukum fiqh dari satu persatu daililnya”.[5]
Sedangakan
menurut Jumhur Ulama, mendifinisikan bahwa usul fiqh sebagai himpunan
kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil
dalinya.
Sebagai contoh usul
fiqh menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjujan hukum wajib,
dan larangan (nahi) menunjukan hukum haram, adalah sebagai berikut:
Contoh tentang
hukum wajibnya adalah shalat, firman Allah:
واقيمو
الصلاة
“dirikanlah
shalat”
Sementara contoh
haramnya zina terdapat dalam firman Allah:
ولا
تقربوا الزنى
“janganlah kalian mendekati zina”
Dari definisi di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa inti dari usul fiqh adalah metode
atau kadah-kaidah yang dipakai untuk mengistinbathkan hukum dari
al-Qur’an dan as-Sunnah. Metode istinbath tersebut ada yang berhubungan
dengan kaidah-kaidah kebahasaan, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab,
ada yang berhubungan dengan tujuan hukum, dan ada pula dalam bentuk
penyelesaian dari dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan yang disebut tarjih.
[6]
B. Hubungan Usul Fiqh dengan Fiqh
Jika usul
fiqh dikaitkan dengan Fiqh ibarat ilmu manthiq (logika) dengan
filsafat. manthiq merupakan kaidah berfikir yang memelihara akal agar
tidak terjerumus dalam kehancuran berfikir. Begitu juga ibarat hubungan ilmu nahwu
dengan bahasa Arab, ilmu nahwu sebagai grametika yang menghindarkan
kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa Arab. Demikian pula
usul fiqh dengan fiqh, usul fiqh merupakan kaidah yang
memelihara fuqoha’ agar tidak
terjadi kesalahan di dalam mengistinbathkan hukum.
Jadi, dapat
diambil kesimpulan bahwa ilmu Usul Fiqh berfungsi sebagai sarana untuk
membedakan istinbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu nahwu
berfungsi untuk membedakan antara susunan bahasa Arab yang benar dengan yang
salah. Dan ilmu manthiq untuk
mengetahui argumentasi yang ilmiah serta kesimpulan yang ilmiah pula.[7]
Di samping itu,
ada yang mengartikan bahwa ilmu usul fiqh dengan ilmu fiqh ibarat
kakak beradik, sebab keduanya bagaikan takhrij al-ahkam dengan tahbiq
al-ahkam. Sebagaimana pengertian usul fiqh yang berasal dari dua kata,
yaitu usul berbentuk jamak dari ashl dan kata fiqh, masing-masing
memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai
“fondasi sesuatu, baik bersifat materi taupun bukan, sedangkan fiqh
artinya faham, usul lebih dulu di depan, sedangkan fiqh di belakang yang ada
setelah usul. Melaksanakan tuntnan islam seharusnya setelah adanya hasil kerja
usul fiqh, sehingga tat cara yang dilakukan, kedudukan hukumnya dan kehujjahan
dalilnya telah benar-benar tegas dan jelas.[8]
C. Obyek pembahasan Usul Fiqh
Dari penjelasan
tentang hubungan antara usul fiqh dengan fiqh serta perbedaannya
masing-masing, maka jelas pula bahwa obyek usul fiqh berbeda dengan
obyek fiqh. Obyek pembahasan ilmu fiqh adalah perbuatan orang mukallaf
ditinjau dari ketetapannya terhadap syara’. Maka seorang ahli fiqih membahas
masalah jual beli, sewa-menyewa, gadai, perwakilan, shalat, puasa, haji, haji,
pembunuhan, tuduhan pencurian, ikrar, wakaf yang kesemuannya dilakukan oleh
mukallaf, demi mengetahui hukum syara’ atas perbuatan-perbuatan tersebut.
Sedangkan obyek usul
fiqh adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Jadi pada
intinya kedua disiplin ilmu tersebut (usul fiqh dan fiqh)
sama-sama membahas tentang dalil-dalil syara’, akan tetapi tinjauannya berbeda.
Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang
yang berhubungan dengan perbuatan, sedangkan usul fiqh meninjau dari
segi metode penetapan hukum, klarifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi
yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut.[9]
Sementara
menurut Imam al-Ghazali yang menjadi objek kajian usul fiqh dibagi
menjadi empat bagian, anatar lain:[10]
1. Pembahasan
tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya,
2. Pembahasan
tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum,
3. Pembahsan
tentang cara mengistinbathkan hukum dari sumber-sumber dan dalil itu,
4. Pembahsan
tentang ijtihad.
Sedangkan
menurut Wahbah az-Zuhailli objek kajian usul fiqh adalah sebagai berikut:[11]
1. Sumber-sumber
hukum syara’, baik yang disepakati seperti al-Qur’an dan sunnah, maupun
yang diperselisihkan, seperti istihsan dan maslahah mursalah,
2. Pembahsan
tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan
ijtihad,
3. Mencarikan
jaln keluar dari dua dalil yang yang bertentangan secara dzahir, ayat dengan
ayat atau sunnah dengan sunnah, dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian (Al-jam’u
wa at-taufiq), menguatkan slah satu (tarjih), pengguguran salah satu
atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut as-dalilain).
4. Pembahsan
hukum syara’yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang
bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah).juga
dibahas tentang hukum, hakim, mahkum alaih ( orang yang dibebani), dll,
5. Pembahasan
kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistinbathkan hukum dan cara
menggunakannya.
Dari uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa objek kajian usul fiqh adalah segala
sesuatu yang berhubunga dengan metodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh dlam
menggali hukum syara’. Jadi objek usul fiqh meliputi klarifikasi
dalil, orang-orang yang dibebani hukum syara’, orang-orang yang tidak
berhak taklif, kaidah-kaidah bahsa yang dijadikan petunjuk yang
dijadikan petunjuk oleh ahli fiqh untuk menetapkan hukum-hukum syara’
dari nash, kaidah-kaidah dalm menggunakan qiyas dan
menetapkan titik persamaan, serta menetapkan titik persamaan antara hukum pokok
dan cabang. Selain itu, usul fiqh juga menjelaskan tentang hukum-hukum syara’
beserta tujuannya, pembagiannya, rukhsah, ‘azimah, dan lain-lain
sebagai kategori metodoloogi yang dipergunakan oleh ahli fiqh untuk
menggali hukum syara’.[12]
Kemudian dari
pada itu, seperti yang sudah dijelaskan di atas yaitu tentan pengertian usul
fiqh, para ulama’ menyepakati bahwa usul fiqh merupakan salah satu
sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh
Allah dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan maslah aqidah, ibadah,
muamalat, ‘uqubah, maupun akhlak. Dengan kata lain, usul fiqh bukanlah
sebagai tujuan melainkan hanya sebagai alat. Adapun sumber pengambilan usul
fiqh berasal dari:[13]
1. Ilmu
kalam (teologi),
2. Ilmu
Bahasa Arab,
3. Tujuan
syara’ (maqasid Asy-syari’ah)
Hal itu
disebabkan bahwa sumber hukum (dalil hukum) yang merupakan objek bahsa usul
fiqh diyakini dari Allah benbentuk al-Qur’an dan Sunnah. Pembuat hukum
adalah Allah, tiada hukum kecuali dari Allah. Hal tersebut merupakan bahsa ilmu
kalam.
Selain itu, usul
fiqh juga membahas tentang dalalah lafad.penggunaan
lafad,ruang lingkup lafad, seperti ‘amm dan khash, dan
sebagainya. Ini berarti berkaitan dengan ilmu bahsa Arab. Kemudian, pengetahuan
hukum tidak terlepas dari tujuan hukum (maqasid Asy-syari’ah) dan
hakikat hukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum
yang tepat dan mengandung kemaslahatan.[14]
D. Tujuan dan Kegunaan Usul Fiqh
Sebagaimana
sudah dijelaskan di atas bahwa ilmu usul fiqh dengan ilmu fiqh ibarat kakak beradik dan tidak bisa untuk dipisahkan. Maka
dari itu, sebelum membahas tentang tujuan dari usul fiqh alangkah baiknya
penulis akan memaparkan sekilas tentang tujuan ilmu fiqh.
Adapun tujuan ilmu
fiqh adalah menerapkan hukum syara’ pada semua perbuatan dan ucapan
manusia. Sehingga ilmu fiqh menjadi rujukan bagi seorang hakim Pengadilan
Agama dalam putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukallaf
untuk mengetahui hukum syara’ atas ucapan dan perbuataanya. Ini
adalah tujuan dari semua undang-undang yang ada pada umat manusia. Ia tidak
memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan hukumnya terhadap ucapan dan
perbuatan manusia, juga mengenalkan kepada mukallaf tentang hal-hal yang
wajib dan yang haram baginya. Kemudian, tujuan dari usul fiqh adalah
menerapkan kaidah dan pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk hukum syara’nya.
Sehingga dengan kaidah dan pembahasannya dapat dipahami nash-nash syara’
dan dengan hukum-hukum yang
dikandungnya, dapat diketahui sesuatu yang memperjelas kesamaran nash-nash tersebut
dan nash mana yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara
sebagian nash dengan yang lain.[15]
Dengan kaidah
dan pembahasannya itu juga dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki nash
dengan cara qiyas, istihsan, istishab atau yang lain, dapat
benar-benar dipahami hukum yang telah dikeluarkan oleh imam-imam mujtahid,
dapat dijadikan penimbang (sebab terjadinya) perbedaan mazhab diantara mereka
terhadap satu bentuk kejadian. Karena tidak mungkin memahami hukum dari satu
sudut pandang atau membandingkan dua hukum yang berbeda kecuali dengan
mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya. Dan ini hanya
dapat dilakukan dengan ilmu usul fiqh yang merupakan dasar ilmu fiqh.
[16]
Dari uraian di
atas, telah tergambar jelas tujuan dari mempelajari usul fiqh,
diantaranya adalah:[17]
1. Menerapkan
kaidah-kaidah, teori, pembahasan dalil-alil secara terperinci, dalam
menghasilkan hukum syariat islam, yang diambil dari dalil-dalil tersebut.
2. Untuk
mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.
3. Untuk
mempeljari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
4. Kaum
muslimin harus bertafaqquh artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum
agama baik dalam bidang aqaid dan akhlak maupun dalam bidang ibadah maupun
muamalah.
Sedangkan
kegunaan dari usul fiqh adalah sebagai berikut: [18]
1. Mengetahui
dalil-dalil dalam menetapkan hukum,
2. Menghidari
sifat taqlid (mengikuti pendapat suatu mazhab tanpa mengetahui dalil
yang digunakan),
3. Memperluas
wawasan berpikir/metode bertpikir para ulama dalam menetapkan suatu hukum,
4. Mampu
mengistinbathkan hukum terhadap perkara yang baru muncul,
5. Mampu
berpikir logis dan analisis terhadap suatu perkara.
Dari uraian di
atas dapat dijelaskan bahwa kegunaan mempelaajari usul fiqh ialah
mengetahui hukum-hukum syari’at islam dengan jalan yakin (pasti) atau
dengan jalan zhanni (dugaan, perkiraan) untuk menghindari taqlid (mengikuti
pendapat suatu mazhab tanpa mengetahui dalil yang digunakan). Hal ini belaku
jika memang usul fiqh benar-benar
digunakan semestinya, yaitu mengambil hukum soal-soal cabang dari soal-soal
yang pokok atau dengan mengembalikan soal-soal cabang pada soal-soal pokok.
Yang pertama adalah pekerjaan ahli ijtihad (mujtahid) dan yang kedua adalah
pekerjaan muttabi’. Selain itu, usul fiah juga berguna untuk
mengeluarkan ketentuan atau ketetapan dari sumber hukum, yakni al-Qur’an,
melalui penerapan kaidah-kaidah usul yang berlaku. Dengan memahami usul
fiqh dan menerapkannya, orang-orang islam akan terhindar dari sikap
taqlid. Usul fiqh adalah
metode istinbath hukum yang berguna untuk mengeluarkan dali-dalil bagi
perbuatan mukallaf, dan menetapkan hukum dalam melaksanakan suatu
perintah yang bersangkutan.[19]
Jadi, kegunaan usul
fiqh akan terasa bilamana keyakinan bahwa pintu ijtihad yang sudah
ditutup pada periode taqlid (era kemunduran Hukum Islam) dapat
disingkirkan dari benak umat islam. Jika benar pintu ijtihad pernah
ditutup dalam sejarahnya, hal itu tidak lain dengan maksud agar ijthad tidak dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak
berkompeten untuk melakukannya. Bagi orang-orang yang mampu, pintu ijtihad
tersebut tetap terbuka.[20]
E. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembanga Usul Fiqh
Setiap ilmu
pasti mengalami pertumbuhan dan perkembangan, tidak terkecuali dengan ilmu
usul fiqh. Banyak orang yang bertanya tetang tentang peletak dasar ilmu usul
fiqh.
Masa pertumbuhan
ilmu usul fiqh bersama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukukan
lebih dahulu dari pada ilnu usul fiqh. Karena tumbuhnya ilmu fiqh tentu
ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. dan metode itu tidak lain
adalah ilmu usul fqh.[21]
Rahmat Syafi’i
menyatakan bahwa benih-benih usul fiqh sudah ada sejak zaman Rasulallah
dan Sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian usul fiqh, seperti ijtihad,
qiyas, nasakh dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulallah dan
Sahabat.[22] Sebagaimana
sejak zaman Rasulallah sudah ada ijtihad. Salah satu hadis yang
masyhur tentang ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang dilakukan
oleh Mu’adz bin Jabal:[23]
وَمِثْلُ مُعَا ذِبْنِ جَبَلٍ الَّذِي بَعَثَهُ الرَّسُوْلُ اِلَى
اليَمَنْ وَقَالَ لَهُ: بِمَ تَقْضِى اِذَا عُرِضَ لَكَ قَصَاءٌ وَلَمْ تَجِدْ فِى
كِتَابِ اللَّهِ وَلَا فِى سُنَّةِ رَسُوْلِهِ مَا تَقْضِى بِهِ, فَقَالَ مُعَاذُ : اَجْتَهِدُ رَأْيِ, فَقَالَ
الرَّسُوْلُ : اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللَّهِ
لِمَا يَرْ ضَى اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ.
“Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau
bersabda : “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?”. Mu’adz menjawab : “Saya
akan menghukum dengan apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Beliau bersabda
: “Apabila tidak terdapat dalam Kitabullah ?”. Mu’adz menjawab : “Maka (saya
akan menghukum) dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Beliau
bersabda kembali : “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pikiran
saya.”
Konsekuensi
dari ijtihad ini adalah qiyas, karena penerapan ijtihad
dalam persoalan-persoalan yang bersifat juz’iyah harus dengan qiyas.[24]
Akan lebih jelasnya berikut ini adalah penjelasan tentang pertumbuhan dan
perkembangan usul fiqh:
1. Praktek
Istinbath Hukum Fikih sebelum Masa Perumusan
Praktek penggalian hukum fikih (Istinbath
al-Ahkam al-Fiqhiyyah) telah dimulai semenjak zaman Rasulullah. Rasulullah
sebagai penyampai risalah langit akan memberikan jawaban-jawaban hukum sesuai
dengan wahyu yang telah diturunkan oleh Allah kepada-Nya, dan apabila
belum/tidak diturunkan maka Rasul akan berijtihad dengan akal pribadinya yang
tersucikan dari kesalahan dan dosa. Setelah Rasul melakukan ijtihad, ada
kalanya seketika itu diturunkan wahyu untuk lebih membenarkan hasil ijtihad
tersebut, dan ada kalanya tidak diturunkan sehingga hasil ijtihad Rasul
ditetapkan sebagai putusan hukum yang final. Sebab dari pribadi Rasul tidak
akan keluar sesuatu kecuali berupa wahyu.[25]
Banyak riwayat yang menjadi bukti atas
kelangsungan ijtihad Rasul, baik berupa terapan Qiyas (analogi), Istishhab
(mengembalikan hukum kepada asal masalah), ataupun Istishlah (pencapaian
maslahat). Kiita akan banyak menjumpai
riwayat-riwayat ini di dalam al-Ihkam; al-Amidi, Irsyad
al-Fuhul; al-Syaukani, dan beberapa kitab ushul lainnya.[26]
Sebagai contoh Rasul pernah ditanya oleh budak perempuan Khasy’amiyah mengenai
tanggungan wajib haji untuk seorang Ayah yang meninggal dunia dan ia belum
sempat menunaikannya di masa hidupnya. Rasul mengkiasan dengan hukum kewajiban
membayar hutang kepada sesama, maka hutang kepada Allah lebih wajib hukumnya
untuk diselesaikan. Dan, diriwayatkan juga Rasul sering bersabda dengan
menyebutkan ‘Illah (sebab-musabab) ditetapkannya sebuah hukum, seperti
larangan Rasul untuk menimbun daging kurban jika masih ada orang yang
membutuhkan, larangan berziarah kubur yang kemudian diperbolehkan jika tidak
menimbulkan kemusyrikan dan mengingatkan kita pada kematian, serta
riwayat-riwayat lainnya.[27]
Di masa kehidupan Rasulullah ini praktek
ijtihad juga dilakukan oleh para Sahabat, baik ketika bersama Rasul maupun saat
mereka berlainan tempat. Seperti ijtihad Abu Bakar dalam memberikan hak
rampasan perang (ghanimah) kepada Abu Qatadah yang berhasil menebas
leher seorang lelaki musyrik, dan Rasul pun membenarkan fatwa tersebut.
Demikian halnya hadits masyhur tentang diutusnya Mu’ad ibn Jabal ke Yaman,
kisah ini menunjukkan bahwa Sahabat benar-benar melakukan ijtihad semasa hidup
Rasul. Dari sini dapat kita pahami bahwa dalil-dalil hukum di masa Nabi Saw.
terdiri dari al-Quran, Sunnah dan juga ijtihad.[28]
Sepeninggal Rasul, sebelum para Sahabat
terpencar ke berbagai wilayah, sejarawan mencatat dalil-dalil yang dijadikan
pijakan dalam beristinbath bersandar pada al-Quran, Sunnah, dan ijtihad
personal. Dan, mulai muncul terma Ijma’ (konsensus ulama) yang merupakan
kesepakatan hasil ijtihad dari selurh Sahabat yang hidup kala itu. Hasil
konsensus ini diangkat sebagai dalil hukum yang menempati urutan ketiga di atas
ijtihad personal, dengan dalih bahwa ‘Illah (indikator) hukum yang
semula samar telah terungkap jelas melalui upaya ijtihad dari golongan Sahabat
Nabi secara menyeluruh.
Selanjutnya di akhir masa Sahabat,
tepatnya mulai tahun 41 Hijriyah, ketika Islam melakukan propaganda ke berbagai
wilayah menjadikan kelompok Sahabat tidak lagi menetap di Makkah dan Madinah
saja. Mereka tersebar ke beberapa daerah, seperti di Kuffah, Bashrah, Yaman, Mesir
dan lain-lain. Dengan kondisi semacam ini memulai babak baru dalam dinamika
pemikiran fikih, terutama dengan lahirnya dua madrsah yang dikenal dalam
sejarah dengan sebutan “Ahli Ra’yi” yang berkembang pesat di wilayah Iraq
(Bashrah-Kuffah) dan “Ahli Hadits” di wilayah Hijaz (Makkah-Madinah).[29]
Karakteristik pemikiran fikih dari
madrasah Ahli Ra’yi cenderung menggunakan nalar rasio dengan porsi yang lebih
daripada merujuk pada hadits-hadits ahkam (atau Sunnah; dalam itradisi fuqaha’)
di dalam melangsungkan praktek istinbath hukumnya. Hal ini ditengarai oleh
minimnya jumlah Sahabat yang menetap di wilayah Bashrah dan Kuffah sehingga
kapasitas hadits yang ada sangatlah minim. Para Sahabat dan murid-muridnya yang
berada di wilayah ini mengembangkan pola ijtihad akal dari bentuk semula yang
sedrhana menjadi semakin komplek dengan tidak keluar dari pola dasar yang
diterapkan pada periode kenabian. Polarisasi ijtihad ini mencuat ke permukaan
dengan ragamnya ─seperti; Istihsan (pencapaian kebaikan tanpa rujukan nash),
‘Urf (adat-istiadat), pengembangan metode qiyas (analogi) dan
sebagainya─ muncul dari tokoh muda madrasah ini, bernama; Abu Hanifah al-Nu’man
(80-150 H.).[30]
Sedangkan karakteristik pemikiran yang
dikembangkan Ahli Hadits banyak merujuk kepada riwayat-riwayat hadits daripada
pengembangan pola ijtihad akal. Hal ini dilator-belakangi oleh banyaknya para
perowi hadits yang beredar di wilayah tersebut, sebagaimana mayoritas golongan
Sahabat berdomisili di negeri Hijaz itu. Namun kondisi semisal bukan berarti
pengembangan pola ijtihad akal sama sekali diabaikan oleh mereka. Pergeseran
zaman dengan bertambahnya problema yang dihadapi menjadikan ayat-ayat ahkam yang
dalam jumlahnya hanya 5,8% dari 6.360 ayat, dan dengan ditambah jumlah riwayat
hadits ahkam yang ada, masih belum mencukupi untuk merespon segala
problematika sosial yang terus berkembang.[31]
Sehingga menuntut mujtahid-mujtahid Hijaz untuk ikut serta mengembangkan
polarisasi ijtihad akal sebagaimana para mujtahid Iraq. Diantara yang menjadi
bukti ialah munculnya terma Mashalih Mursalah (pencapaian kemaslahatan
tanpa rujukan nash),‘Urf (adat-istiadat), dan Sad al-Dzara’i
(tindak preventif) yang digulirkan oleh seorang imam besar kota Madinah, Malik
ibn Anas al-Ashbuhi (93-179 H.).[32]
Dari praktek-praktek istinbath yang
telah diterapkan semenjak masa kenabian dan kemudian berkembang dengan
polarisasi yang ada, belum pernah terkonsepkan secara sistematis dan
terkodifikasi dalam satuan-satuan yang utuh. Dalam kinerja istinbath mereka
hanya berpedoman pada tuntunan-tuntunan seorang guru yang disampaikan secara
lisan. Maka, dari terapan-terapan istinbath tersebut akan menjadi embrio
ditelorkannya teori hukum fikih di masa berikutnya yang dapat kita simak dalam
uraian di bawah ini.
2. Pembukuan
Usul Fiqh (Masa Imam Syafi’i)
Teorisasi pertama fikih Islam hadir dari
seorang mujtahid dengan pola pikir ideologi wasathiyyah, yakni di tangan Muhammad ibn Idris al-Syafi’i
(150-204 H.). Ia mencoba menuangkan
terma istinbath fikih ke dalam satuan-satuan teori yang utuh. Yaitu dalam kitab
al-Risalah yang dalam penulisannya kitab ini terselesaikan oleh bantuan
seorang murid terdekatnya Abdurrahman ibn Mahdi. Upaya teorisasi ini juga
tersirat di dalam kitabnya yang berjudul Jima’ al-‘ilm, Mukhtalif al-Hadits,
serta Ibthal al-Istihsan pada jilid ke-7 dari kitab al-Umm.
Dengan tujuan untuk menciptakan sebuah standaritas baku dalam kinerja istinbath
hukum fikih yang menurut al-Syafi’i sudah banyak terselewengkan.[33]
Gaya pemikiran baru yang berpijak pada
ideologi oplosan ─gabungan antara ideologi pemikiran Ahli Ra’yi dan Ahli
Hadits─ ini mencoba untuk menggugat tradisi pemikiran fikih lama yang
banyak terselewengkan untuk direkonstruksi dengan formulasi barunya itu.
Sedangkan metode pendekatan yang dipergunakan ialah dengan menggunakan
silogisme-silogisme filsafat. Dr. Musthafa Abdurraziq menyebutkan dari gaya
nalar fikih al-Syafi’i mencerminkan pola pemikiran rasional ilmiah yang sama
sekali tidak melibatkan produk-produk hukum dalam bentuknya yang partikular,
analisanya tertuju pada kesimpulan umum hingga kemudian disajikan ke dalam
satuan-satuan teori. Maka inilah yang
dinamakan dengan metode analisa filosofis. Sebagaimana Ahmad ibn Hambal
mengidentikkan al-Syafi’i sebagai seorang filosof pada empat bidang, yaitu pada
terma gramatikal Arab, dinamika sosial, semantika bahasa, dan fikih.[34]
Jadi, Pada penghujung abad kedua dan
awal abad ketiga inilah, Imam Muhammad bin Idris Asy-syafi’i (150-204 H)
pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul
fiqh pada tahun 204 H. Pada masa ini ditandai dengan pesatnya perkembangan
ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai didirikannya “Baitul-Hikmah”,
yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad pada masa itu. Dengan berkembang
pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’i yang datang kemudian, banyak mengetahui
tentang metode istinbath para mujtahid sebelumnya, sehingga beliau mengetahui
di mana keunggulan dan di mana kelemahannya. Beliau merumuskan ushul fiqh
untuk mewujudkan metode istinbath yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat
hukum Islam, untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran
hasil ijtihad di masa sebelumnya.[35]
Beliau merupakan orang pertama yang
membukukan ilmu ushul fiqh. Kitabnya yang berjudul Al-Risalah. menjadi
bukti bahwa beliau telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam kitabnya Imam
Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak
shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan
Madinah. Kitabnya tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan
fiqh.[36]
3. Usul
Fiqh pasca Imam Syafi’i
Kandungan
kitab Al-Risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan
pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Ada yang membahas secara
men-syarh (menjelaskan) tanpa mengubah atau mengurangi yang dikemukakan Imam
Syafi’i dalam kitabnya. Tapi, ada juga yang membahas bersifat analisis terhadap
pendapat dan teori Imam Syafi’i.
Masih
dalam abad ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini.
Salah satunya buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad bin Hanbal
(164-241H) pendiri mazhab Hanbali. Pertengahan abad keempat ditandai dengan
kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dengan pengertian tidak ada
lagi orang yang mengkhususkan diri membentuk mazhab baru. Namun kegiatan
ijtihad dalam bidang ushul fiqh berkembang pesat. Para ahli analisis ushul fiqh
mengatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab tersebut, ushul fiqh menemukan
bentuknya yang sempurna, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung memilih
dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang dihadapi pada zaman
masing-masing.[37]
4. Aliran-aliran
Usul Fiqh
a. Aliran
Mutakallim (Syafi’iyah)
Aliran Syafi’iyah atau
sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (Ahli Kalam). Aliran ini disebut
Syafi’iyah karena Imam Syafi’i adalah tokoh pertama yang menyusun ushul fiqih
dengan menggunakan metode ini.Aliran ini berpegang pada analisis-analisis
kebahasaan (linguistic). Dalam membangun teori, aliran ini menetapkan
kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik dari naqli (Al-Qur’an dan atau
Sunnah) maupun dari aqli (akal pikiran), tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah
furu’ dari berbagai mazhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan
furu’ dan adakalanya tidak. Ketidakterikatan dengan masalah-masalah furu’ yang
telah ada dari suatu mazhab, menjadikan pembahasan mereka lebih bersifat
teoritis.[38]
Para ulama Mutakallimin
ini menciptakan kaidah-kaidah ushul atas tuntutan ilmiah dan melakukan
langkah-langkah secara deduktif. Deduktif merupakan sebuah cara berpikir yang
dilakukan dengan cara menyusun kaidah guna mengistinbath hukum dari
narasumbernya. Namun demikian, ulama ushul tetap mempelajari masalah fiqhiyah
terlebih dahulu sebelum mepelajari ushul. Hal ini untuk mengetahui pemikiran
para mujtahid dan mengetahui metode istinbath mereka.
Diantara kitab-kitab
ushul fiqh yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut:[39]
· Kitab Al-‘Ahd, hasil karya Al-Qadhi Abul Hasan
Jabbar (wafat 415 H)
· Kitab Al-Mu'tamad, hasil karya Abdul Husain
Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu'taziliy asy-Syafi'iy (wafat 463 H).
· Kitab
Al-Burhan, hasil karya Abdul Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy
an-Naisaburiy asy-Syafi'iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain (wafat
487 H).
· Kitab
Al-Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy
Syafi ' iy (wafat 505 H).
b. Aliran
Hanafiyah
Aliran Hanafiyah dalam
membangun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam
mazhab mereka. Penetapan kaidah-kaidah ushul berdasarkan hukum-hukum
furu’(hukum yang sudah berkembang dimasyarakat).Artinya mereka tidak membangun
suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap masalah-masalah furu’
yang ada dalam mereka. Dalam menetapkan teori tersebut, apabila terdapat
pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’, maka kaidah tersebut
diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut.[40]
Diantara kitab-kitab
ushul fiqh yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut:[41]
· Kitab Al-Fushul fi al-Ushul, oleh Abu Bakar
al-Razi yang lebih dikenal dengan sebutan al-Jashshash (w. 370 H)
· Kitab Al-Taqwim fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu
Zaid al-Dabbusi (w. 430 H)
· Kitab Ushul al-Sarakhsi, oleh Muhammad
al-Sarakhsi (w. 430 H)
· Kitab Kanz al-Wushul ila ma’rifat al-Ushul,
oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482 H)
c. Aliran
Gabungan
Aliran yang
menggabungkan kedua metode yang dipakai dalam menyusun ushul fiqih oleh aliran
Syafi’iyah dan aliran Hanafiyyah. Aliran ini mengemukakan bahwa alasan-alasan
yang kuat dan juga memperhatikan penyesuaiannya dengan hukum-hukum furu’ yang telah
ada. Diantara mereka itu adalah: [42]
· Muzhaffarudin al-Sa’ati (w. 694 H) menulis
kitab Badi’u al-Nidzam. Kitab ini perpaduan antara kitab Ushul al- Bazdawi yang
ditulis oleh al-Bazdawi dengan kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam yang ditulis
al-Amidi.
· Shadr al-Syari’ah ‘Ubaidillah bin Mas’ud
al-Bukhari al-Hanafi (w. 747 H) menulis kitab Tanqih al-Ushul. Kitab tersebut
merupakan ringkasan dari kitab Ushul al-Bazdawi, al-Maushul dan Mukhtashar
al-Muntaha.
F. Kedudukan Usul Fiqh
Sebagai salah
satu disiplin ilmu syariah, usul fiqh mencakup kajian-kajian tentang
sumber-sumber hukum dan metodologi pengembangannya.
Ilmu usul
fiqh merupakan suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai oleh
para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar’i dan nash.
Dan berdasarkan nash pula mereka mengambil ‘illat yang
menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar’i,
sebagaimana dijelaskan dan diisyaratkan oleh al-Qur’an maupun sunnah Nabi.
Dalam hal ini, ilmu usul fiqh berarti suatu kumpulan kaidah metodologis
yang menjelaskan bagi seorang faqih bagaimana cara mengambil hukum dari
dalil-dalin syara’. Kaidah itu bisa bersifat lafzdiyah, seperti dilalah
(penunjuuk) suatu lafazh terhadap arti tertentu, cara mengompromikan lafazh
yang secara lahir bertentangan atau berbeda konsteksnya, dan bisa bersifat maknawiyah,
seperti mengambil dan menggeneralisasikan suatu ‘illat dari nash serta
cara yang paling tepat untuk penetapannya. Begitulah kandungan ilmu usul
fiqh yang menguraikan dasar-dasar serta metode penetapan hukum taklif yang
bersifat praktis yang menjadi pedoman bagi para faqih dan mujtahid, sehingga
dia akan menempuh jalan yang tepat dalam beristinbath (menggambil
hukum).[43]
Karena itulah ilmu
usul fiqh merupakan aspek penting yang mempunyai pengaruh paling besar
dalam pembentukan pemikiran fiqh. Dengan mengkaji ilmu ini seseorang
akan mengetahui metode-metode yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam mengambil
hukum hukum yang kita warisi selama ini. Terutama, dari segi yang lebih
produktif bila ingin mengembangkan hukum-hukum yang telah diwarisi itu, meski
tidak sepadan, maka ilmu usul fiqh itu akan menerangi jalan untuk
berijtihad. Dengan begitu seseorang akan tahu tanda-tanda dalam menetapkan
hukum syara’ dan tidak menyimpang dari jalan yang benar, disamping itu
ia juga akan selalu mampu mengembangkan hukum syar’i dalam memberi
jawaban terhadap segala persoalan yang muncul dalam setiap masa. Artinya ilmu
usul fiqh merupakan hal hal yang yang harus diketahui oleh orang yang ingin
mengenali fiqh (hasil ijtihad para ulama)terdahulu, juga bagi orang yang
ingin mencari jawaban hukum syar’i terhadap persoalan yang muncul pada setiap
saat.[44]
Jadi, dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan usul fiqh tersebut
untuk menjawab berbagai persoalan dan upaya penerapan hukum syar’i yang
berkaitan dengan individu atau masyarakat yang dituntut perhatian yang lebih
besar terhadap ilmu-ilmu dasarnya (usul fiqh). Maka dari itu, seseorang
harus mengetahui sumber-sumber hukumnya, dan metode-metode penerapan yang
dipakai para ulama terdahulu untuk kemudian mampu memilih metode yang paling
tepat sebagai dasar dalam penetapan hukum dengan tidak menyimpang dari tujuan syari’at
islam.selin itu, ilmu usul fiqh bukan hanya berguna untuk memahami syari’at
saja, tetapi juga sangat berguna untuk memahami undang-undang seecara
tepat. Dengan ilmu ini juga seseorang akan mengetahui tentang pengertian setiap
lafadz pada nash, baik secara manthuq (tekstual) maupun mafhum
(konstekstual). Juga akan mampu membuat batasan bagaimana menetapkan suat
pengertian yang tepat ketika berhadapan dengan lafadz lain yang secara lahir
atau tersamar mempunyai persesuaian maupun perbedaan.[45]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Usul fiqh adalah metode atau
kadah-kaidah yang dipakai untuk mengistinbathkan hukum dari al-Qur’an
dan as-Sunnah. Metode istinbath tersebut ada yang berhubungan dengan
kaidah-kaidah kebahasaan, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, ada
yang berhubungan dengan tujuan hukum, dan ada pula dalam bentuk penyelesaian
dari dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan yang disebut tarjih.
2. Hubungan
usul fiqh dengan fiqh dapat diartikan bahwaibarat kakak beradik,
sebab keduanya bagaikan takhrij al-ahkam dengan tahbiq al-ahkam.
Sebagaimana pengertian usul fiqh yang berasal dari dua kata, yaitu usul berbentuk
jamak dari ashl dan kata fiqh, masing-masing memiliki pengertian
yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu,
baik bersifat materi taupun bukan, sedangkan fiqh artinya faham, usul
lebih dulu di depan, sedangkan fiqh di belakang yang ada setelah usul.
Melaksanakan tuntnan islam seharusnya setelah adanya hasil kerja usul fiqh,
sehingga tat cara yang dilakukan, kedudukan hukumnya dan kehujjahan dalilnya
telah benar-benar tegas dan jelas
3. Objek
kajian usul fiqh adalah segala sesuatu yang berhubunga dengan metodologi
yang dipergunakan oleh ahli fiqh dlam menggali hukum syara’. Jadi
objek usul fiqh meliputi klarifikasi dalil, orang-orang yang dibebani
hukum syara’, orang-orang yang tidak berhak taklif, kaidah-kaidah
bahsa yang dijadikan petunjuk yang dijadikan petunjuk oleh ahli fiqh
untuk menetapkan hukum-hukum syara’ dari nash, kaidah-kaidah dalm
menggunakan qiyas dan menetapkan titik persamaan, serta menetapkan titik
persamaan antara hukum pokok dan cabang.
4. Tujuan
ilmu fiqh adalah menerapkan hukum syara’ pada semua perbuatan dan
ucapan manusia. Sehingga ilmu fiqh menjadi rujukan bagi seorang hakim
dalam putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukallaf untuk
mengetahui hukum syara’ atas ucapan dan perbuataanya. Sedangkan kegunaan
mempelaajari usul fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syari’at islam
dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhanni (dugaan, perkiraan)
untuk menghindari taqlid (mengikuti pendapat suatu mazhab tanpa mengetahui
dalil yang digunakan). Hal ini belaku jika memang usul fiqh benar-benar digunakan semestinya, yaitu
mengambil hukum soal-soal cabang dari soal-soal yang pokok atau dengan
mengembalikan soal-soal cabang pada soal-soal pokok. Yang pertama adalah pekerjaan
ahli ijtihad (mujtahid) dan yang kedua adalah pekerjaan muttabi’.
5. Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ilmu usul fiqh bahwa benih-benih usul
fiqh sudah ada sejak zaman Rasulallah dan Sahabat. Masalah utama yang
menjadi bagian usul fiqh, seperti ijtihad, qiyas, nasakh dan takhsis
sudah ada pada zaman Rasulallah dan Sahabat.[46]
Sebagaimana sejak zaman Rasulallah sudah ada ijtihad. Salah satu
hadis yang masyhur tentang ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang
dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal. Kemudian lebih jelasnya bahwa ilmu usul
fiqh terdapat beberapa penjelasan
antara lain:
- Praktek
Istinbath Hukum Fikih sebelum Masa Perumusan
- Pembukuan
Usul Fiqh (Masa Imam Syafi’i)
- Usul
Fiqh pacsa Imam Syafi’i
- Aliran-aliran
usul fiqh yaitu: aliran mutakallimin (syafi’iah), aliran Hanafiyah,
aliran gabungan.
6. Kedudukan
usul fiqh tersebut untuk menjawab berbagai persoalan dan upaya penerapan
hukum syar’i yang berkaitan dengan individu atau masyarakat yang
dituntut perhatian yang lebih besar terhadap ilmu-ilmu dasarnya (usul fiqh).
[1] Muhammad Abu Zahra, terjemah
Usul Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2014), hlm. 1-2.
[2] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih
Jilid 1, ( Jakarta: Logos WacanaIlmu, 1997), hlm. 35.
[3]Ibid,
2.
[4] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul
Fiqih, (Pekalongan: STAIN Pekalongan
Press, 2006), hlm.8-9.
[5] Wahbah az-Zuhaili, Usulul
al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul al-Fiqr, 2003). Hlm. 23.
[6] Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh
Usul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 98.
[7] Hasbiyallah, Fiqh dan Usul
Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 4.
[8] Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh
Usul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 114.
[9]Abdul Hamid Hakim, Mabadi
Awwaliyah Fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, t.th.)
hlm.43.
[10] Ibid, 5.
[11] Wahbah az-Zuhaili, Usulul
al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul al-Fiqr, 2003). 46.
[12] Ibid, 5.
[13] Rahmat syafe’i, Ilmu Usul
Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 23-25.
[14] Ibid, 25.
[15] Abdul wahab khallaf, Terjemah
Ilmu Usul Fiqh, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2003), hlm. 5.
[16] Al-Bardisi, Muhammad Zakariya, Usul
Al-Fiqh, (Mesir: Dar Al-Nahda Al-‘Arobiyah, 1969), hlm. 56.
[17] Syafi’i Karim, Fiqih/UshulFiqih,
(Bandung: PustakaSetia, 1997), hlm. 53.
[18] Ibid, 3-4.
[19] Hanafi, Usul Fiqh, (Bandung:
al-Ma’arif, tt), hlm. 14.
[20] Ibid, 4.
[21] Abu Zahro, Usul Fiqh, (Jakarta:
PT. Pustaka Firadaus, 2014), hlm. 8.
[22] Rahmat syafe’i, Ilmu Usul
Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 115.
[23] Abu Daud, Sunan Abu Daud
Jilid IX, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), hlm. 509.
[24] Ibid, 115.
[25] Muhammad Khudari Beik, Usul
Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 1-2.
[26] Dan dalam karya-karya
kontemporer diantaranya- Syekh Muhammad Khudlari; Tarikh al-Tasyri’
al-Islamiy, Ahmad Amin; Fajr al-Islam, Dr. Musthafa Abdurraziq; Tamhid
li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, Syekh Muhammad Abu Zahrah; Tarikh
al-Madzahib al-Islamiyyah, serta yang lain.
[27] Dari contoh-contoh hukum di atas
secara urut merupakan hasil ijtihad Qiyas, Istishlah, dan terakhir
berupa Istishhab. Tetapi di sini perlu diperhatikan bahwa hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Sunnah Rasul tidak semuanya berupa hasil ijtihad, tapi ada
yang berupa wahyu Sunnah yang murni.
[28] Ibid, 5.
[29] Ibid, 9.
[30] Chaerul Umam, Ushul fiqih 1
(Bandung: PustakaSetia, 2008),hlm. 26-27
[31] Menurut perhitungan angka yang
diberikan oleh Abdul Wahab Khalaf dalam buku ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo,
Dar al-Hadits, 2003, hal. 29), ayat-ayat ahkam berjumlah 368 ayat,
dengan rincian : hukum ibadah = 140 ayat, hukum rumah-tangga = 70 ayat, hukum
perdata = 70 ayat, hukum pidana = 30 ayat, acara pidana = 13 ayat, sistem
negara = 10 ayat, aturan internasional = 25 ayat, dan sistem ekonomi = 10 ayat.
Dari jumlah 368 ini, hanya 228 atau 31,5 % merupakan ayat yang mengurus soal
hidup kemasyarakatan umat. Sedangkan hadits-hadits ahkam banyak tertuang
diantaranya dalam kitab Shahih Bukhari, Nailul Authar; al-Saukani,
Bulugh al-Maram dan syarahnya Subul al-Salam; al-Shan’ani,
dll., yang jumlahnya pun terbatas jika dibandingkan problema sosial yang terus
berkembang. Maka dengan fakta ini menuntut sebuah gerakan ijtihad baik tempo
dulu maupun di masa sekarang ini.
[33] A. Djazuli, Ilmu Usul Fiqh, (Bandung:
Gilang Aditiya Putra, 1997), hlm. 29.
[34] Musthafa Abdurraziq, Tamhid
li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, al-Hay’ah al-Mashriyyah al-‘Ammah li
al-Kitab,( Kairo, 2007), hlm. .237.
[35] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta
:Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 19.
[36] Ibid, 11.
[37] Chaerul Umam, Ushul fiqih 1,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008),hlm. 28.
[38] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh Cet-2,
(Jakarta: PT Logos WacanIlmu ,1997),
hlm. 12.
[39] Totok Jumantoro dan Samsul Munir
Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 345.
[40]Ibid, 21-23.
[41] Abdussalam Balaji, Tathawwur
‘Ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, (Dar al-Wafa’, Mansuria, cet. I, 2007),
hlm. 87
[42] Ibid, 25-26.
[43] Ahmad Amin, Fajr al-Islam,
(Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 2006). hlm. 87
[44] Ibid, 56.
[45]Abu Zahrah, Syekh Muhammad, Ushul
al-Fiq, (Kairo, Dar al-Fikr
al-‘Arabiy, 2004). Muqoddimah.
[46] Rahmat syafe’i, Ilmu Usul
Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 115.
Komentar
Posting Komentar